Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Beberapa hari belakangan ini kondisi badan sedang tidak baik-baik saja. Demam sedang menghampiri, dan seolah diutus oleh-Nya untuk memerintahkan penulis agar istirahat. Namun melihat, membaca, meresapi peristiwa sosial Kabupaten Pati yang berseliweran di media sosial, ujung jari tidak mau berhenti untuk menulis luberan ide yang ada di kepala. Hal itu terjadi karena dalam disiplin ilmu yang penulis geluti, peristiwa semacam itu terjadi karena masyarakat Pati mengalami “luka sosial”.
Luka sosial adalah trauma kolektif yang timbul dari ketidakadilan struktural, pengabaian aspirasi masyarakat, dan tindakan kekuasaan yang arogan. Belajar dari Kabupaten Pati di mana konflik antara pemerintah dan warga menciptakan ketegangan sosial yang mendalam.
Luka ini bukan hanya masalah lokal, tetapi mengancam integritas nasional bila tidak segera ditangani secara adil dan beradab. Arogansi Bupati Pati yang menantang rakyatnya, dan keterlalujumawaan sekretaris daerah, membuat terluka hati dan perasaan rakyatnya; terutama yang sudah ikut berjuang memenangkan sang bupati saat pemilukada. Mereka semula berharap pemimpin yang diusung akan membawa kemaslahatan bersama; ternyata di perjalanan, sang pemimpin berbalik arah, dengan menantang rakyatnya untuk berdemo, 50 ribu orangpun akan dilayani, sekalipun pada akhirnya meminta maaf. Namun, jejak digital tidak akan bisa hapus begitu saja.
Tulisan ini tidak ingin memperkeruh situasi, tetapi ingin mendapatkan hikmah dari peristiwa yang sedang berjalan. Menurut filsafat sosial, luka sosial adalah kondisi terganggunya kohesi sosial akibat praktik kekuasaan yang melukai rasa keadilan, martabat, dan partisipasi warga. Luka ini bersifat laten, sulit dideteksi secara kuantitatif, tetapi sangat berbahaya. Ia dapat mengendap dalam memori kolektif masyarakat dan menjadi bahan bakar bagi kemarahan, radikalisme, separatisme, atau apatisme politik.
Axel Honneth, seorang filsuf kontemporer dari mazhab Frankfurt, menjelaskan bahwa luka sosial terjadi ketika pengakuan (recognition) terhadap martabat individu dan kelompok diabaikan. Manusia sebagai makhluk moral, membutuhkan pengakuan atas eksistensinya, baik dalam bentuk hukum, sosial, maupun cinta kasih. Ketika pengakuan ini gagal diberikan oleh negara atau masyarakat dominan (dlam hal ini pejabat), maka timbul penghinaan moral, yang menyebabkan luka kolektif mendalam. Ini ditunjukkan dengan bagaimana rakyat melawan SatPol PP Kabupaten Pati yang semena-mena melakukan penindasan pada mereka.
Dalam konteks Kabupaten Pati dan daerah-daerah serupa, tampak jelas bahwa luka sosial dipicu oleh monopoli kekuasaan dan komunikasi. Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bekerja tidak hanya secara koersif, tetapi juga melalui wacana. Ketika para pemimpin menyebarkan narasi tunggal, seperti dalih “pembangunan demi rakyat”; sembari menutup ruang dialog, mereka memaksa masyarakat menelan realitas yang tidak mereka pilih. Ketika masyarakat bersuara, mereka dilabeli “pengganggu ketertiban”, “provokator”, atau “tidak tahu diri”, dan lain sebagainya; inilah bibit dari luka sosial itu.
Sementara itu, Max Weber mengingatkan tentang krisis legitimasi kekuasaan. Ketika otoritas (baik legal-rasional maupun karismatik) disalahgunakan, kekuasaan kehilangan dasar moralnya. Warga masyarakat tidak lagi taat karena menganggap penguasa tidak lagi mewakili mereka. Jika ini terus berlanjut, maka yang muncul bukan kepatuhan, tetapi perlawanan diam-diam atau terbuka.
