Penulis : Eni Muslihah
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Hujan sepanjang hari tidak menyurutkan kami berangkat ke Kebun Kemiri penggarap Abah Mus, di Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman di Desa Sumberrejo, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung.
Angin bertiup kencang pada sore itu, kian merangsek ke dalam tubuh. Terasa dingin sekali. Begitu halnya tanah yang basah, medan yang terjal membuat pijakan kaki ini berat melangkah karena licin. Pejalan kaki menempuh jarak sekira 2 kilometer untuk sampai ke Kebun Kemiri dari bibir jalan utama.
Sesampainya di sana, kami disambut sebuah papan plang bertuliskan “Selamat Datang di Hutan Kemiri”. Tidak jauh, seorang lelaki paruh baya duduk santai di bale bambu yang berjejer dekat gubuk persinggahan.
Senyuman hangat di wajahnya menampakkan gigi yang mulai jarang, tanggal, termakan usia.
“Apa kabar Bu,” sapa Abah Muslih (70) lelaki pemilik Kebun Kemiri. Ya, lelaki paruh baya itu adalah Abah Mus, pengelola Kebun Kemiri seluas 2 hektare di Tahura Wan Abdul Rachman.
Bermula ketika ia menerima tantangan dari pemerintah untuk melestarikan alam, tetapi tetap bisa memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan ekonomi keluarga. Maka, pada tahun 1995, Abah Mus mencoba menanam tajuk tegakan tinggi Kemiri ( Aleurites moluccana).
“Saya sempat ditertawakan oleh petani lainnya, karena menanam sesuatu yang tidak populer kala itu,” ujarnya.
Tentunya, sambil menunggu tegakan kemiri tumbuh besar dan membuahkan hasil, Abah menanam tegakan pohon yang lebih cepat dipanen seperti pisang dan kopi.
Pada tahun ke-lima, tepatnya tahun 2000, Kebun Kemiri Abah Mus dalam kawasan, sebanyak 100 batang, mulai belajar berbuah.
“Di awal-awal panen saya dapat mengumpulkan 2.000 biji kemiri, tahun berikutnya meningkat menjadi 20.000 biji dan seterusnya sampai menembus lebih dari 100 ribu butir,” kisah Abah Mus.
Karena di masa itu kemiri bukan komoditas yang populer, Abah Mus hanya menerima Rp3,- per butir. Namun, hal ini tidak membuatnya putus asa, apalagi sampai menebang tanaman yang sudah dia pelihara.
Kesabaran Abah Mus membuahkan hasil, semakin hari, permintaan terus meningkat dan berkembang, bahkan harga komoditas kemiri pun mengalami kenaikkan mencapai Rp8.000 per kilogram bagi kemiri yang masih dalam cangkang keras.
Menariknya lagi, panen kemiri, menurut Abah Mus tak serepot seperti panen kopi. “Kita tunggu saja rontokan bijinya dari bawah, nanti bergerilya memungut biji tersebut,” katanya.
Pohon kemiri tidak perlu dipanjat saat memanen. Selain dapat merusak pohon, kualitas biji kemiri yang diperoleh tidak sebaik biji kemirj hasil runtuhan.
Panen raya kemiri, biasanya akan terjadi antara September sampai Oktober dan akan terkumpul menjadi gundukan tinggi pada November. Saat ini, di musim panen raya, Kebun kemiri Abah Mus bisa menghasilkan 8-9 ton per tahun, bahkan lebih.
Kemakmuran dalam memelihara hutan inilah, akhirnya mulai mendapatkan perhatian dari petani lainnya yang sudah terlanjur menanam kopi di kawasan.
“Beberapa petani lainnya sudah mulai menanam pohon kemiri, yang kini sudah berjalan kisaran 3-4 tahun lalu. Sebentar lagi juga akan belajar buah,” tutur Abah Mus.
Pasokan Kemiri Masih Kurang
Sementara itu pelaku usaha hasil bumi asal Bandar Lampung, Iffah mengatakan, permintaan biji kemiri terus meningkat sedangkan ketersediaan di Lampung masih jauh dari kebutuhan.
