Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pada saat melakukan perjalanan singkat ke pusat Kerajaan Sriwijaya, melalui jalan bebas hambatan, dari kejauhan tampak spektrum langit yang melengkung membentuk cakrawala. Cuaca pagi yang cerah dan indah itu, tampak di atas sana ada awan berarak. Dan, para petani membaca tanda langit seperti itu musim kemarau sudah tiba. Namun kenyataannya setiap sore hujan turun, terkadang sangat deras. Orang Jawa bilang kondisi seperti ini disebut “salah mongso” atau terjemahan bebasnya salah masa. Semua ini terjadi diyakini akibat ulah manusia, karena ingin “Menambal langit, menguras lautan”.
Tampak sekilas dua pekerjaan itu mustahil dilakukan dalam arti harfiah. Namun jika memaknainya dari konsep pandang filsafat manusia, hal itu jadi berbeda maknanya.
Di zaman modern ini, manusia seperti sedang sibuk menambal langit dan menguras lautan. Maksudnya kita ingin memperbaiki segala hal yang menurut kita rusak, termasuk mengendalikan cuaca, mengatur atmosfer, memantau langit dengan satelit; sekaligus terus mengambil hasil laut, menggali kekayaan alam, dan mencemari samudra. Dua tindakan ini bukan sekadar soal teknologi dan ekologi. Bagi kita sebagai umat Islam, ini mencerminkan kondisi ruhani manusia yang sedang sakit: tidak sabar, los kontrol, dan kehilangan arah.
Hari ini kita hidup di dunia yang begitu “sibuk”. Kita sibuk menambal langit; dengan proyek geo-engineering, satelit, sistem pemantauan iklim global, seolah langit tak lagi suci, tapi rusak dan harus diperbaiki. Di waktu yang sama, kita menguras lautan dengan cara memanen kekayaan samudra tanpa batas, mengebor dasar laut, dan membuang limbah ke perairan yang dulu kita muliakan.
Bagi para filsuf Muslim modern, ini bukan sekadar masalah ekologi. Ini adalah cermin dari krisis peradaban dari manusia yang sudah melupakan tempatnya dalam tatanan kosmik. Dunia yang rusak adalah akibat dari kerusakan makna, dari manusia yang tak lagi melihat alam sebagai ayat atau tanda dari Tuhan, akan tetapi sekadar objek eksploitasi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, filsuf Islam kontemporer asal Iran, kerusakan ekologi modern adalah krisis sakralitas. Kita sudah tidak lagi melihat alam sebagai sesuatu yang suci. Alam yang tadinya memiliki makna spiritual telah direduksi menjadi objek sains dan ekonomi. Langit yang dahulu mengingatkan manusia pada keagungan Tuhan kini dianggap sebagai ruang kosong yang bisa ditambal sesuka hati. Lautan yang dahulu disucikan karena menjadi asal kehidupan, kini diperlakukan seperti lubang tak berdasar yang bisa dikuras.
Dalam kosmologi tradisional Islam, segala sesuatu memiliki maqam (tingkatan) dan hakikat (realitas batiniah). Manusia adalah khalifah, bukan pemilik absolut bumi. Ketika manusia menyalahgunakan perannya, ia merusak tatanan kosmik yang telah diciptakan Allah secara sempurna.
Menambal langit dan menguras lautan adalah bentuk dari “fitnah ilmu tanpa adab”. Ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa panduan maknawi. Hasilnya adalah eksploitasi atas ciptaan Tuhan demi kepentingan manusia semata. Filsuf Islam klasik seperti Mulla Sadra bahkan menekankan bahwa wujud itu bergradasi (tashkik al-wujud). Artinya, langit dan laut bukan benda mati, tapi bagian dari struktur wujud yang hidup dan memiliki kesadaran tersendiri dalam tingkatnya. Dalam pandangan ini, ketika manusia menyakiti langit dan laut, ia sejatinya menyakiti bagian dari jiwanya sendiri, karena seluruh alam adalah cermin dari manusia sebagai mikrokosmos.
Salah satu ciri manusia modern adalah kesombongan epistemologis. Kita yakin semua hal bisa dikendalikan dan diukur. Langit bisa ditambal dengan sains. Lautan bisa dikuras dengan teknologi. Tetapi kita lupa bahwa ada batas-batas spiritual dan etis yang tak bisa ditembus hanya dengan rasionalitas. Pemikiran filsafat Islam kontemporer mengajak kita untuk mengembalikan kesadaran sakral. Artinya, kita tidak hanya bertanya: “Apa yang bisa kita eksploitasi dari langit dan laut” tetapi juga, “Apa makna langit dan laut dalam hidup kita sebagai makhluk Tuhan”
“Menambal langit” dan “menguras lautan” adalah metafora tentang krisis arah hidup manusia modern. Kita mencoba menutupi apa yang sebenarnya harus kita renungi. Kita menguras karena kita kehilangan rasa cukup. Filsafat Islam kontemporer menawarkan solusi dengan cara mengembalikan makna hidup kepada Tuhan. Hanya dengan itu, langit bisa kembali terbuka sebagai tanda keagungan, dan laut bisa tetap dalam sebagai tempat kehidupan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Akbar Ibn Arabi: “Alam ini adalah Al-Qur’an terbuka. Barangsiapa tidak membacanya dengan hatinya, maka ia akan merusaknya dengan tangannya.” Oleh sebab itu manusia harus kembali belajar membaca langit dan laut, bukan hanya dengan data, akan tetapi juga dengan hikmah.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments