Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWS.ID (Lampung) – Pagi menjelang siang, saya bersama seorang Guru Besar Pertanian membangun diskusi yang cukup serius pada fenomena sosial, melalui media sosial di genggaman kami masing-masing. Pokok persoalannya tentang generasi sekarang yang diduga memiliki karakter : Jika mengalami sedikit kesulitan saja, sudah minta untuk healing.
Sebelum jauh melangkah kita simak terlebih dahulu makna healing, artinya adalah “the process of becoming or making someone or something healthy again”. Bila diterjemahkan secara bebas ke bahasa Indonesia, healing memiliki atri proses menjadi atau membuat seseorang pulih kembali. Singkatnya, healing berarti penyembuhan. Dikutip dari kamus bahasa Inggris ternama dunia yakni Oxford.
Di Indonesia sendiri, arti healing pun sejatinya mulai bergeser. Publik menyebut healing artinya mengacu ke aktivitas traveling atau jalan-jalan. Hal itu sebagaimana terkonfirmasi oleh data pencarian Google.
Namun akhir-akhir ini makna itu bergeser. Orang Indonesia menyebut traveling itu healing, kata travel-nya bahkan tidak disebut. Jadi banyak orang ngomongnya bukan ‘Aku traveling ke Bali, tetapi aku lagi healing ke Bali’, atau healing trip ke mana,” ujar Travel Industry Analyst Google Indonesia Vania Anindiar, dikutip dari laman Kompas.com.
Urusan di atas kita serahkan kepada ahli bahasa dan tatakrama berbahasa. Tulisan ini lebih fokus pada hasil diskusi yang menjadikan keheranan bukan hanya pergeseran arti, tetapi lebih kepada hakiki. Bisa dibayangkan pada generasi penulis dan juga Sang Profesor dari pertanian tadi, saat menghadapi halangrintang kehidupan, di sana sekaligus kami healing. Sebab kesulitan hidup itu bukan kami ratapi, tetapi kami nikmati, mungkin di sini letak pembeda hakikinya. Menikmati kesulitan hidup yang disublimasikan menjadi tantangan, adalah kegiatan rohani tersendiri bagi kami yang saat itu berada pada posisi ekonomi tidak baik-baik saja.
Bisa jadi pembenaran sementara, manakala kita ambil contoh bagaimana seorang gadis remaja Indonesia memenangkan pertandingan bergengsi dunia di bidang musik, karena menyikapi kekurangannya tidak dengan meratapi, melainkan menjadikannya sebagai tantangan hidup sehingga mendorongnya untuk menembus batas. Keterbatasan disikapinya sebagai anugerah yang digunakan untuk maju mengejar mimpi. Mimpi kehidupan tidak harus di tempat tidur, akan tetapi ada pada bayang maya yang selalu menjadi cita-cita.
Berbeda dengan anak-anak normal sezamannya, banyak diantara mereka baru selesai ujian semester, dan belum mengetahui hasilnya, tetapi dibenak mereka sudah ada keinginan “healing” ramai-ramai ke Bali atau bahkan ke luar negeri. Bagi mereka yang secara ekonomi mampu, hal itu tidak menjadi persoalan, tetapi bagi mereka yang ekonominya pas-pasan, tentu ini adalah pemaksaan. Healing bagi anaknya, kering bagi bapaknya. Sementara zaman Sang Profesor, waktu itu digunakan membantu orang tua untuk mendapatkan sedikit dana demi kemajuan studi adalah kebanggaan tersendiri. Posisi membantu bekerja untuk orang tua, itulah hakekat healing yang sesungguhnya, pada zaman itu.
Menyimak itu semua, jadi ingat tulisan di media ini tentang anak Pulau yang lulus Paket A,B, dan C. Bagaimana sang guru harus bersusah payah mencarikan beasiswa anak-anak yang kurang beruntung itu, untuk maju. Lebih khusus lagi bagaimana jurnalis media ini mampu mengangkat persoalan ini kepermukaan.
Mereka juga anak bangsa yang perlu perhatian, jika digunakan posisi kurva normal, maka mereka ada pada ujung paling kanan. Ini berarti bukan diabaikan seperti halnya hukum statistika, melainkan sesuatu yang perlu mendapat perhatian lebih dari semua pemangku kepentingan.
Tampaknya negeri ini generasinya sudah harus dipikirkan dari awal, kelompok pertama, mereka yang secara fisik memiliki kendala. Untuk mereka ini pemerintah harus turun tangan dengan serius guna memikirkan bagaimana di setiap Ibu Kota Provinsi ada sekolah khusus untuk mereka yang berkebutuhan khusus, dan semua pendanaan ditanggung pemerintah.
Kelompok kedua, mereka yang memiliki kemampuan lebih, baik ekonomi maupun kemampuan personal. Bibit unggul ini diarahkan jika ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri dibekali pembelajaran ke-Indonesiaan, supaya mereka tidak lupa akan negaranya.
Kelompok ketiga, yang secara ekonomi kurang beruntung, tetapi memiliki kemampuan akademik yang luar biasa. Kelompok ini sudah mulai diperhatikan, tetapi sayang masih ada oknum yang tega menghianati mereka dengan menyimpangkan kemuliaan program, dipakai untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan mereka.
Tidak salah jika sebagian orang mengatakan bahwa healing itu tidak harus bersenang-senang, tetapi mengalihkan kesibukan kepada yang lain, adalah rekreasi kejiwaan dalam bentuk lain. Persoalannya, sekarang banyak anak muda tidak menyadari bagaimana keadaan orang tuanya, dan orang tuapun banyak yang tidak menyadari bahwa cara mendidik anak mereka selama ini sudah salah. Untuk itu mari kita menjadi orang tua bijak dalam mendidik anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa ini. (R-1)
Recent Comments