“Saya bisa membeli dari petani langsung kadang berkisar Rp8000/ kilogram sampai Rp12.000/ kilogram mengambil di kebunnya langsung dalam kondisi belum dikupas,” kata Iffah.
Harga kemiri sangrai atau goreng bisa mencapai Rp40 ribu per kilogram – Rp43 ribu per kilogram.
“Saya akan membeli berapapun ketersediaan kemiri, karena kami juga ketersediaannya masih terbatas,” tuturnya.
Dia menerima pasokan kemiri tak hanya dari Lampung saja. Namun, juga banyak dari Medan dan NTT. Dia berharap, pasokan itu bisa terpenuhi dari Lampung karena Lampung memiliki hutan yang lebih luas.
Sejarah Tahura Wan Abdul Rachman
Kepala UPTD KPHK Tahura Wan Abdul Rachman, Eny Puspasari menceritakan, Tahura Wan Abdul Rachman dulunya merupakan Kawasan Hutan Lindung (KHL) dengan luas 22.245 hektare.
Lalu, setelah hasil kajian dari LIPI menyatakan di dalam kawasan hutan terdapat beberapa ekosistem penting, baik satwa maupun flora yang harus dijaga keberadaannya, maka pada tahun 1993, KHL Register 19 Gunung Betung dinaikkan status menjadi Kawasan Pelestarian Alam dalam bentuk Taman Hutan Raya (Tahura) dengan nama Tahura Wan Abdul Rachman.
Keberadaan Kawasan Tahura dikelilingi oleh lahan marga (APL), ada sebanyak 43 desa/kelurahan dari 9 kecamatan yang mengelilingi Tahura.
“Ini menjadi ancaman terhadap Tahura, masyarakat di sekitar Tahura yang tidak punya lahan merambah dan berkebun di dalamnya,” kata Eny.
Menurutnya, dulu belum ada skema pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan konservasi. Pemerintah pernah menurunkan perambah yang menggarap di dalam kawasan Tahura secara besar-besaran pada tahun 1982.
Namun, kebutuhan akan lahan yang cukup tinggi menyebabkan masyarakat pun kembali masuk dan menggarap lahan di dalam hutan kawasan.
Ketika itu, Dinas Kehutanan membuat kebijakan membina masyarakat yang menggarap melalui pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Tahu 2016 terbit kebijakan pemerintah melalui Permen LHK No 83 tentang Perhutanan Sosial, salah satu pasalnya menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat melalui perhutanan sosial dapat dilakukan di kawasan konservasi melalui skema kemitraan konservasi.
“Abah Mus sama halnya masyarakat lainnya. Merambah kawasan Tahura dan beliau dibina melalui PHBM,” ujar Eny.
Kemitraan Konservasi
Sejak awal, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung sudah mengajarkan pada masyarakat agar menanam beraneka tanaman tajuk tinggi yang dapat diambil hasilnya kecuali kayunya, salah satunya jenis kemiri.
“Abah Mus salah satu contoh perambah yang kemudian mau mengikuti saran-saran pemerintah,” kata Eny.
Meskipun status penggarapan Abah Mus masih ilegal, karena belum melakukan kemitraan dengan pihak Tahura, tetapi Eny mengapresiasi kepatuhan Abah Mus mengikuti saran pemerintah dalam pelestarian hutan.
Menurut Eny, kemitraan konservasi merupakan satu-satunya akses legal bagi masyarakat yang sudah terlanjur menggarap di dalam Tahura untuk dapat memungut Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Kemitraan konservasi dilaksanakan antara pengelola Tahura dengan Kelompok Masyarakat Hutan (KTH).
“Jadi Abah Mus harus bergabung dalam KTH lalu bermitra dengan Tahura melalui Kemkon, baru aktivitas Abah Mus memungut hasil kebun kemirinya menjadi legal,” pungkasnya.
Abah Mus sendiri yang telah bergabung dengan kelompok masyarakat hutan, menyatakan kesediaannya untuk bergabung dalam kemitraan konservasi Tahura Wan Abdul Rachman. (R-1)
Recent Comments