• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Wednesday, November 26, 2025
  • Login
Portallnews.id
Advertisement
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
No Result
View All Result
Home Headline

Cahaya yang Redup di Ujung Usia

OPINI

by portall news
November 26, 2025
in Headline
Prabu Tremboko

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

109
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Oleh: Sudjarwo,GuruBesar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEW.ID (Bandar Lampung) – Di serambi pesantren yang mulai temaram menjelang magrib, seorang santri muda duduk bersimpuh di hadapan kiainya. Angin sore membawa aroma kayu basah, sementara lampu-lampu gantung berbohlam di mushala mulai dinyalakan. Salah satu bohlam tua berkelap-kelip, seolah berjuang mempertahankan cahayanya.

“Yai,” ujar sang santri pelan, menatap bohlam yang hampir padam itu, “Apakah manusia juga seperti lampu? Terang kalau masih kuat, tapi kalau sudah tua… tinggal menunggu diganti?”
Sang kiai tersenyum tipis. “Kau melihatnya seperti itu?”
“Kadang rasanya begitu, Yai. Orang dihargai selama ia memberi manfaat. Tapi kalau sudah tidak mampu, dunia seperti tak peduli.” Jawab Santri.
Kiai memandang bohlam yang berkedip itu, lalu menatap santrinya dengan lembut. “Banyak orang menilai manusia seperti menilai barang. Selama berguna dijaga, ketika rusak ditinggalkan. Tapi apakah itu cara kita memahami diri?”
Santri menunduk, tampak bimbang. “Kalau begitu… apa nilai manusia setelah tak lagi kuat, Yai?”
Kiai menarik napas panjang. “Nilai manusia tidak berhenti ketika cahaya luarnya meredup. Ada cahaya lain yang tidak bergantung pada tenaga tubuh. Tapi untuk memahaminya, kau harus belajar melihat lebih dalam daripada sekadar sinar yang tampak.”

Baca Juga

Putri Maya Ungkap Fakta Kelam di Balik “Danyang Wingit Jumat Kliwon”

Tabligh Akbar HUT Ke-79 Muara Enim, KH. Mahmudin Ingatkan Moto “Bumi Serasan Sekundang”

Hari Kesehatan Nasional: ASN dan Nakes Bandar Lampung Kompak Donor Darah

Santri mengangguk, menanti penjelasan lebih jauh. Dan, begini penjelasannya:
Ungkapan tentang bohlam lampu yang tetap menjadi rongsokan meski dahulu pernah bersinar terang menghadirkan gambaran sederhana namun tajam mengenai perjalanan manusia. Sebuah bohlam, betapapun kuat watt-nya, betapapun terang sinarnya, pada akhirnya akan padam dan digantikan. Cahaya yang dahulu dibanggakan tak lagi menjadi perhatian ketika fungsi utamanya telah berakhir. Di balik perumpamaan ini tersimpan pertanyaan filosofis tentang nilai manusia: apakah martabat seseorang ditentukan oleh kegunaan? Apakah manusia pada akhirnya akan menjadi “barang usang” ketika kekuatan dan perannya tidak lagi dibutuhkan? Atau justru nilai manusia melampaui masa produktifnya?
Manusia, sepanjang hidupnya, mengejar arti. Ia berusaha menjadi berguna, berdaya, dan diakui. Dalam dunia yang dipenuhi ukuran kuasa, kinerja, dan kontribusi, manusia sering dilihat seperti bohlam: dihargai sepanjang ia mampu memberi terang. Banyak orang hidup dengan ketakutan besar bahwa ketika daya tubuh melemah, ketika jabatan berhenti, atau ketika kemampuan menurun, dirinya tidak lagi dianggap bernilai. Ketakutan inilah yang menjadikan perumpamaan bohlam rongsokan begitu menggigit; itulah cermin dari kekhawatiran manusia terhadap kefanaan dan kehilangan peran.

Pandangan bahwa nilai manusia melekat pada kemampuannya adalah warisan dari cara berpikir fungsional yang memperlakukan segala sesuatu sebagai alat. Apa yang dapat bekerja dipertahankan, apa yang tak lagi berfungsi diganti. Namun ketika cara pandang ini diterapkan kepada manusia, muncul kegelisahan yang mendalam. Manusia bukan alat; ia memiliki kesadaran, pengalaman, dan kebermaknaan yang tidak dapat diperas menjadi sekadar fungsi. Namun tetap saja, dalam realitas sosial banyak manusia diperlakukan seperti bohlam: dihormati selama berdaya, dilupakan saat tak lagi bersinar.

