• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Tuesday, September 2, 2025
  • Login
Portallnews.id
Advertisement
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
No Result
View All Result
Home Headline

Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara

OPINI

by portall news
September 2, 2025
in Headline
Jalur Langit

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

155
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Negeri ini sedang tidak baik-baik saja, di banyak wilayah terjadi gejolak demonstrasi besar-besaran, baik tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi, tidak terkecuali Lampung; pada tanggal satu September bagai laut bah, manusia tumpah di sepanjang utama menuju satu titik Gedung DPRD. Mereka dengan satu tujuan menyampaikan ekspresi yang selama ini dirasakan sudah sangat keterlaluan penguasa negeri ini memberlakukan rakyatnya. Terlepas dari adanya pihak ke tiga yang “mengambil manfaat” dari situasi ini, tulisan ini mencoba untuk melihat dari sisi lain, terutama daerah-daerah yang aman tidak terjadi gejolak; mengapa itu bisa terjadi? Mari kita dedah satu persatu dari konsep filsafat manusia.

Demonstrasi adalah peristiwa sosial yang menyingkap wajah terdalam dari suatu masyarakat. Ia adalah titik temu antara kegelisahan rakyat dan reaksi kekuasaan. Di banyak tempat, demonstrasi berubah menjadi kekacauan karena ketegangan dua sisi itu tidak tersambung oleh kepercayaan. Namun, ada peristiwa yang menyela pola umum itu, yakni di Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara, demonstrasi berlangsung damai, dan relatif tertib. Tidak ada kerusuhan, tidak ada bentrokan, tidak ada saling curiga yang merusak. Di sana, rakyat bersuara dan pemimpinnya menyambut. Ini bukan sekadar keberhasilan manajerial atau koordinasi keamanan. Ini adalah keberhasilan etis. Sebuah keberhasilan yang harus ditilik dari sudut terdalam kemanusiaan: dari filsafat manusia.

Baca Juga

Kajian Agama Al Kautsar Lampung Bahas Fikih Kontemporer

Kemendukbangga Ajak Mahasiswa Pascasarjana Unila Bersinergi Antisipasi Masalah Bonus Demografi

RUPSLB PGN Tetapkan Pengurus Baru, Mantapkan Langkah Strategis Gas Bumi Nasional

Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran itu melahirkan kehendak untuk menyatakan diri, menyampaikan gagasan, dan mencari kebenaran. Maka ketika ketidakadilan atau ketimpangan terjadi, manusia akan terdorong untuk bersuara, tidak karena nafsu memberontak semata, tetapi karena ia ingin eksistensinya diakui. Dalam kerangka ini, demonstrasi adalah bentuk pencarian pengakuan. Manusia ingin dipandang bukan sebagai objek kebijakan yang dilihat sebagai individu dengan lambang statistik, tetapi sebagai subjek yang rasional, merdeka, dan bermartabat.
Namun, dalam dunia politik yang sering kali keras dan tertutup, suara rakyat kerap dianggap gangguan. Pemimpin yang buta oleh kekuasaan melihat demonstrasi sebagai ancaman, bukan sebagai panggilan untuk mendengar. Di sinilah akar dari kekerasan lahir. Rakyat yang tidak didengar akan berteriak lebih keras. Negara yang takut pada suara rakyat akan membalas dengan represi.

Kekerasan bukanlah kodrat dari demonstrasi, melainkan akibat dari putusnya relasi etis antara rakyat dan pemimpin.
Yang terjadi di Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara adalah pengecualian yang seharusnya menjadi teladan. Di daerah-daerah itu, pemimpin tidak menutup pintu. Mereka tidak memobilisasi aparat sebagai tameng ketakutan, tetapi membuka diri sebagai tempat rakyat menaruh kegelisahannya, bahkan menyongsongnya bersama mereka. Mereka menyongsong rakyat bukan karena takut pada citra atau tekanan politik, melainkan karena mereka mengerti bahwa kekuasaan bukan milik pribadi, melainkan amanah dari manusia kepada manusia. Dan manusia, dalam filsafat yang paling purba sekalipun, adalah makhluk yang menuntut martabat.
Martabat manusia adalah pusat dari semua etika. Dalam pandangan Immanuel Kant, manusia adalah tujuan, bukan alat. Maka tidak boleh ada kebijakan yang mengorbankan manusia demi tujuan politik, ekonomi, atau kekuasaan.

Ketika pemimpin menyambut demonstrasi dengan tangan terbuka, ia sedang mengatakan: “aku tidak menjadikan rakyatku sebagai angka statistik atau beban administratif. Aku melihat mereka. Aku mengakui mereka. Aku bersedia digugat, karena aku juga manusia”.

Sikap seperti ini lahir bukan dari teknik komunikasi, tetapi dari kedalaman hati. Dari hati yang bersih. Dalam bahasa spiritual, hati yang bersih adalah hati yang tidak diselimuti niat buruk. Hati yang tidak takut pada rakyat, karena ia tidak sedang menyembunyikan kesalahan. Pemimpin dengan hati bersih tidak panik ketika dikritik, sebab ia menyadari bahwa kritik adalah bagian dari pengawasan moral. Hati yang bersih adalah cermin dari jiwa yang utuh, yaitu jiwa yang tidak terbelah antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab publik.

Inilah yang membedakan pemimpin sejati dari pejabat biasa. Pemimpin sejati mengerti bahwa kekuasaan bukan soal otoritas, tetapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan tidak bisa dibeli atau dituntut, ia hanya bisa diberikan secara sukarela oleh rakyat ketika mereka merasa dihargai. Ketika pemimpin terbuka, rakyat akan damai. Mereka akan datang dengan kepala tegak, bukan dengan emosi yang meledak-ledak. Sebab mereka merasa, meskipun tidak semua tuntutan dipenuhi, setidaknya mereka telah didengar sebagai manusia.