Émile Durkheim mengajarkan bahwa masyarakat bertahan karena ada solidaritas sosial; baik karena kesamaan (solidaritas mekanik), maupun keterkaitan fungsional (solidaritas organik). Namun, luka sosial menghancurkan kedua jenis solidaritas ini. Masyarakat menjadi saling curiga, antarkelompok saling menyalahkan, dan antara rakyat dan negara terbentuk jurang emosional yang dalam. Akibatnya terbangun tembok “apa yang dikatakan pejabat sekalipun benar, akan rakyat anggap salah” dan sebaliknya “apa yang rakyat sampaikan sekalipun itu benar, pejabat menganggap itu bentuk penolakkan”.
Luka sosial yang dibiarkan berlarut-larut bisa bermetamorfosis menjadi dua hal yang sama berbahayanya: Pertama, apatisme politik: masyarakat tidak lagi percaya bahwa sistem dapat mewakili mereka. Partisipasi dalam pemilu menurun, dialog politik melemah, dan pengawasan terhadap pemerintah lumpuh. Negara berjalan tanpa koreksi dari rakyat.
Kedua, radikalisme dan populisme: sebagian lain memilih jalur ekstrim. Mereka masuk ke kelompok-kelompok yang menjanjikan “keadilan alternatif”, kadang dalam bentuk radikal. Mereka bisa tertarik pada ideologi keagamaan, etnisitas, atau bahkan gerakan separatis. Ini bukan karena ideologi itu sendiri, tetapi karena ketidakpercayaan total pada negara.
Oleh sebab itu dalam konteks globalisasi dan kompetisi geopolitik, negara yang mengalami konflik internal, luka sosial, dan keterpecahan identitas menjadi sangat rentan. Negara-negara asing, perusahaan multinasional, dan aktor non-negara dapat memanfaatkan ketegangan ini untuk meraih keuntungan; baik secara ekonomi, politik, maupun strategis.
Luka sosial membuka celah infiltrasi wacana asing, radikalisasi lewat media sosial, atau dominasi ekonomi lewat proyek-proyek besar yang justru memperdalam ketimpangan. Ini adalah lingkaran setan yang sulit dihentikan bila luka sosial tidak segera ditangani.
Oleh karena itu Axel Honneth menekankan pentingnya pengakuan tiga dimensi: cinta dan perhatian (personal), hak hukum (legal), dan solidaritas sosial (komunitas). Negara harus kembali mengakui rakyat sebagai subjek bermartabat, bukan objek kebijakan.
Martha Nussbaum menekankan bahwa kebijakan publik harus dilandasi empati dan etika emosi. Rasa marah dan sakit hati warga adalah sinyal bahwa ada ketimpangan moral. Negara harus menjawabnya bukan dengan represi, tetapi dengan empati: mendengar, meminta maaf, dan memperbaiki.
Negara harus membangun ruang diskusi yang setara bagi semua elemen bangsa. Masyarakat tidak hanya dilibatkan, tetapi diberdayakan.
Deliberasi yang sehat akan melahirkan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Kasus Pati dan daerah-daerah lain bisa menjadi titik balik jika para pemimpin berhenti bersikap arogan, dan mulai mengakui bahwa rakyat adalah subjek moral, bukan statistik pembangunan. Negara harus kembali pada akar: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, bukan hanya mengurus investasi dan pertumbuhan angka.
Luka sosial bukan sesuatu yang harus disembunyikan. Ia adalah alarm etis bahwa negara telah menjauh dari rakyat. Jika alarm ini terus diabaikan, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan, dia menjadi keniscayaan. Filsafat sosial memberi kita alat untuk membaca, memahami, dan menyembuhkan luka itu: melalui empati, pengakuan, dialog, dan keadilan. Negara tidak bisa berdiri hanya di atas hukum dan ekonomi. Ia harus berdiri di atas kepercayaan, solidaritas, dan legitimasi moral yang dibangun dari relasi manusiawi antara rakyat dan pemimpinnya.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments