Hanyut Dalam Lantunan Doa Subuh

REFLEKSI

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Subuh baru saja berlalu; ketika santri dan kiai itu duduk bersila di serambi. Udara dingin menyisakan sisa kantuk, tetapi juga menghadirkan ketenangan yang jarang ia temui di waktu lain. keheningan itu dipecahkan dengan pertanyaan santri kepada kiai;
Santri: “Kiai, mengapa doa subuh selalu terasa berbeda, meski lafaznya tak banyak berubah?”
Kiai: “Karena subuh datang saat manusia belum sibuk menjadi apa-apa. Di waktu itu, kamu masih menjadi dirimu sendiri”.

Santri terdiam. Ia menyadari betapa seringnya ia menjalani hari dengan topeng peran dan tuntutan. Sejurus kemudian Santri menyergah: “Namun saya sering merasa berat bangun. Kadang hadir, tapi hati tertinggal”.
Kiai menjawab: “Subuh tidak menuntut hati yang sempurna. Ia hanya meminta kejujuran. Datang apa adanya sudah cukup”.

Bagi santri, kalimat itu terasa melegakan. Ia terbiasa mengukur ibadah dari rasa, bukan dari kesediaan. Dan santri berkata:
Santri: “Di zaman sekarang, pikiran selalu berlari. Bahkan setelah doa, rencana sudah memenuhi kepala”.
Kiai menjawab sambil tersenyum tipis: “Maka subuh hadir untuk memberi arah. Bukan menghentikan pikiranmu, tapi mengingatkan ke mana ia seharusnya melangkah”.

Keheningan kembali menyelimuti mereka, seolah menguatkan kata-kata yang baru saja diucapkan.
Santri: “Apakah hanyut dalam doa berarti menyerah pada keadaan?”
Kiai: “Bukan menyerah, tapi mempercayakan. Kamu tetap berjalan, hanya saja tidak sendirian”.
Santri: “ Bagaimana jika subuh terasa biasa saja?”
Kiai menimpali: “Biasa tidak berarti sia-sia. Konsistensi sering lebih bernilai daripada merasa diri istimewa”.

Santri mengangguk pelan. Ia mulai memahami bahwa subuh bukan soal pengalaman luar biasa, melainkan ruang untuk kembali menata diri sebelum dunia menuntut segalanya.
Hanyut dalam lantunan doa subuh adalah pengalaman yang kian langka di tengah dunia kontemporer yang bergerak cepat. Saat layar ponsel menyala lebih awal dari matahari, dan notifikasi berlomba merebut perhatian, subuh hadir sebagai jeda yang sunyi namun bermakna. Ia bukan sekadar penanda waktu ibadah, melainkan ruang batin tempat manusia bernegosiasi dengan dirinya sendiri; antara kebutuhan untuk bergerak dan kerinduan untuk diam, antara tuntutan produktivitas dan panggilan keheningan.

Dalam konteks masa kini, subuh sering dipersepsikan sebagai tantangan. Ritme hidup urban membuat waktu tidur tergerus, sehingga bangun di sepertiga akhir malam terasa berat. Namun justru di titik inilah nilai subuh menjadi kontras dan relevan. Lantunan doa subuh, yang pelan dan berulang, menawarkan pengalaman resistensi terhadap budaya serba cepat. Ia mengajak manusia menurunkan tempo, menata napas, dan memusatkan kesadaran pada sesuatu yang melampaui daftar tugas harian.

Keheningan subuh bukan kekosongan, melainkan kepadatan makna yang hanya bisa dirasakan ketika kebisingan diredam.
Hanyut dalam doa subuh juga mencerminkan kebutuhan kontemporer akan kesehatan mental. Banyak orang mencari mindfulness melalui aplikasi, kelas pembelajaran rohani, atau teknik pernapasan. Namun doa subuh telah lama memuat elemen serupa: fokus, kehadiran penuh, dan penerimaan. Saat kata-kata doa dilantunkan, pikiran yang semula berkelana perlahan terikat pada makna. Ada proses menenangkan diri yang organik, tanpa instruksi rumit. Subuh menjadi momen rekonsiliasi antara tubuh yang lelah dan jiwa yang ingin pulih.

Di era digital, spiritualitas sering kali dipertanyakan relevansinya. Namun pengalaman subuh justru menunjukkan adaptabilitas nilai-nilai lama. Banyak orang memaknai subuh bukan hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi sebagai ritual personal. Lantunan doa menjadi bahasa intim antara manusia dan harapan-harapannya. Ia menyimpan doa untuk hari yang akan dijalani, kegelisahan yang belum terjawab, dan rasa syukur atas napas yang masih berlanjut.

Dalam kesederhanaannya, subuh mengajarkan bahwa makna tidak selalu lahir dari hal besar, melainkan dari konsistensi menghadirkan diri.
Hanyut juga berarti menyerahkan kontrol. Dunia kontemporer mengagungkan kendali: target, metrik, dan perencanaan. Subuh menawarkan kebalikan, yaitu kepercayaan. Saat doa mengalir, ada pengakuan akan keterbatasan manusia. Pengakuan ini bukan kelemahan, melainkan sumber kekuatan. Dengan mengakui batas, manusia belajar bersandar, dan dari sandaran itu lahir ketenangan. Dalam lanskap ketidakpastian global, sikap ini menjadi relevan dan menenangkan.
Pengalaman subuh tidak terlepas dari dimensi sosial. Di banyak tempat, lantunan doa subuh terdengar dari ruang-ruang yang saling berdekatan, menciptakan rasa kebersamaan tanpa perlu pertemuan fisik. Ini adalah solidaritas sunyi, di mana individu-individu terhubung oleh waktu dan niat yang sama.

Dalam masyarakat yang terfragmentasi oleh algoritma, subuh menyatukan melalui ritme alami. Ia mengingatkan bahwa ada waktu bersama yang tidak ditentukan oleh jadwal rapat atau kalender digital.
Namun, romantisasi subuh perlu diimbangi dengan kesadaran realistis. Tidak semua orang memiliki kondisi yang sama untuk menghayatinya. Pekerjaan malam, tanggung jawab keluarga, dan tekanan ekonomi bisa mengaburkan keheningan subuh. Di sinilah pendekatan kontemporer menuntut empati. Hanyut dalam lantunan doa subuh tidak harus seragam; ia bersifat elastis, menyesuaikan konteks. Esensinya terletak pada niat dan kehadiran, bukan pada bentuk yang kaku.

Pada akhirnya, hanyut dalam lantunan doa subuh adalah ajakan untuk kembali pada inti kemanusiaan: mendengar, merasakan, dan berharap. Di antara cahaya pertama yang menyentuh ufuk dan udara yang masih jernih, subuh menawarkan kesempatan memulai ulang. Ia tidak menjanjikan jawaban instan, tetapi memberikan keberanian untuk melangkah. Dalam dunia yang terus berubah, mungkin yang paling kita butuhkan adalah momen singkat untuk hanyut, bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk menemukan arah.
Salam Waras (R-1)