Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Pendidikan dan Sosial
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Duapuluh tahun yang lalu judul tulisan ini ditulis oleh redaktur media yang kita baca ini, saat itu beliau masih menjadi wartawan minggu untuk media cetak terkenal di negeri ini, Lampung Post namanya. Tulisan itu membeberkan dengan disertai gambar rumah penulis, bagaimana rumah menjadi tempat kembali yang paling nyaman.
Saat itu penulis tidak begitu hanyut dalam rasa, karena masih bergolak didunia “okol dan akal” untuk mengkadali dunia. Semua dikerjakan hanya untuk mengejar prestasi, baik karier maupun akademik. Semua seperti dikejar setan, harus cepat, harus segera, dan kata-kata supercepat lainnya. Waktu bagai halilintar yang terus menggema, berganti, menyambar, menukik dan membahana bahkan menggelegar; itulah gambaran semangat muda saat itu yang ingin memuaskan orang sedunia. Lupa bahwa manusia sebenarnya sedang menjalani kodratnya, sehingga manusia hanya ada pada wilayah usaha.
Musim sudah berganti, saatnya untuk menepi; ternyata saat menoleh kebelakang melihat sayup-sayup tampak di sana judul tulisan ini. Hati menjadi membuncah, perjalanan panjang harus berakhir dengan selembar surat dengan Kop Kepresidenan yang menyatakan ucapan terimakasih sudah mencapai batas akhir yaitu “pensiun”.
Apa yang tertulis dalam judul tulisan lawas itu menggerakkan hati, mendorong otak berfikir, dan memaksa tangan bekerja mengukir kembali bagaimana teduhnya tempat itu. Perbedaan esensialnya adalah pada kongkrit kalau dahulu, sementara sekarang itu bersifat abstrak; karena tempat kembali dimaksud bukan rumah yang hanya mewakili benda, tetapi lebih kepada tempat yang tidak lagi berdimensi waktu.
Kembali ke rumah adalah cita-cita semua orang yang hidup di muka bumi ini; hanya menjadi persoalan adakah rumah untuk kita kembali. Bisa jadi rumah itu hanya fatamorgana yang berlari saat kita kejar, dan berhenti saat kita menatap. Bisa jadi seseorang yang secara fisik memiliki rumah besar, mewah dan megah. Namun sejatinya dia tidak memiliki apa-apa, karena rumah “di sana” selama ini tidak pernah dia fikirkan. Atau sebaliknya bisa jadi saat sekarang dia tidak memiliki rumah, yang ada hanya rumah kertas; namun sejatinya dia memiliki istana di sana; karena setiap detik dia menabung untuk mendirikan istana itu dari sini dan saat ini.
Dimensi waktu dan tempat ternyata mampu membelenggu manusia untuk tidak siap membangun “rumahnya” di sana. Kesibukan keseharian hanya menumpuk pertanggungjawaban yang berat dihadapan pengadilan abadi. Pertanyaan yang sudah menanti adalah “diperoleh dari mana, dengan cara apa, untuk apa dan siapa, apakah sudah kau keluarkan kewajibannya”; dan itu tidak bisa kita wakilkan atau tuliskan, yang ada hanya ucapan yang tidak bisa kita bohongkan atau hindarkan.
Rumah itu akan menjadi sangat gelap manakala kita tidak meneranginya dengan kalimat keilahian, karena dia tidak butuh Genset, tidak butuh nuklir sekalipun untuk menerangi. Kalimat keilahian itupun tidak hanya sekedar ucapan, namun lebih kepada perbuatan dan keyakinan. Oleh sebab itu tidak jarang kita akan berjumpa dengan rumah besar tetapi gelap, namun ada rumah mungil tetapi terang benerang. Untuk semua itu hanya hati nurani yang bersih akan menjawab pertanyaan sudah siapkah kita membangun rumah abadi itu.
Mari dengan sisa usia yang tiap hari makin berkurang itu, dapat menambah semangat kita mencari bekal untuk menuju rumah tempat kita kembali. Dia tidak memerlukan bilangan tetapi memerlukan keikhlasan; karena keikhlasanlah yang sekaligus akan memberikan penererangan dalam perjalanan kita.
Selamat melaksanakan ibadah jumat!
Recent Comments