Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Saat berkendaraan di jalan bebas hambatan Sumatera menuju arah Sumatera Selatan, untuk beberapa saat terserang rasa kantuk luar biasa, terpaksa mencari areal istirahat guna menyegarkan kembali tubuh. Ternyata kantuk yang luarbiasa menyerang itu disebabkan oleh makan pagi yang melebihi kebiasaan. Dan, jadi ingat ungkapan lama kalau kenyang ngantuk. Pertanyaan tersisa apakah kengantukan ini memang disebabkan oleh kenyang, jika ya, pantas saja mereka mereka yang kekenyangan itu berkecenderungan kehilangan daya kritis. Akhirnya jadi tertarik ingin menulis tema ini menjadi judul seperti di atas.
Berdasarkan penelusuran perpustakaan digital ditemukan informasi bahwa ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” lazim terdengar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ungkapan ini sederhana, namun menyimpan paradoks eksistensial yang dalam. Ia menyiratkan betapa rentannya manusia terhadap dorongan biologis: lapar memicu amarah, dan kenyang menimbulkan kantuk. Tetapi, apakah manusia hanyalah makhluk reaktif terhadap kondisi fisik.
Dalam terang filsafat manusia, ungkapan ini membuka ruang refleksi tentang pertarungan etis yang senantiasa berlangsung dalam diri manusia: antara dorongan naluriah dan tuntutan kesadaran moral. Tulisan ini mencoba memahami bagaimana lapar dan kenyang, sebagai dua kondisi dasar biologis manusia, dapat menjadi arena pertempuran nilai, akal, dan spiritualitas.
Lapar adalah sinyal alami tubuh yang menunjukkan kebutuhan akan energi. Namun dalam laku keseharian, lapar kerap menjadi pemicu emosional. Orang bisa mudah tersinggung, marah, bahkan berbuat kasar saat lapar. Dalam pemikiran Aristoteles, manusia memiliki tiga jenis jiwa: vegetatif, sensitif, dan rasional. Lapar muncul pada tataran vegetative, bagian yang kita warisi dari hewan. Tetapi yang membuat manusia unik adalah kapasitasnya mengendalikan nafsu vegetatif dengan nalar. Ini sekaligus menjadi pembeda dari mahluk lain.
Ketika seseorang “ngamuk saat lapar”, ia sedang menunjukkan dominasi insting atas rasio. Jean-Paul Sartre menyebut bahwa manusia adalah makhluk beba s, tetapi kebebasan itu tak serta-merta aktual. Hanya ketika kita sadar dan memilih, kita menjadi manusia seutuhnya. Maka, kemarahan yang lahir dari rasa lapar bisa dilihat sebagai kegagalan dalam mengaktualkan kebebasan eksistensial, dan itu adalah sebuah kekalahan dalam pertarungan etis antara kesadaran dan naluri.
Namun, tidak semua kemarahan akibat lapar bersifat personal. Dalam kondisi sosial tertentu, lapar bisa jadi adalah produk ketidakadilan struktural. Filsuf kontemporer seperti Slavoj Žižek menegaskan bahwa reaksi emosional atas kelaparan dapat menjadi ekspresi politik, bukan semata instink. Maka, konteks menjadi penting: apakah “ngamuk” adalah gejala pribadi, atau jeritan sosial yang lahir dari penderitaan yang bersifat sistemik.
Sebaliknya, kenyang memberi efek menenangkan. Perut penuh membawa rasa puas, lalu tubuh menyerah pada rasa kantuk. Namun kenyang yang berujung malas bisa menjadi jebakan eksistensial. Dalam pandangan Plato, terlalu larut dalam kesenangan jasmani menjauhkan manusia dari dunia ide yang murni dan sempurna. Kantuk pasca makan bukan hanya bentuk istirahat, tetapi simbol kejatuhan kesadaran jika tidak dikendalikan.
Nietzsche lebih tegas lagi. Ia mengecam mentalitas nyaman yang membawa manusia pada stagnasi. Bagi Nietzsche, manusia unggul adalah mereka yang sanggup menaklukkan rasa nyaman, menolak ketenangan yang membuat lemah. Maka, kantuk setelah kenyang bisa dibaca sebagai bentuk menyerah pada kenikmatan yang membius, mengaburkan tujuan hidup yang lebih tinggi.
Sementara itu dalam perspektif spiritualitas Islam, Al-Ghazali membagi jiwa menjadi beberapa tingkatan. Nafsu makan dan kantuk berada di level nafs ammarah; atau jiwa yang condong pada keburukan. Tapi manusia tidak berhenti di sana. Ia memiliki ‘aql (akal) dan qalb (hati), yang dapat menahan nafs dan mengarahkan manusia menuju nafs mutma’innah atau jiwa yang tenang dan suci. Maka, kenyang dan kantuk bukan masalah perut semata, tapi medan tempur bagi kemurnian jiwa.
Esensi dari ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” adalah ketegangan antara dua kutub dalam diri manusia, yaitu antara kesadaran dan naluri. Pertarungan ini adalah inti dari keberadaan manusia sebagai makhluk moral. Di satu sisi, tubuh menuntut; di sisi lain, akal mengarahkan. Martin Heidegger, melalui konsep Dasein, menyatakan bahwa manusia bukan sekadar ada, tetapi menyadari keberadaannya. Dalam setiap kondisi biologis lapar atau kenyang, ada peluang untuk menguak makna eksistensial. Jika kita memilih ngamuk, itu adalah pilihan eksistensial; jika kita memilih sabar, itu pun pilihan yang menentukan siapa kita. Di titik inilah etika dan eksistensi bertemu.
Sedangkan Immanuel Kant, dengan prinsip imperatif kategorisnya, menekankan bahwa manusia harus bertindak berdasarkan prinsip yang bisa dijadikan hukum universal. Mengamuk karena lapar tidak bisa dijadikan prinsip etis, karena jika semua orang melakukannya, kekacauan akan terjadi. Maka, kendali diri bukan hanya kebaikan personal, tapi juga tanggung jawab sosial.
Berbeda dengan Maurice Merleau-Ponty yang menggunakan pendekatan fenomenologis bahwa tubuh bukan sekadar objek, melainkan subjek yang mengalami dunia. Lapar dan kenyang adalah pengalaman eksistensial yang membentuk kesadaran kita. Dalam rasa lapar, kita menyadari keterbatasan kita; dalam kenyang, kita diingatkan akan kecenderungan untuk larut dalam kenikmatan. Tubuh, dalam hal ini, bukan lawan akal, tapi cermin tempat akal bercermin.
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwa Lapar dan kenyang adalah takdir biologis manusia. Tetapi bagaimana manusia merespons keduanya adalah ruang kebebasan dan moralitas. “ngamuk” dan “ngantuk” bukan keharusan, tapi pilihan. Di sanalah pertarungan etis itu berlangsung, yaitu di antara bisikan tubuh dan panggilan jiwa.
Ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” seharusnya tidak dimaknai sebagai nasib, melainkan sebagai tantangan. Mampukah kita mengubahnya menjadi: “Lapar sabar, bukan ngamuk”, “Kenyang bersyukur, bukan lalai.” Dengan demikian, manusia tidak tunduk pada nalurinya, tapi mentransformasikannya menjadi jalan kebajikan. Karena pada akhirnya, menjadi manusia bukan soal kenyang atau lapar, tetapi bagaimana kita menyikapi keduanya dengan kebijaksanaan. Orang bijak pernah berpesan “berhentilah makan sebelum kenyang” sebagai pengingat dini pada kita agar tidak berlebihan dalam segala hal.
Salam Waras (R-2)
Recent Comments