Kita bisa melihat bahwa yang terjadi di daerah-daerah ini bukan semata keberuntungan sosial. Ini adalah hasil dari relasi yang dibangun di atas dasar-dasar filsafat manusia: kesadaran, pengakuan, dialog, dan tanggung jawab. Pemimpin dan rakyat berdiri sejajar, bukan karena status sosial mereka sama, tetapi karena nilai kemanusiaan mereka tidak bisa dibedakan.
Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa demonstrasi damai tidak muncul dari satu sisi saja. Rakyat di daerah tersebut juga menunjukkan kedewasaan moral. Mereka tidak terprovokasi, tidak mudah terbakar oleh emosi. Mereka datang dengan maksud menyampaikan, bukan menghancurkan. Ini menunjukkan bahwa ketika pemimpin memberi ruang yang aman dan tulus, rakyat akan memilih ekspresi yang lebih beradab. Kekerasan adalah jalan terakhir, bukan pilihan utama.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak kerusuhan sosial justru lahir dari rasa tidak didengar. Ketika suara rakyat dibungkam, ketika aspirasi dikerdilkan menjadi formalitas birokrasi, maka yang lahir bukan dialog, tetapi dendam. Di sinilah pentingnya peran pemimpin sebagai penjaga harmoni. Bukan sekadar penegak aturan, tetapi penafsir nilai. Seorang pemimpin sejati mengerti bahwa hukum tanpa kemanusiaan hanyalah alat kekuasaan yang kaku. Sebaliknya, kemanusiaan tanpa hukum akan melahirkan kekacauan. Keseimbangan itulah yang ditunjukkan oleh para pemimpin di Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara.

Tentu kita tidak bisa mengidealisasi sepenuhnya. Tidak ada pemimpin yang sempurna, tidak ada rakyat yang sepenuhnya rasional. Tetapi dalam hubungan sosial, yang dibutuhkan bukan kesempurnaan, melainkan “ketulusan dan keberanian untuk hadir secara otentik”. Inilah nilai eksistensial yang paling dasar: menjadi manusia yang jujur terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Ketika pemimpin dan rakyat hadir dalam perjumpaan yang otentik, maka relasi kuasa berubah menjadi relasi kemanusiaan.
Banyak yang lupa bahwa politik pada dasarnya adalah ruang etis. Ia adalah tempat di mana manusia bertemu untuk merancang masa depan bersama. Ketika politik dirusak oleh ambisi dan ketakutan, maka kekerasan menjadi keniscayaan. Tetapi ketika politik dijalankan dengan kasih, dengan niat luhur untuk memanusiakan satu sama lain, maka bahkan demonstrasi yang panas sekalipun bisa menjadi momen persaudaraan.

Nilai-nilai lokal juga ikut menopang fenomena ini. Di Yogyakarta, misalnya, ada nilai luhur dalam budaya Jawa yang mengajarkan harmoni dan tata krama. Di Maluku Utara, nilai pela gandong menjadi tali perekat antar manusia lintas identitas. Di Jawa Barat, semangat silih asah, silih asih, dan silih asuh menciptakan budaya saling jaga. Di Lampung, nilai-nilai adat dan kekeluargaan Fiil Pasenggiri; menumbuhkan sikap saling menghormati. Budaya ini tidak bisa dianggap remeh. Mereka adalah fondasi moral yang membuat masyarakat mampu menyuarakan haknya tanpa kehilangan rasa hormat terhadap tatanan.

Maka keberhasilan ini bukanlah hasil dari satu faktor saja. Ia adalah akumulasi dari kesadaran, nilai, kepemimpinan, dan partisipasi. Ia adalah buah dari filsafat yang hidup; bukan filsafat yang hanya tertulis di buku, tetapi yang meresap dalam tindakan sosial. Filsafat manusia bukan wacana abstrak. Ia adalah napas dari setiap relasi yang adil dan bermartabat.

Kita harus belajar dari peristiwa ini. Kita harus berhenti melihat demonstrasi sebagai musuh, dan mulai melihatnya sebagai dialog. Kita harus membangun pemimpin yang tidak alergi pada kritik, dan rakyat yang tidak mudah terbakar oleh kemarahan. Kita harus menciptakan ruang di mana suara dan telinga sama-sama terbuka. Sebab itulah hakikat kehidupan bersama: saling hadir, saling menyambut, saling mendengar. Dan yang lebih penting dari semua itu, kita harus menghidupkan kembali etika dalam politik. Etika yang lahir dari kesadaran akan kesamaan martabat manusia. Etika yang menghindari kekerasan karena percaya bahwa manusia bisa bicara sebagai sesama. Etika yang membangun masa depan bukan di atas rasa takut, tapi di atas kepercayaan. Sebab kekuasaan yang paling kuat bukan yang lahir dari senjata, tapi yang lahir dari hati yang bersih.
Salam Waras (R-1)

Previous Post

PW Muslimat NU Lampung Gelar Doa Untuk Negeri

No Result
View All Result

Recent Posts

  • Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara
  • PW Muslimat NU Lampung Gelar Doa Untuk Negeri
  • Kajian Agama Al Kautsar Lampung Bahas Fikih Kontemporer
  • Jongos Serasa Bos (Ketika Wakil Rakyat Kehilangan Martabat)
  • Kemendukbangga Ajak Mahasiswa Pascasarjana Unila Bersinergi Antisipasi Masalah Bonus Demografi

Recent Comments

  • portall news on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
  • Icha on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
Portallnews.id

© 2020 Portallnews.id

PORTALLNEWS.ID hadir ke tengah masyarakat memberikan sajian berita yang berkualitas dan berimbang.

  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi

© 2020 Portallnews.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist