PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Lampung ikut berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan sampah di Bandar Lampung dengan merumuskan formula dan teknologi pengelolaan sampah ramah lingkungan melalui manajemen bank sampah yang baik.
“Sebagai bagian dari warga Bandar Lampung yang peduli dengan permasalahan masyarakat, Kagama ingin berkontribusi dalam penyelesaian masalah sampah dengan mengajak seluruh pihak mulai dari pemerintah, entitas bisnis, dunia pendidikan, masyarakat dan media. Masing-masing pihak memiliki peran penting dalam penyelesaian masalah sampah ini,” ujar Riskha Tri Budiarti, Founder Bank Sampah Lestari Sejahtera Bandar Lampung yang juga angggota Kagama Lampung, Senin (29/11/2021).
Menurut Riskha, berdasarkan data dari media republika.co.id pada 15 Oktober 2019, sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Telukbetung Barat, Bandar Lampung mencapai 1.000 ton per hari. Jumlah ini sangat besar bila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya.
Pengelolaan sampah di Bandar Lampung masih menerapkan paradigma kumpul-angkut-buang, begitu juga sistem pngelolaan sampah di TPA Bakung yang menggunakan sistem open dumping dengan cara membuang sampah dan ditumpuk begitu saja.
“Hal ini dalam menyebabkan konsekuensi buruk bagi ekologis,” ujar alumnus Magister FEB Universitas Gadjah Mada ini.
Dia memaparkan, dari berbagai jenis sampah, 40% berupa sampah anorganik dan 60% sampah organik. Sesuai prinsip sirkular ekonomi, penanganan sampah anorganik seharusnya didaur ulang untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sebab, sampah anorganik butuh waktu ratusan tahun untuk diurai oleh alam.
“Daur ulang sampah anorganik masih sangat rendah di Indonesia. Menurut Sustainable Waste Indonesia, hanya 7% sampah pelastik yang didaur ulang, sisanya tertumpuk di TPA, dibakar atau berserakan di sungai dan laut. Di Kota Bandar Lampung sendiri, sarana dan infrastruktur daur ulang sampah anorganik masih minim,” tuturnya.
Sedangkan, terkait sampah organik, lanjut Riskha, Indonesia menduduki peringkat kedua negara yang paling banyak membuang makanan (food waste) setelah Arab Saudi.
Padahal, sampah organik sangat berbahaya karena menghasilkan gas metana dan gas karbondioksida yang merupakan penyumbang pemanasan global. Sampah organik juga menghasilkan lindhi yang berpotensi mencemari sumber air.
Menurut Riskha, Berdasarkan riset yang dilakukan Iryani DA,dkk, yang dipublikasikan di Journal of Natural Resources and Environmental Management IPB, gas metana yang dihasilkan TPA Bakung meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2018, volume gas metaba sebesar 788 ribu meter kubik, pada 2019 mencapai 1,3 juta meter kubik. Tahun 2023 diestimasi mencapai 3,6 juta meter kubik yang setara dengan 2.420 ton.
“Kondisi ini tidak bisa diremehkan, pada tahun 2005, TPA Leuwigajah Kota Cimahi meledak hingga menewaskan 157 jiwa dan meluluhlantakkan dua perkampungan yang jaraknya 1 km dari TPA. Penyebabnya adalah gas metana yang terkumpul dalam jumlah besar dan terjebak diantara sampah anorganik,” urai Riskha.
Dengan potensi produksi gas metana yang begitu besar di TPA Bakung, seperti menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Untuk itu, ujar Riskha, masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu mencegah bencana ekologis yang diakibatkan oleh sampah yang tidak dikelola dengan baik agar tragedi Leuwigajah tidak terjadi di Bandar Lampung.
“Masyarakat harus mengubah paradigma kumpul-angkut-buang. Paradigma yang digunakan adalah kurangi-pilah-olah sampah sejak dari sumbernya. Sudah mendesak bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk melakukan pengelolaan dan pemusnahan sampah dengan mentransformasi menjadi produk yang lebih bermanfaat,” pungkas Riskha.
Recent Comments