• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Monday, August 18, 2025
  • Login
Portallnews.id
Advertisement
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
No Result
View All Result
Home Headline

Elienasi Dalam Ketidakadilan Sosial

by portall news
August 17, 2025
in Headline
Jalur Langit

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

124
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Bendera sudah diturunkan, upacara peringatan hari kemerdekaan sudah usai, tinggal sampah berserak dimana-mana. Petugas kebersihan, tidak jarang bersama pemulung, dengan sabar membersihkan semua itu demi sedikit rupiah. Mereka tidak ikut rapi berbaris, tetapi menjadi rombongan pamungkas yang mengembalikan keadaan seperti sediakala agar semuanya, rapi, bersih, apik, dan nyaman. Mereka seolah terelienasi oleh gegap-gempitanya perayaan; lalu kemerdekaan ini sebenarnya milik siapa.

Sebelum lebih jauh kita mengurai persoalan, terlebih dahulu kita pahamkan makna dari alienasi, yaitu kondisi psikologis dan sosial di mana individu merasa terpisah, tidak terhubung, atau tidak memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, hasil kerjanya, identitasnya, maupun makna hidupnya, yang ditandai dengan perasaan keterasingan, ketidakberdayaan, dan kehilangan makna.

Baca Juga

24 Tutor Tahsin Yayasan Al Kautsar Ikuti Pelatihan Makharijul Huruf dan Tahsin Al-Qur’an

Kabar Gembira! PBB Gratis & Diskon Hingga 50% di Bandar Lampung

BNNP Lampung Gagalkan Peredaran 2 Kg Sabu Jaringan Aceh di Gerbang Tol Natar

Kebebasan dan kemerdekaan adalah dua konsep fundamental yang selalu dikaitkan erat dengan identitas manusia. Namun, dalam realitas sosial yang terkadang masih dijumpai ketidakadilan dan ketimpangan, kemerdekaan seringkali tidak dirasakan secara merata oleh seluruh individu. Tulisan ini menganalisis alienasi sebagai kondisi yang tidak hanya bersifat materi tetapi juga eksistensial dan sosial, serta bagaimana hal ini menghambat realisasi kemerdekaan sejati dari kacamata filsafat kontemporer.

Istilah alienasi berasal dari kata Latin alienare, yang berarti “mengasingkan” atau “menjauhkan.” Hegel pertama kali membahas alienasi (Entfremdung) dalam konteks kesadaran manusia yang merasa terpisah dari dunia dan dirinya sendiri. Selanjutnya, Marx mengembangkan konsep ini dalam kerangka hubungan produksi kapitalis, yang membuat pekerja terasing dari produk kerja, proses produksi, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Dalam konteks kontemporer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse dari Frankfurt School menganggap alienasi bukan hanya dalam ranah ekonomi, tetapi juga budaya dan psikologis. Marcuse dalam “One-Dimensional Man” menyebutkan bagaimana masyarakat konsumsi dan teknologi menciptakan “manusia satu dimensi” yang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan merasa terasing secara eksistensial.

Lebih jauh, filsafat eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa meski manusia “dihukum bebas” (condamné à être libre), kebebasan tersebut harus diaktualisasikan secara sadar agar tidak menjadi beban dan keterasingan. Hans-Georg Gadamer dan Charles Taylor menambahkan dimensi hermeneutika dan pengakuan, menekankan bahwa identitas manusia dibentuk dalam dialog sosial yang melibatkan pengakuan timbal balik (recognition).

Charles Taylor dalam “The Politics of Recognition” menegaskan bahwa pengakuan sosial bukan sekadar penghormatan formal, melainkan kebutuhan eksistensial untuk membangun identitas yang bermakna. Ketika seseorang atau kelompok tidak diakui secara sosial, misalnya akibat diskriminasi, marginalisasi, atau ketidakadilan ekonomi, mereka mengalami “krisis pengakuan” yang berujung pada alienasi identitas.

Dalam konteks ketidakadilan sosial, kelompok terpinggirkan seringkali melihat narasi kemerdekaan dan kebebasan sebagai milik “orang lain” atau elit penguasa, bukan milik mereka. Hal ini menimbulkan krisis identitas dimana kemerdekaan menjadi sesuatu yang formal dan jauh dari kehidupan sehari-hari mereka.

