Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malajayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Menurut laman resmi World Athletics, lompat galah berasal dari setidaknya abad ke-16 dan ada juga bukti bahwa hal itu dipraktikkan di Yunani Kuno. Dalam olahraga modern, permainan lompat galah mulai dikenal di Jerman pada tahun 1850-an. Saat itu, lompat galah diadopsi oleh asosiasi senam Jerman. Sementara itu, kontes lompat galah diadakan dengan tiang atau hickory dengan paku besi juga diadakan di wilayah Lake District di Inggris.
Penggunaan galah dari tongkat bambu tercatat pertama kali pada tahun 1857. Pelompat top mulai menggunakan galah yang terbuat dari baja pada tahun 1940-an. Fiberglass fleksibel dan pemoles serat karbon kemudian mulai digunakan secara luas pada akhir 1950-an. Lompat galah putra telah diadakan di setiap perlombaan Olimpiade modern. Sejak saat itu, AS memenangkan setiap gelar Olimpiade dari tahun 1896 hingga 1968. Sementara itu, lompat galah Wanita baru debut di Olimpiade pada tahun 2000 yang dimenangkan oleh Stacy Dragila dengan meraih emas.
Lompat Galah merupakan salah satu perlombaan atletik yang menuntut kecepatan, kekuatan, ketangkasan, dan keterampilan senam. Di kejuaraan besar, formatnya biasanya kompetisi kualifikasi yang diikuti dengan final. Semua pesaing memiliki tiga kesempatan dalam setiap ketinggian yang dipasang. Jika dalam satu kesempatan atlet mampu melewatinya, mereka bisa melanjutkan atau menaikkan level ke ketinggian lain meskipun belum menyelesaikan tiga kesempatan. Tiga kegagalan berturut-turut pada ketinggian yang sama, atau kombinasi ketinggian, menyebabkan tersingkirnya atlet.
Jika ada dua atlet dalam ketinggian yang sama, atlet yang memiliki kegagalan paling sedikit pada ketinggian tersebut adalah pemenangnya. Jika hasilnya masih imbang, pemenang akan dipilih dari mereka yang mengalami kegagalan paling sedikit di seluruh kompetisi. Setelah itu, jump-off akan menentukan pemenangnya. Setiap pelompat memiliki satu upaya dan palang diturunkan dan dinaikkan hingga satu pelompat berhasil pada satu ketinggian.
Kita tinggalkan Lompat Galah secara fisik di atas karena dia berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Sementara sekarang di negeri ini sedang berlangsung Lompat Galah Sosial, dengan para pemainnya ada pada papan selancar kehidupan, tepatnya mereka sedang bermain Lompat Galah Politik; masing-masing pemain semula banyak yang berminat untuk mencoba maju ke gelanggang. Bahkan boleh dikatakan semua petinggi organisasi ingin maju; tidak jarang mereka sudah melakukan “tes ombak” dengan cara diantaranya memasang gambar diri di seluruh penjuru negeri. Ternyata saringan sosial begitu ketat; dan yang keluar hanya tiga orang saja, itupun boleh dikatakan sudah berdarah-darah untuk merebut tiket pertandingan.
Tampaknya ketiga calon inilah sekarang yang sedang lombat galah; mereka tampak asyik dengan galahnya; dan ingin melompat setinggi-tingginya untuk melampaui mistar ukur. Survai dilakukan untuk mengukur “ketinggian mistar sosial”, untuk mengetahui tingkat keterpercayaan masyarakat terhadap dirinya sebagai calon. Di sisi lain ada keributan kecil mereka yang berhasrat ingin menjadi pendamping sang pemain. Pendamping di sini bukan sembarang pendamping karena posisinya adalah wakil.
Kalau posisi utama diibaratkan sebagai Pemain Lompat Galah; berbeda dengan posisi wakil, mereka berebut ke puncak mengambil hadiah seperti para Pemanjat Pohon Pinang saat acara Hari Ulag Tahun Kemerdekaan. Bedanya, jika pemanjat pinang sungguhan yang bawah menopang yang atas, kalau Panjat Pinang Sosial; yang bawah menarik yang atas, sehingga bangun piramidnya tidak terbentuk, yang terbentuk justru Piramid Berserak. Ini bisa dibuktikan setiap ada calon diri yang tampil ingin maju sebagai wakil, maka beramai-ramai upaya dilakukan untuk menjegal. Narasi dibangun tentang kelemahan yang bersangkutan, aib di buka dan upaya-upaya kotor yang diperhalus sangat mungkin dilakukan.
Setiap saat bisa disimak melalui layar televisi atau layar gaget; bagaimana narasi, parodi dan entah apalagi, dibangun melalui media itu disebarkan untuk melakukan pembunuhan karakter atau apapun namanya, seolah-olah tidak ada calon wakil yang layak untuk mendampingi pemain utama.
Tampaknya perpolitikan negeri ini sedang mempertontonkan kepada generasi penerus, bagaimana kelakuan kita dalam memberhalakan kekuasaan, sehingga seolah lupa akan takdir. Apakah ini juga yang dimaksud “Zaman Edan” oleh Ronggo Warsito; mari kita tanyakan kepada batin kita masing-masing. (R-1)