Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Berdasarkan penelusuran peribahasa kebakaran jenggot diperoleh penjelasan bermakna “bingung tidak keruan”. Namun dalam laman yang berbeda kebakaran jenggot memiliki makna subjektif lain, yaitu sering digunakan untuk menggambarkan orang yang dengki, istilah sederhananya tidak senang melihat orang lain senang.
Bahasa metafora ini semula untuk menggambarkan kepanikan seseorang karena tekanan pekerjaan, kejar tayang yang makin mendekat. Namun bisa juga bermakna kebingungan karena berhadapan dengan situasi yang diluar perkiraannya. Bisa dibayangkan jika kebakaran jenggot dimaksud melanda suatu negeri; tentu saja sangat memprihatinkan; karena bisa jadi penyebab jenggot terbakar itu akibat ulahnya sendiri.
Pada waktunya ada saat dimana orang banyak yang merasa kebakaran jenggot dalam rangka menyikapi hasil yang diperoleh dari usahanya. Selama ini merasa terlalu percaya diri dan yakin akan keberhasilan, tetapi begitu tiba waktunya, ternyata ekpektasi itu tidak sesuai. Tentu saja situasi seperti ini membuat orang merasa kebakaran jenggot; berbeda dengan yang bekerja tanpa ekspektasi tinggi, justru bersikap berserah pada Tuhan atas apa kehendak-Nya. Hal ini diakui oleh seorang mantan general manager pabrik gula terbesar di negeri ini. Beliau mengatakan bahwa kerja ikhlas berbasis amanah; adalah kunci terhindar dari kebakaran jenggot.
Ketidakterpilihan dari suatu proses pemilihan adalah juga potensi akan munculnya orang kebakaran jenggot. Dan, itu bisa saja terjadi justru sebelum pesta pemilihan berlangsung, karena hal ini disebabkan oleh kekurangpercayaan diri akan hasil usahanya selama ini. Apalagi jika sikap pesimisme ini memang sudah menghantui jauh sebelum proses berlangsung.
Upaya-upaya dari yang terhormat sampai tidak terhormat dilakukan oleh mereka yang ada pada posisi ini adalah salah satu bentuk dari manisfestasi pertahanan ego. Perilaku seperti ini dapat melanda siapapun, tanpa memperhatikan latarbelakang pendidikan, jabatan, bahkan jenis kelamin. Dengan kata lain semua memiliki peluang yang sama untuk terkena kebakaran jenggot.
Sayangnya perilaku ketololan sering ditampilkan; sehingga memperparah keadaan menjadi sangat tidak baik-baik saja. Dan, akhir-akhir ini perilaku seperti ini lebih banyak mengemuka, dan dikemukakan yang seharusnya oleh orang yang tidak perlu mengemukakan. Kondisi real dipandang dari berbagai segi, dan menghasilkan interpretasi berbeda, adalah sah-sah saja. Tidak perlu kebakaran jenggot sehingga mengatakan bahwa yang tidak kebakaran jenggot itu tidak normal.
Merudapaksa situasi supaya mengikuti kemauan yang dimaui, juga berpotensi untuk menjadikan diri kebakaran jenggot; karena akan paling tidak melanggar aturan yang ada, dan atau norma etika yang berlaku. Jika ini jalan yang dipilih, maka tidak salah pelanggaran yang terjadi bukan sekedar pelanggaran hukum, akan justru lebih lagi yaitu pelanggaran etika.
Lalu ada pertanyaan tersisa, bagaimana kita terhindar dari kebakaran jenggot?Tentu ruang ini tidak cukup tersedia guna menjelaskannya; namun ada inti pokok yang dapat kita jadikan pedoman yaitu: pertama, kita harus taat pada sistem yang telah disepakati, siapapun kita, jika kita taat akan kesepakatan yang telah disepakati, maka tidak akan membuat kita kebakaran jenggot. Kedua, kita harus sepakat untuk tidak memberi celah pada pengistimewaan individu, karena jika itu yang kita lakukan, maka akan rusaklah tatanan yang sudah disepakati tadi.
Sebagai contoh, tidak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya, tetapi memaksakan kehendak kepada anak untuk memenuhi hasrat orang tua, atau sebaliknya, sehingga merusak sistem; itu berarti kita membakar jenggot sendiri.
Semoga kebakaran jenggot tidak melanda negeri ini, karena jika populasi kebakaran jenggot lebih banyak dibandingkan yang tidak, berarti negeri ini dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja: atau paling tidak menjadi negeri lelucon yang tidak lucu.
Salam Lucu ! (R-1)