Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pagi menjelang siang saat menerima umpan balik dari artikel yang dikirimkan ke semua sohib, ternyata banyak dari mereka memberi komentar dengan sedikit bahasa “tengil”. Salah satu diantaranya yang jika ditulisbahasakan menjadi “……bahwa …jabatan (sensor)…. bukan kunci masuk surga…”…kemudian ditutup dengan emoji tertawa.
Sepintas kilas tampaknya baik-baik saja tanpa ada sesuatu yang istimewa, sebagai orang yang mengenal budaya beragam kaum; jika mata batin yang kita gunakan untuk membaca kalimat itu; ternyata ada mutiara yang ingin disampaikan kepada kita semua.
Tulisan ini mencoba menangkap apa hakekat makna pesan itu, dan tentu saja menjadi sangat subjektif; karena perbedaan sudut pandang dalam memaknai satu persoalan; apalagi cakrawala ontologi filsafat kita gunakan sebagai kerangka berpijak.
Berdasarkan penelusuran kajian, yang mungkin masih amat sangat terbatas, tidak ditemukan satupun profesi di dunia ini yang dapat menjamin seseorang itu masuk surga, atau juga neraka; karena hak prerogratif untuk pilihan akan itu ada pada Sang Maha Pencipta. Namun, bisa kita pahamkan bahwa komentar itu adalah mewakili kegundahan rasa dalam melihat dan merasakan fenomena dunia akhir-akhir ini.
Ada orang yang baru belajar silat dua jurus, itupun melalui media sosial, terus mendeklarasi diri sebagai “Jago Silat” tanpa tanding, dan lanjut disertai kowar-kowar menantang kesana kemari kepada siapa saja yang ingin adu silat. Begitu ada anak kecil meladeni dan kalah, sesumbarnya berubah mengiba dan meminta maaf. Tetapi janji maafnya seperti orang makan sambal, saat kepedasan berhenti, saat lain tambah jadi.
Ada lagi komentar seorang doktor fisika …..”sepertinya itu sudah menjadi aksioma…..saat belum jadi mengiba…saat sudah duduk ….lupa……”. Untuk satu ini jika diucapkan oleh Doktor ilmu-ilmu Humaniora tidak masalah, tetapi ini Fisikawan; tentu saja membuat pertanyaan balik, …ada apa gerangan..?. Karena pendekatan Fisika berbeda dengan pendekatan Humaniora, walaupun humaniorawan sering malu-malu menggunakan cara berfikir fisikawan.
Beda lagi dengan yang ini, berasal dari Sumatera Selatan dan beliau berkomentar dengan bahasa ibu, lengkapnya…”benar nian…ame la duduk…lupe”… beliau menambahkan jika alihtuliskan ke bahasa Indonesia kira-kira demikian…”sebelum jadi mencari…sudah jadi lupa diri”…. Membaca ini berfikir tambah ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di dalam sana.
Tampaknya fenomena pemilihan umum yang semakin mendekat ini banyak fenomena yang muncul kepermukaan. Apakah ini terjadi karena pengalaman masa lampau bagi sebagian orang, atau sebaliknya kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Bisa jadi keduanya berjalan bersamaan, oleh karena itu pada akhirnya membentuk stigma.
Akan tetapi semua itu menjadi mentah manakala ada seorang pejabat eksekutif disuatu instansi meminta anak buahnya untuk mendelet postingan pada satu grup yang mereka bangun dengan alasan bahasanya kasar. Anak buah terpaksa japri dengan penulis untuk meminta pertimbangan.
Akhirnya opsi diberikan, opsi pertama: ikuti kemauan pimpinan agar priuk nasi tidak terbalik, walaupun harus kehilangan idealisme. Opsi kedua: melawan dengan argumentasi bahwa tulisan itu bebas nilai, dengan resiko terkecil ditunda kenaikan pangkat. Sekarang pilihan ada ditangan pembaca.
Ternyata untuk menjadi baik “Kunci Masuk” nya cukup sulit; halang rintang untuk melawan berhala modern saat ini sangat tidak mudah. Jabatan betul-betul diberhalakan sehingga bisa memisahkan saudara dan teman, orang tua dan anak, yang muda dan yang tua: karena di dalam hatinya sudah ada Firaun dan Nero. Berbeda dengan Khalifah yang menolak menjadi pemimpin karena hatinya bersih, takut terhalang kunci masuknya ke surga kelak; meminjam komentar seorang jurnalis senior.
Pemahaman akan perlunya kunci masuk dalam menyelesaikan persoalan, ternyata banyak tidak dipahami; akibatnya dalam memformulasikan masalah sering membuat gagal paham. Hal seperti ini dapat melanda siapa saja, tidak peduli ilmuwan sekalipun. Sebab metode menemukenali persoalan sering datang terlambat, manakala setelah jatuhnya azab, baru menyadari kekeliruan yang dilakukan selama ini.
Kejernihan berfikir, kebersihan hati, keikhlasan budi adalah satu diantara hal-hal yang harus dipersiapan untuk mendapatkan kunci pintu masuk dari setiap persoalan kehidupan manusia. jika pemikiran kita sebelum menghadapi persoalan sudah dipenuhi dengan persoalan, maka sangat mungkin yang akan kita temui adalah bukan penyelesaian persoalan, akan tetapi justru persoalan baru yang akan kita dapat. Semoga hari ini lebih baik dari kemaren, dan hari esok akan menjadi lebih baik dari pada hari ini.
Selamat melaksanakan ibadah Puasa Tarwiyah/Arofah bagi yang menjalankannya. (R-1)
Recent Comments