Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Seorang guru besar yunior yang sudah tidak muda lagi memberikan komentar setelah membaca beberapa artikel penulis. Komentarnya demikian ….”Sulit memang untuk berterima akan adanya perbedaan, walau menyadari bahwa kehidupan ini ada karena adanya perbedaan”…. Komentar filosofis seperti ini memang memahaminya memerlukan perenungan atau kontemplasi yang dalam. Karena mencari perbedaan di tengah kesamaan, dan mencari kesamaan di tengah perbedaan, adalah pekerjaan yang tidak mudah, walaupun mungkin belum sampai pada level sulit.
Dikatakan tidak mudah karena ternyata ada yang bisa dan mampu. Belum termasuk level sulit karena dia bukan masalah kuantifikasi apalagi kualifikasi.
Namun karena ketidakmampuan membedakan yang sama dan menyamakan yang berbeda-lah banyak diantara kita yang gagal paham dalam melakonkan kehidupan. Termasuk banyak pemimpin negeri ini yang berposisi seperti itu; akibatnya semua yang tidak sama dengan kehendaknya diposisikan sebagai lawan.
Model pemimpin seperti ini tentu saja anti kritik, karena keseragaman dan kesamaan adalah sesuatu keharusan baginya. Padahal hal itu menentang kodrat Tuhan secara terang-terangan dan berani. Tidak sulit kalau Tuhan ingin menyamakan isi dunia ini, dan tidak juga sulit jika ingin membedakan semuanya, karena atas kehendakNYA-lah semua itu terjadi.
Kelompok ini beranggapan bahwa pemimpin selamanya di depan dan tidak pernah salah; akibatnya posisi rakyat-pun tidak akan pernah benar. Kesalahan logika seperti ini membuat pemimpin harus dilayani, bukan melayani. Kalimat yang paling aman digunakan adalah ….”kenapo idak lapor”… sehingga yang bersangkutan terhindar dari sanksi atasan, walaupun sejatinya tidak bisa menghindar dari sanksi sosial dan moral.
Perilaku “singut, tekanjat, idak lapor” adalah bentuk pertahanan ego karena sudah terdesak (jawa: kepepet); sehingga tidak bisa menghindar. Pemberlakuan perilaku ini seolah-olah bisa mengatasi masalah, walaupun sejatinya justru membuat masalah baru. Amat disesalkan jika serupa ini dipelihara bahkan dikembangkan menjadi budaya organisasi. Bisa dibayangkan jika hanya masalah kealpaan sebagai manusia, siapapun kita, perilaku yang ditampilkan bukan meminta maaf tetapi melakukan serangan balik. Perilaku seperti ini membuat sendiri perbedaan ditengah kesamaan.
Benar adanya bahwa menerima perbedaan itu sangat sulit, karena memerlukan latihan-latihan yang lama dan berproses. Maka tidak salah jika penjenjangan pengalaman terhadap sesuatu itu diperlukan, sehingga kita terbiasa untuk menemukenali persoalan. Bisa dibayangkan belum pernah menjadi pimpinan pratama langsung menjadi pimpinan utama, tentu saja ada semacam “gegar budaya” di sana. Sebagai contoh dari Wali Kota langsung sekonyong-konyong jadi presiden, tanpa pengalaman jadi Gubernur.
Tentu ini merupakan lompatan batin dan kesiapan batin yang tidak mudah. Walaupun hal ini tidak ada larangan dan sangat boleh-boleh saja; namun tidak semua orang mampu melakukan lompatan spektakuler itu. Akhirnya jika menemukan sesuatu yang berbeda, akan disikapi dengan buruk sangka. Semua yang tidak sama dengan dirinya adalah musuhnya.
Tampaknya benih-benih yang begini sekarang sedang subur di negeri ini, orang sangat takut untuk berbeda dengan penguasa. Demikian juga penguasa seolah merasa apa yang dilakukan benar adanya. Padahal kebenaran mutlak itu hanya milik Sang Pencipta, jadi apapun yang dimiliki manusia pasti memiliki kekurangan.
Sementara perhelatan politik limatahunan bukan disikapi sebagai pendidikan politik, tetapi yang dikembangkan politik adu domba. Jika pendidikan politik, yang dikembangkan adalah mencari kesamaan dalam perbedaan, dan menyikapi dengan arif semua perbedaan dalam bingkai persatuan. Semoga semua kita menyadari hakekat dari semua itu. (R-1)
Recent Comments