Perjalanan hidup manusia justru menunjukkan bahwa nilai sejati tidak terletak pada kekuasaan, produktivitas, ataupun kekuatan. Cahaya manusia bukan hanya cahaya yang ia pancarkan ke luar, tetapi juga cahaya yang ia simpan di dalam: ingatan, rasa, kehendak, cinta, dan kebijaksanaan. Ketika bohlam padam, ia hilang tanpa jejak; tetapi ketika manusia memasuki masa pensiun, ia tidak serta-merta menjadi rongsokan. Ia membawa sejarah dalam dirinya, sebuah ruang batin yang berisi pengalaman yang tidak pernah benar-benar kehilangan makna hanya karena dunia tak lagi menuntut jasanya.

Sebaliknya, ada yang tetap tidak bisa disangkal: tubuh manusia menua, kemampuan melemah, peran berkurang. Kesadaran akan keterbatasan ini sering melahirkan perasaan hampa. Di sinilah manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, bukan sebagai pekerja, bukan sebagai penguasa, bukan sebagai pemilik fungsi tertentu, tetapi sebagai makhluk yang harus menerima bahwa hidup itu sementara. Penerimaan inilah yang menuntut kedewasaan filosofis. Karena justru ketika manusia tidak lagi memiliki penopang kekuasaan atau prestasi, ia dipaksa melihat nilai dirinya yang paling jujur.

Nilai tersebut tidak lagi bergantung pada watt tenaga yang ia keluarkan, melainkan pada keberadaannya sebagai subjek yang dapat menghayati dan memberi makna. Perumpamaan bohlam rongsokan ingin mengingatkan bahwa jika manusia menilai dirinya semata-mata dari daya yang ia pancarkan, maka ia memang akan merasa menjadi rongsokan ketika tak lagi bersinar. Namun jika manusia menyadari bahwa nilai dirinya berasal dari keberadaannya sebagai pribadi yang mampu merasakan, memahami, dan menciptakan makna, maka masa pensiun bukanlah titik kejatuhan, melainkan tahap transformasi.
Pada masa ketika produktivitas tak lagi menjadi pusat hidup, manusia dapat menemukan bentuk cahaya lain: cahaya kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman pahit dan manis, cahaya yang tidak mengharuskan tubuh kuat atau peran besar, melainkan muncul dari kedalaman refleksi. Cahaya ini tidak menyinari ruangan seperti bohlam, tetapi menyinari batin; baik batin sendiri maupun batin orang lain melalui cerita, empati, dan kehadiran. Cahaya ini tidak padam sebagaimana padamnya alat, karena ia bukan barang, melainkan bagian dari perjalanan manusia menuju pemahaman yang lebih utuh tentang dirinya.

Dengan demikian, ungkapan tentang bohlam rongsokan sebenarnya merupakan undangan untuk merenungkan kembali bagaimana manusia menilai dirinya. Jika manusia menggantungkan martabat pada kekuasaan atau kekuatan, ia akan berakhir seperti bohlam: usang dan dibuang. Namun jika ia memahami bahwa dirinya memiliki nilai yang tidak ditentukan oleh fungsi, maka masa surut dalam hidup bukanlah kehancuran, melainkan kesempatan untuk menegaskan kemanusiaan yang lebih mendalam.

Manusia tidak dilahirkan sebagai alat, dan karena itu ia tidak berakhir sebagai rongsokan. Selama manusia mampu mengingat, mengenang, mencinta, memaknai, dan memberi pengaruh dalam keheningan sekalipun, ia tetap memiliki cahaya. Cahaya itu mungkin tidak lagi menyilaukan seperti masa muda atau masa puncak karier, tetapi ia adalah cahaya yang lebih tenang; cahaya yang justru menunjukan hakikat manusia sebagai makhluk yang melampaui kegunaan. Manusia yang tidak sekadar bersinar; tetapi manusia yang berarti.
Salam Waras (R-1)

Previous Post

Ketika Kekurangan Menjadi Cermin

No Result
View All Result

Recent Posts

  • Cahaya yang Redup di Ujung Usia
  • Ketika Kekurangan Menjadi Cermin
  • Target Bersih Maksimal: DLH Bandar Lampung Tambah 38 Armada Sampah Tahun 2026
  • DPMPTSP Bandar Lampung Percepat Proses SLHS untuk SPPG
  • Putri Maya Ungkap Fakta Kelam di Balik “Danyang Wingit Jumat Kliwon”

Recent Comments

  • portall news on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
  • Icha on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
Portallnews.id

© 2020 Portallnews.id

PORTALLNEWS.ID hadir ke tengah masyarakat memberikan sajian berita yang berkualitas dan berimbang.

  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi

© 2020 Portallnews.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist