Oleh: Sudjarwo, Pemerhati masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWS.ID – Gegap gempita Hari Raya Kurban baru saja berlalu, suka cita yang menghiasi perayaan itu sampai kini masih terasa. Menjadi lebih seru lagi karena pemerintah menetapkan hari libur bersama, sehingga waktu libur menjadi lebih panjang.
Namun dari rangkaian acara serimonial dan keagamaan itu ada yang mengusik, yaitu ada teman seorang Doktor Ahli Penyuluhan Pembangunan alumni perguruan tinggi ternama di negeri ini mengirimkan pertanyaan kepada penulis ”Seberapa yakin kita akan suatu keikhlasan jika disandingkan dengan kepongahan yang berujung riya?”.
Tentu saja pertanyaan bersayap itu memerlukan perenungan atau kontemplasi tersendiri, karena ini menyangkut hakekat bahkan sampai pada ranah makrifat perilaku manusia.
Tulisan ini tidak ingin terjebak pada penghakiman perilaku dengan pisau agama, tetapi lebih menarasikan diri pada fenomena sosial akhir-akhir ini yang sering sulit untuk membedakan antara ikhlas dan riya.
Jika dikaitkan dengan wujud perilaku yang ditampilkan. Bisa dibayangkan jika sebelum ritual pengorbanan dimulai, maka doa puji-pujian dihadirkan kepada Tuhan seru sekalian alam. Namun, begitu acara penyembelihan kurban dimulai berproses, maka kamera diarahkan, rekaman dilakukan dan akhirnya diunggah sebagai status dengan tujuan “memamerkan” kegiatan itu pada orang lain.
Tidak salah jika para alim ulama pada masa lalu memberi peringatan bahwa antara ikhlas dan riya itu bedanya lebih tebal kulit bawang merah
. Jadi betapa halusnya garis batas itu, dan manakala keduanya tertukar, maka sempurnalah kesesatan kita dalam rangka berhikmah untuk berkurban. Dengan kata lain apa yang kita lakukan menjadi sia-sia jika kacamata hukum keilahian yang kita pakai sebagai titik pandang.
Teladan di atas adalah salah satu kesesatan bertindak yang kita perbuat, diantara kesesatan-kesesatan lainnya, yang tidak sengaja kita perbuat. Semula ingin berbuat kebaikan, sayangnya kita sendiri sering merusak kebaikan itu hanya karena setitik hati yang rusak bernama “pamer”.
Banyak peristiwa kehidupan yang kita jumpai, berawal baik, berproses kurang baik, berakhir tidak baik. Namun ada juga yang berawal kurang baik, berproses baik, dan berakhir baik. Dengan kata lain kita sangat dianjurkan dalam kehidupan ini untuk selalu menjaga proses karena pada proses inilah akan menentukan akhir dari suatu peristiwa.
Oleh karena itu tuntutannya secara tegas untuk dijadikan pakem yaitu berawal baik, berproses baik, dan berakhir baik.
Maka kalau kita mau sedikit merenung, tuntunan keilahian itu banyak aturan yang ditujukan kepada proses, sebab pada proses inilah ada upaya dan usaha yang merupakan ranah manusia dalam mencari, atau paling tidak menemukenali garis ketentuan Ilahi. Sekali lagi pada wilayah inilah sangat rawan akan terjadinya pergumulan antara ikhlas dan riya.
Oleh sebab itu orang bijak mengatakan bahwa ikhlas dan riya itu dapat melanda siapapun, tidak pandang status sosial, kedudukan, pangkat, derajat dan apapun pemisah sosial lainnya. Tidak salah jika pengingat utama pada kita adalah, sesuai pesan orang terdahulu, untuk selalau “ingat dan waspada” akan semua halang rintang dunia, yang tidak jarang sumbernya adalah diri kita sendiri.
Kemampuan untuk menemukenali ikhlas dan riya harus berjalan seiring, dengan kata lain kita tidak akan memahami apa itu ikhlas, tanpa mengenal riya. Demikian juga sebaliknya, kita bisa mengenal riya manakala kita juga bisa mengenal ikhlas. Di sini tampaknya filsafat perilaku dan filsafat etika berkelindan secara sempurna; sehingga jika kita mampu memahaminya, maka kita akan mendapat suluh yang benar. Sebaliknya jika kita tidak memahami atau abai akan keduanya, maka kesesatan perilaku akan menghampiri kita.
Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat diri agar tetap selalu ada pada jalan Tuhan dalam memaknai ikhlas. Total berserah diri akan semua ketentuan Tuhan, yang kita beri label ridho adalah sikap ikhlas yang sempurna dalam menerima apapun yang Tuhan gariskan untuk kita sebagai hamba.
Idul adha 1444 sudah berlalu, pertanyaan tersisa adalah, adakah hikmah yang dapat kita petik untuk memperbaiki, syukur meningkatkan, ketakwaan kita kepada Tuhan. Atau peristiwa itu hanya pengulangan dari peristiwa sebelum-sebelumnya, sehingga merupakan rutinitas biasa. Mari kita jujur menjawabnya disaat sujud pada Tuhan untuk mengakui akan kealpaan kita dalam memaknai dunia dan isinya. (R-1)
Recent Comments