Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Beberapa waktu lalu seorang pejabat tinggi berucap “Kalau mau kaya jangan jadi guru, jadi pedagang.” Kalimat ini mengalir deras ke ruang publik, mengguncang relung kesadaran banyak orang, terutama mereka yang memilih menjadi guru bukan karena tergiur kekayaan, melainkan karena cinta pada ilmu dan pengabdian. Di permukaan, kalimat ini tampak seperti nasihat praktis. Namun jika ditilik dari kacamata filsafat manusia, ucapan itu menyimpan muatan penghinaan yang jauh lebih dalam. Ia bukan hanya menyudutkan profesi, tetapi menohok martabat manusia sebagai makhluk pencari makna. Ia menihilkan nilai pengabdian dan mengagungkan kekayaan sebagai ukuran tunggal kesuksesan dan kebermaknaan hidup. Sekalipun pejabat ini kemudian meminta maaf, tetapi narasi itu sudah menjadi luka kolektif.
Hal ini terjadi “mungkin” maksud beliau baik bahkan mulia, hanya karena diucapkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat; akhirnya beliau “dirujak” oleh netizen yang pada umumnya dari generasi milenial, bahkan generasi Z, atau juga Alfa; yang parameter dan value-nya sudah berbeda dengan era beliau.
Tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandangan filsafat manusia atas perbedaan sudut pandang itu. Filsafat yang menyatakan bahwa manusia itu tidak sekadar makhluk biologis yang hidup untuk bertahan, berkembang biak, dan mencari makan. Manusia adalah makhluk pencari makna, makhluk yang bertanya, merenung, dan menciptakan nilai-nilai untuk menafsirkan eksistensinya di dunia.
Pekerjaan, dalam konteks ini, bukan hanya alat untuk memperoleh nafkah, tetapi juga medan di mana manusia mewujudkan dirinya. Ketika seseorang memilih menjadi guru, sering kali keputusan itu lahir dari hasrat eksistensial untuk terlibat dalam proses transformasi manusia. Guru bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga membentuk kesadaran, menanamkan nilai, dan mendampingi tumbuhnya manusia menjadi pribadi utuh.
Bayangkan, guru yang harus mendampingi anak Taman Kanak-kanak yang sedang tumbuhkembang baik fisik maupun pribadinya, harus tekun dan sabar dalam segala hal, demi sang anak didik. Namun ketika seorang pemimpin berkata “jangan jadi guru, jadi pedagang kalau mau kaya,” ia sedang menyingkirkan seluruh dimensi eksistensial itu dan menggantinya dengan kalkulasi ekonomi. Ia sedang mengerdilkan makna profesi menjadi sekadar alat untuk mengumpulkan kekayaan. Ia sedang mereduksi manusia menjadi agen ekonomi belaka, seolah nilai tertinggi dalam hidup adalah kemampuan untuk memperbesar kapital.
Pandangan ini, jika diterima secara luas, akan menimbulkan kehancuran batin kolektif. Masyarakat akan bergerak ke arah di mana nilai dan martabat tidak lagi ditentukan oleh kontribusi terhadap kehidupan bersama, tetapi oleh jumlah materi yang berhasil dikuasai secara pribadi.
Ucapan tersebut menyakitkan, bukan hanya karena menyatakan kenyataan pahit, tetapi karena ia diucapkan dari posisi kuasa, dengan nada seolah wajar, tanpa rasa bersalah. Ketika pejabat tinggi negara melontarkan kalimat seperti itu, ia bukan sedang memberi nasihat, melainkan sedang menyampaikan pesan ideologis: bahwa negara tidak akan pernah benar-benar berpihak pada profesi guru, dan bahwa siapa pun yang memilih jalan pengabdian, harus siap menanggung konsekuensi ekonomi yang memiskinkan. Kalimat itu menjadi bentuk kekerasan simbolik yang mengoyak harga diri guru, membuat mereka seolah bersalah karena tidak memilih menjadi pedagang.
Dalam sejarah kemanusiaan, guru adalah simbol peradaban. Merekalah yang menjaga nyala api pengetahuan ketika zaman dilanda kegelapan. Mereka menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara yang tidak tahu menjadi tahu, antara yang belum menjadi telah. Guru adalah penjaga nilai-nilai, penggerak kesadaran, penabur benih peradaban. Namun dalam masyarakat yang telah terkooptasi oleh nilai-nilai kapitalistik, peran mulia ini direduksi menjadi pekerjaan rendahan karena tidak menghasilkan kekayaan finansial. Di sinilah kita menyaksikan paradoks menyakitkan: mereka yang paling berjasa dalam membentuk manusia justru dianggap gagal sebagai manusia karena tidak kaya.
Jika manusia diukur dari kekayaannya, maka semua bentuk pengabdian akan dianggap sebagai kebodohan. Guru, relawan, pekerja sosial, aktivis, bahkan seniman, akan diletakkan di bawah hierarki masyarakat. Orang akan diajarkan sejak kecil bahwa yang penting bukan menjadi berarti, tetapi menjadi kaya. Bahwa yang penting bukan dampak sosial dari pekerjaanmu, tetapi seberapa besar kamu bisa menikmati hidup mewah. Dan dari situ, akan lahir generasi yang cerdas secara teknis tetapi kosong secara etis. Generasi yang berpikir cepat tapi tidak berpikir dalam. Generasi yang pandai mencari uang tapi miskin rasa tanggung jawab sosial.
Filsafat manusia menolak reduksi ini. Ia melihat manusia sebagai makhluk yang otonom, yang memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab moral. Ketika seseorang memilih menjadi guru, ia sedang memilih jalan eksistensial untuk membaktikan dirinya bagi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia sedang mengatakan bahwa hidup bukan hanya tentang mengisi rekening, tetapi juga mengisi jiwa orang lain. Ia sedang menyatakan bahwa nilai hidupnya bukan ditentukan oleh jumlah harta, melainkan oleh seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan orang lain.
Sehingga, ketika suara dari atas kekuasaan meremehkan pilihan eksistensial itu, maka yang terjadi bukan hanya kekeliruan logika, tetapi kekeliruan moral.
Ucapan itu melukai tidak hanya hati guru, tetapi juga melukai hati semua orang yang percaya bahwa hidup bermakna tidak harus identik dengan kaya. Ia merusak semangat orang-orang yang bekerja dalam kesunyian, yang tetap mengabdi meski upah tak sepadan, yang tetap mendidik dengan hati meski tubuh mereka lelah, dan perut mereka kosong. Mereka sadar betul bahwa rezeki itu sudah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta dengan tidak atas dasar profesi; sementara bekal akhirat ditentukan oleh amal perbuatan saat di dunia. Selamat berjuang para guru, kami selalu membersamaimu, dan “di setiap orang hebat ada kontribusi guru untuk menumbuhkembangkan kehebatan itu”.
Salam Waras (R-1)