Menjaga yang Nyaris Hilang

OPINI

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pagi itu kami berdua bangun seperti biasa; namun begitu tiba-tiba istri merasa badannya sebelah kebas, mata agak sedikit tertarik, tekanan darah terasa naik. Segera saja berkonsultasi dengan teman ahli medis; jawaban beliau sangat mengejutkan “Itu tanda-tanda stroke, yaitu gangguan fungsi otak akibat gangguan aliran darah ke otak”. Segera kami bergegas mencari rujukan dan untuk terus menuju ke rumah sakit terbaik yang dimiliki oleh yayasan dimana selama ini bekerja.

Berdasarkan analisis dokter ahli syaraf menjelaskan sekitar masalah “penyumbatan”, “risiko”, dan “kerusakan fungsi kognitif” memantul-mantul di ruang kecil itu. Yang tertinggal hanyalah ketakutan yang menusuk: ketakutan kehilangan seseorang yang selama ini menjadi bagian dari denyut kehidupan. Ketika akhirnya kondisi membaik dan lambat laun kemampuan berpikir berangsur pulih, muncul ruang hening yang memaksa diri sebagai suami untuk merenungkan apa yang sebenarnya terjadi; bukan hanya pada tubuh istri, tetapi lebih pada dirinya sendiri sebagai manusia.

Peristiwa ini menguak sesuatu yang kerap tersembunyi di balik rutinitas: kesadaran tentang rapuhnya eksistensi. Manusia sering bergerak seakan hari esok adalah kepastian, bukan anugerah. Kita memperlakukan waktu seperti sumber daya tak terbatas, padahal hidup dapat berbelok tanpa diduga, bahkan dalam jarak empat hari yang tampak biasa. Ketika seseorang yang dicintai terbaring antara harapan dan kemungkinan buruk, manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup bukan sekadar rentetan kejadian, melainkan sesuatu yang rentan putus sewaktu-waktu.

Ketakutan kehilangan bukan sekadar emosi; ia adalah gema terdalam dari kesadaran manusia bahwa dirinya terikat pada sesuatu di luar dirinya. Hubungan antarmanusia menjadi cermin bahwa manusia tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Ketergantungan emosional, komitmen, dan cinta menunjukkan bahwa identitas kita terbentuk bersama orang lain. Karena itu, kehilangan bukan hanya tentang absennya seseorang secara fisik, tetapi juga hilangnya bagian dari diri yang selama ini ditopang oleh kehadiran orang tersebut.

Saat menyaksikan istri terbaring lemah, diri ini seolah merasakan betapa rapuh dan berharganya keberadaan manusia. Rasa takut itu bukan kelemahan; justru di situlah tersimpan kekuatan reflektif manusia. Ia menunjukkan bahwa manusia mampu menghayati keberadaannya secara mendalam, memahami bahwa semua yang dianggap biasa dapat lenyap dalam hitungan detik. Dalam rasa takut itu, lahir kesadaran bahwa hidup bukan sekadar kumpulan detik, tetapi kumpulan makna yang terjalin dari relasi, perhatian, dan kasih.
Pengalaman ini juga membuka pintu menuju pemahaman tentang tubuh dan pikiran sebagai satu kesatuan. Ketika stroke menyerang dan fungsi berpikir serta fungsi gerak sang istri terganggu, tampak jelas bahwa aktivitas yang selama ini dianggap sepele sebenarnya bergantung pada harmoni kompleks tubuh manusia. Kemampuan berpikir, menalar, dan mengekspresikan diri bukanlah hal yang berdiri terpisah dari kondisi fisik. Manusia adalah perpaduan antara raga dan kesadaran; keduanya saling menghidupi. Gangguan pada salah satunya mengguncang keberfungsian keduanya.

Namun, dalam proses pemulihan sang istri, terselip makna lain: kemampuan manusia untuk bangkit. Tubuh yang pulih, pikiran yang kembali jernih, dan langkah-langkah kecil menuju kemandirian adalah bukti bahwa manusia bukan semata makhluk rapuh, tetapi juga makhluk yang mampu memperbaiki diri. Ada daya dalam manusia yang membuatnya tak hanya menerima kondisi, tetapi melampauinya. Keberhasilan sang istri keluar dari masa kritis dan memulihkan dirinya adalah pengingat bahwa manusia punya kapasitas untuk bertahan, bahkan ketika tubuhnya sendiri sempat mengkhianati.

Pada akhirnya, pengalaman di rumah sakit itu menjadi semacam perjalanan spiritual; bukan karena ada kejadian supranatural, tetapi karena ia membawa seseorang menyentuh sisi terdalam dari kemanusiaan. Ketakutan kehilangan bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang menyadari betapa kuatnya ikatan yang kita bangun, betapa berharganya kehadiran seseorang dalam hidup kita, dan betapa mudahnya semua itu goyah. Namun dari rasa takut itu pula muncul rasa syukur, keberanian baru, dan pemahaman yang lebih jernih tentang arti hidup bersama.

Ketika sang istri akhirnya pulih sepenuhnya, rumah yang sebelumnya dipenuhi kecemasan menjadi ruang yang kembali bernapas. Namun kali ini, segala hal terasa berbeda, seolah lebih pelan, lebih penuh makna. Setiap percakapan, senyum, atau kegiatan sehari-hari yang dulu terasa biasa kini berubah menjadi pengalaman yang disadari sepenuhnya. Manusia memang kerap belajar bukan dari hal-hal besar dan megah, tetapi dari saat-saat rentan yang membuatnya menyadari bahwa cinta, kesadaran, dan hidup itu sendiri adalah anugerah yang tak pernah boleh disepelekan. Semoga cepat sembuh teman hidupku. Dan, terimakasih wahai orang-orang baik yang telah membantu fasilitas, penanganan, perawatan dan penyembuhan serta doa kalian semua; semoga Tuhan mencatatnya sebagai amal sholeh; dan mendapatkan ganjaran berlipat, serta dimudahkan segala urusan. (R-1)