Indonesia sebagai negara yang merdeka sejak 1945 memiliki catatan panjang ketimpangan sosial-ekonomi. Salah satu fenomena menarik adalah bagaimana masyarakat di berbagai daerah, terutama kelas bawah dan menengah ke bawah, harus mengeluarkan uang sendiri untuk menyelenggarakan lomba-lomba 17-an, upacara, dan perayaan kemerdekaan. Sebagaimana dilaporkan oleh banyak media lokal dan beberapa penelitian sosial, banyak warga yang harus patungan untuk membeli bendera, hadiah lomba, dan fasilitas pendukung acara. Bahkan dalam masa sulit secara ekonomi, dan tekanan finansial; hal seperti ini tetap mereka lakukan, sekalipun itu menjadi beban sosial tersendiri bagi mereka. Mereka merasa bersalah jika tidak ikut serta merayakan hari kemerdekaan, namun disisi lain mereka mengalami keterasingan antara narasi besar nasional dan realitas sosial-ekonomi yang mereka hadapi.

Jean-Paul Sartre menulis dalam “Existentialism is a Humanism” bahwa kebebasan adalah hakikat manusia, tetapi juga sumber kecemasan dan keterasingan jika tidak ada kondisi yang memungkinkan aktualisasi bebas. Ketika realitas sosial menindas dan meminggirkan, kebebasan tersebut menjadi “beban,” dan manusia terjerumus dalam alienasi eksistensial. Dalam konteks ini, manusia yang hidup dalam ketidakadilan sosial harus terus menerus berjuang mempertahankan identitas merdeka mereka, meskipun struktur sosial menghambatnya. Krisis identitas muncul karena manusia tidak hanya kehilangan ruang aktualisasi, tetapi juga kehilangan pengakuan dan hubungan sosial yang membangun identitas.

Hans-Georg Gadamer dalam “Truth and Method” menggarisbawahi pentingnya dialog dan interpretasi bersama untuk memahami makna dan membangun identitas. Dialog yang terbuka dan inklusif memungkinkan orang untuk memahami perspektif satu sama lain dan menciptakan makna bersama. Charles Taylor juga menyatakan bahwa pengakuan dapat dipulihkan melalui dialog yang menghargai keberagaman identitas, sehingga memungkinkan rekonstruksi narasi bersama tentang kemerdekaan dan kebebasan. Dalam praktik sosial, ini berarti negara dan masyarakat harus membuka ruang dialog dan partisipasi yang nyata, khususnya bagi kelompok marginal, agar mereka dapat merasa diakui dan memiliki bagian dalam makna kemerdekaan.

John Rawls dalam “A Theory of Justice” menegaskan prinsip keadilan sebagai fairness, yang memberikan hak dan kesempatan yang setara kepada semua warga negara. Keadilan distributif adalah landasan bagi kebebasan dan kemerdekaan sejati. Tanpa keadilan sosial yang nyata, kemerdekaan hanyalah formalitas yang tidak dihayati secara eksistensial oleh banyak orang. Maka, transformasi sosial-ekonomi yang mengurangi ketimpangan menjadi sangat penting agar alienasi dapat diatasi dan identitas merdeka dapat direkonstruksi secara inklusif.

Alienasi dalam ketidakadilan sosial merupakan krisis mendalam yang melibatkan keterasingan eksistensial dan sosial dari identitas manusia merdeka. Dari sudut pandang filsafat kontemporer, alienasi tidak sekadar persoalan ekonomi, tetapi masalah pengakuan, dialog, dan makna. Untuk mengatasi krisis ini, masyarakat harus membangun struktur sosial yang adil, dialog sosial yang inklusif, dan etika solidaritas yang menempatkan kemerdekaan sebagai hak bersama yang dihidupi oleh semua warga negara. Hanya dengan demikian kemerdekaan dapat dirasakan secara otentik, bukan sekadar seremoni formal yang membebani sebagian rakyat. Jadi, perayakan kemerdekaan bukan hanya selesai menaikkan bendera dalam satu upacara yang meriah dan wah; akan harus diiringi dengan evaluasi diri menyeluruh tentang apa yang sudah kita perbuat pada negeri ini.
Salam Merdeka (R-1)

Previous Post

24 Tutor Tahsin Yayasan Al Kautsar Ikuti Pelatihan Makharijul Huruf dan Tahsin Al-Qur’an

No Result
View All Result

Recent Posts

  • Elienasi Dalam Ketidakadilan Sosial
  • 24 Tutor Tahsin Yayasan Al Kautsar Ikuti Pelatihan Makharijul Huruf dan Tahsin Al-Qur’an
  • Kabar Gembira! PBB Gratis & Diskon Hingga 50% di Bandar Lampung
  • BNNP Lampung Gagalkan Peredaran 2 Kg Sabu Jaringan Aceh di Gerbang Tol Natar
  • Pengukuhan Paskibraka 2025, Walikota Eva Dwiana Tekankan Nasionalisme Generasi Muda

Recent Comments

  • portall news on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
  • Icha on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
Portallnews.id

© 2020 Portallnews.id

PORTALLNEWS.ID hadir ke tengah masyarakat memberikan sajian berita yang berkualitas dan berimbang.

  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi

© 2020 Portallnews.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist