Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pagi itu membaca satu artikel dari Dr.Budiono seorang akademisi universitas negeri ternama di daerah ini yang berjudul Quo Vadis Mahkamah Konstitusi, merasa takjub. Ada dua hal yang sebagai penyebabnya. Pertama, beliau adalah ilmuwan muda yang sangat rajin menulis dan mengkritisi persoalan hukum tatanegara sebagai wilayah ilmunya dengan sangat apik. Kedua, tulisan itu tidak emosional, bahkan pembaca disuguhi fakta empiris yang dipersilahkan untuk membacanya dari sisi lain. ini luar biasa, dan jarang ilmuwan mau berposisi seperti ini. Oleh sebab itu penulis merasa terpanggil untuk melihat dari perspektif lain, terutama dari konteks ilmu-ilmu sosial dan filsafat.
Kehidupan ini diibaratkan air laut, manakala sudah meminumnya maka rasa dahaga akan terus mendorong untuk terus minum dan minum. Oleh karena itu pesan para pelaut ulung jika kita terdampar di tengah samudra, jangan sekali-kali minum air laut, sekalipun kita haus; karena itu akan menyebabkan rasa haus semakin menjadi-jadi. Tampaknya Tuhan memberi pesan kepada manusia bagaimana dahsyatnya air laut, begitu juga samudra kehidupan.
Demikian halnya dengan manusia yang diberi sedikit kekuasaan oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin. Ada kecenderungan ingin terus dan terus menjadi pemimpin, tentu dengan berbagai cara dan upaya. Hanya sedikit orang yang berlabel taqwa yang tidak mau untuk menjadi pemimpin, karena sangat paham akan resiko dan tanggungjawab dimuka pengadilan keilahian kelak.
Atau dalam bentuk lain, karena merasa menjadi pemimpin itu enak, maka rasa enak itu harus diwariskan kepada generasinya, apakah itu anak, bisa juga cucu. Maka upaya apapun dilakukan oleh orang tua agar keturunannya bisa mewarisi “keenakan” yang pernah dirasakannya.
Ternyata cara-cara ini sudah ada semenjak manusia ini ada; maka cara ini diberi label “dinasti”. Perkembangan lanjut seiring dengan kebutuhan dan keinginan tadi, jika dulu agar keliahatan “angker” diberi label “darah biru”; maka sekarang diberi label “politik dinasti”, atau bisa juga diberi label “berdarah turun”, walaupun memperolehnya dilakukan dengan berdarah-darah; bahkan bisa jadi sampai kehilangan darah.
Pembungkus yang paling “apik” di muka umum adalah dibungkus hukum; bagaimana agar kedinastian itu kelihatan “seolah-olah” benar, maka perlu pembenaran. Pembenaran ini telah dikuliti secara bagus oleh Dr.Budiono dengan argument-argumen yang menggugah kesadaran moral kita semua.
Menjadi menarik lagi, salah satu hakim yang berbeda pendapat justru mengumbar ke publik keperbedaannya. Ini menunjukkan yang bersangkutan sudah masuk wilayah subyektifitas, entah mewakili siapa, untuk apa; itu adalah wilayah epistemologi yang berbada. Namun tampak sekali “keluguan” sebagai manusia yang menunjukkan ketidaksesuaian antara “harapan” dengan “kenyataan” yang ada. Tentu ini penyiksaan batin yang tersisa, dampak dari keputusan bersama dalam profesi. Namun, konsekwensi ini tidak hanya ada pada dirinya, akan tetapi juga ada pada sebagaian dari pemerhati di negeri ini.
Terimakasih Dr. Budiono yang telah mengajak kita berfikir ulang tentang bagaimana “kencang”nya lari politik dinasti di negeri ini. Tampaknya kesantunan dan kepatutan sudah menjadi barang langka pada saat ini. Oleh sebab itu oase-oase seperti yang Dr. Budiono bangun harus diperbanyak lagi, sehingga generasi yang akan datang akan menemukan kakek buyutnya yang masih berfikir “waras” dalam bernegara, dan bertatakrama. Adapun untuk saat ini dianggap keluar dari kerangka berfikir umumnya, itu adalah harga bayar yang harus dibeli oleh para ilmuwan yang masih waras.
Bravo Dr.Budiono, walaupun kita berbeda jalan, tetapi tetap pada satu tujuan. (R-1)
Recent Comments