Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWA.ID – Judul tulisan ini meminjam istilah Mas Heri Wardoyo (HRW) yang mengomentari vidio youtube dari suatu acara “sakral” kehidupan penulis. Karena kalimat itu sangat ontologis sekali, jadi dapat dipinjam untuk kepentingan mewakili fenomena lain pada peristiwa lain; atas dasar itu penulis mohon ijin pada mas HRW untuk menggunakannya.
Kalau kita mau membaca sejarah pemimpin-pemimpin dunia, dari masa lalu sampai hari ini, dari mereka yang diutus Tuhan sebagai Nabi sampai manusia biasa tukang gergaji kayu. Ternyata untuk mencapai karir puncak, harus melalui proses panjang yang penuh onak dan duri. Masing-masing orang tidak sama bentuk prosesnya, tetapi esensinya sama, yaitu pematangan diri atau penempaan diri dalam mencapai suatu titik kulminasi kehidupan.
Gelembung air yang keluar dari celah batu nun jauh di sana di atas gunung, mengalir seturut aliran selokan, menjadi parit, kemudian menjadi kali, membesar menjadi sungai, dan menjelma menjadi kuala; terakhir menuju laut lepas. Itulah gambaran anak manusia dalam berproses pada kehidupannya.
Berkaca dari situ, maka sangat tidak etis manakala kita mengomentari pemimpin atau calon pemimpin dengan mengungkapkan perjalanan awal yang kelabu, jika itu bertujuan untuk mengejeknya. Tuhan dengan caranya memberikan perjalanan proses pada seseorang guna menuju titik kodratnya, dan itu merupakan hak prerogratif keilahian. Dalam bentuk apapun itu urusan Tuhan.
Akhir-akhir ini marak kepermukaan jika ada orang mau maju menjadi pimpinan, sering di sudutkan dengan masa lalunya. Walaupun dalam strategi politik itu sah-sah saja; tetapi pertanyaannya adalah bagaimana kalau masa lalunya itulah yang justru mendorongnya pada posisi sekarang.
Berfikir heksagonal seperti ini memang jarang digunakan orang, tetapi hal ini perlu. Sebab, mengetahui hulunya sesuatu itu penting, termasuk calon pemimpin publik. Namun, ada batas-batas wilayah privat yang harus kita hormati, yaitu untuk diketahui tetapi tidak disebarluaskan.
Pada era “netizen” sekarang tampaknya itu sulit dihindari, tinggal bagaimana calon tokoh sentral bersikap dengan dewasa, serta memiliki komunikasi politik yang baik. Ibarat setitik air tadi begitu membesar dan terhalang batu, maka harus menyiapkan tenaga dan strategi bagaimana menghadapi halangan batu itu.
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah, bagaimana menyeimbangkan informasi antara yang positif dan negatif. Sebab, tidak ada pribadi di dunia ini yang tidak memiliki masa lalu terlepas dari mana sudut pandang kita arahkan; sebab masa lalu itu sendiri bisa merupakan sesuatu yang menggembirakan, atau yang memilukan bahkan memalukan.
Tidak salah jika apa yang dituliskan Mas HRW memiliki multi tafsir yang beragam bagai pelangi. Bisa jadi himpunan titik-titik air itu mengubah diri atau bertiwikrama menjadi tsunami yang sangat membahayakan. Namun bisa jadi juga titik-titik air itu menjadi air kehidupan bagi para petani karena mengairi sawahnya melalui saluran irigasi. Namun bisa juga butiran itu menjadi pelangi yang indah dipandang mata.
Titik-titik air itu sahabat bahkan rahmat, tetapi jangan dianggap ringan jika dia bertiwikrama menjadi gelombang dahsyat, maka tak ada satu hal pun yang dapat menghalanginya. Dunia pernah di sapu himpunan titik-titik air pada masa Nabi Nuh. Menurut para kaum sufi itu adalah cara Tuhan membersihkan bumi dari laknat. Tinggal pembenarannya parameter apa yang kita gunakan.
Titik-titik air menjadi sahabat manakala Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya pada masa kenabian Yusuf dengan diturunkan hujan untuk menumbuhkan gandum. Sekarang yang tersisa mampukah kita menangkap tafsir itu sehingga “Nikmat manalagi yang kau dustakan wahai manusia”.
Semua peristiwa di atas menjadikan diri teringat pesan orang bijak “Manakala air itu di dalam gelas, maka dia menjadi penyejuk dahaga. Namun manakala dia menjadi air bah, maka jangan kau sesali jiwamupun bisa terancam olehnya”. (R-1)
Recent Comments