Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Sore itu angin pelan menyapu teras masjid di satu sudut kota Palembang; yang posisinya agak menjorok ke dalam, karena itu ada ruang yang cukup luas untuk parkir kendaraan. Posisi masjid itu memang sangat strategis karena di tepi jalan raya utama untuk masuk ke jantung kota Palembang. Dua orang sahabat duduk bersila, memandang halaman yang mulai lengang setelah shalat. Mereka sedang berbincang seperti ini, istilah setempat mereka sedang “begesah”, padanan dalam bahasa Jawa “ngudoroso” walaupun tidak tepat benar:
Ujang: “Kau perhatike dak, Man? Wong-wong mak ini ari, idupnyo macem dak pacak diem. Sedikit-sedikit blari.”
Maman: “Iyo, Jang. Blari terus, tapi katek jugo yang sempat nanyoi, dio ngejar apo sebenernyo.”
Ujang menyambung: “Aku jadi keinget omongan wong tuo-tuo dulu. Brenti nunggu sapo blari ngejar apo.”
Maman mengerejitkan keningnya sambil berguman: “Hm… kalimat itu sederhano, tapi dalem nian maknonyo. Kadang kito ni bukan telat, tapi milih dak melok grabak-grubuk cak itu.”
Ujang menukas: “Iyo. Kalo kito duduk sebentar bae, sambil mikir, rasanyo idup jadi lebih terang. Dak segalonyo harus direbut apo lagi dikebut.”
Maman menjawab: “Bener uji kau. Kadang yang paling capek itu bukan yang dak sampe tujuan, tapi yang blari dak kruan arah tujuan.”
Mereka terdiam sejenak. Hanya suara angin dan langkah orang lewat. Di teras masjid itu, jeda terasa lebih bermakna daripada kata-kata.
Dalam keseharian wong Plembang, ada satu ungkapan yang terdengar sederhana tapi menyimpan lapisan makna yang dalam: “brenti nunggu sapo blari ngejar apo”. Kalimat ini bukan sekadar sindiran, bukan pula nasihat kosong. Ia adalah cara orang Palembang membaca hidup dengan tenang, mengamati, dan tidak tergesa-gesa menilai. Di balik logat yang lugas dan khas, tersimpan filsafat tentang kesadaran, kesabaran, dan keberanian untuk tidak ikut arus.
Bagi wong Plembang, hidup tidak selalu harus dijalani dengan langkah cepat. Ada waktu untuk melaju, ada waktu untuk berhenti. Brenti bukan tanda kalah, melainkan bentuk kecerdasan batin. Ketika seseorang memilih berhenti, ia sedang memberi ruang bagi pikirannya untuk jernih. Ia tidak langsung terjebak dalam perlombaan, tetapi memilih menonton sejenak: siapa yang sedang berlari, dan apa yang sebenarnya mereka kejar.
Filsafat ini lahir dari pengalaman hidup yang dekat dengan alam dan sungai. Sungai Musi tidak pernah tergesa-gesa, tetapi selalu sampai ke tujuannya. Air mengalir dengan tenang, kadang deras, kadang melambat, mengikuti keadaan. Dari situlah wong Plembang belajar bahwa gerak yang tergesa sering justru melelahkan, sementara gerak yang paham arah akan lebih tahan lama. Maka berhenti sejenak adalah bagian dari perjalanan, bukan pengkhianatan terhadap tujuan.
Dalam konteks kekinian, makna ini terasa semakin relevan. Dunia hari ini penuh dengan orang yang blari. Berlari mengejar target, status, pengakuan, dan validasi. Media sosial menjadi lintasan lomba yang tidak pernah sepi. Setiap orang ingin terlihat paling cepat, paling sibuk, paling berhasil. Namun filsafat wong Plembang tidak serta-merta menolak semua itu. Ia hanya mengajak bertanya dengan jujur: ngejar apo? Apakah yang dikejar benar-benar kebutuhan, atau sekadar keinginan yang dipinjam dari orang lain?
Berhenti menunggu, dalam pandangan ini, bukan berarti pasrah tanpa usaha. Ia adalah sikap sadar untuk tidak gegabah. Ada kepercayaan bahwa tidak semua peluang harus direbut, dan tidak semua jalan harus dilewati. Kadang, dengan menunggu, kita justru melihat jalan yang lebih tepat. Wong Plembang memahami bahwa hidup yang dipaksakan sering berakhir dengan lelah yang tidak perlu.
Filsafat ini juga mengajarkan ketenangan dalam menghadapi perbandingan sosial. Ketika melihat orang lain berlari lebih dulu, wong Plembang tidak serta-merta merasa tertinggal. Ada keyakinan bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing. Tidak semua yang berlari lebih cepat akan sampai dengan selamat. Tidak semua yang sampai duluan akan merasa puas. Maka berhenti sejenak adalah cara menjaga diri agar tidak kehilangan makna di tengah hiruk-pikuk dunia.
Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, sikap ini menjadi semacam penawar. Banyak orang kelelahan bukan karena kurang kuat, tetapi karena terlalu lama berlari tanpa tahu kapan harus berhenti. Brenti nunggu memberi ruang untuk bernapas, untuk mendengar diri sendiri, dan untuk menata ulang arah. Dari diam itu, seseorang bisa kembali melangkah dengan lebih yakin, bukan karena ikut-ikutan, tetapi karena mengerti tujuannya.
Wong Plembang juga memahami bahwa mengejar sesuatu tanpa pemahaman sering membawa penyesalan. Harta, jabatan, dan pengakuan bisa didapat, tetapi jika diraih tanpa kesiapan batin, ia justru menjadi beban. Karena itu, berhenti bukanlah penghambat rezeki, melainkan penjaga kewarasan. Ia memastikan bahwa apa yang dikejar sepadan dengan tenaga dan jiwa yang dikorbankan.
Pada akhirnya, filsafat brenti nunggu sapo blari ngejar apo adalah ajakan untuk hidup dengan kesadaran penuh. Ia tidak melarang berlari, tetapi menuntut kejujuran sebelum melangkah. Ia mengingatkan bahwa hidup bukan sekadar soal kecepatan, melainkan soal arah dan kesiapan. Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk berlari lebih kencang, kearifan wong Plembang menawarkan pilihan lain: berhenti sejenak, memahami keadaan, lalu bergerak kembali dengan hati yang lebih tenang dan tujuan yang lebih jelas.
Salam Kopi Pagi (R-1)
