Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Di sebuah pesantren tua yang dikelilingi hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang, senja turun perlahan. Langit berwarna jingga keemasan, dan sholat magrib baru saja berlalu, menyisakan keheningan yang dalam. Di serambi surau seorang santri muda duduk bersila di hadapan kiainya. Matanya redup, menatap tanah seolah mencari jawaban dari sesuatu yang tak terucap.
“Yai,” ucapnya perlahan, “aku belajar, berzikir, berdoa, tapi entah mengapa Allah terasa semakin jauh. Bukankah seharusnya aku semakin dekat?”
Sang kiai menatapnya lama, lalu tersenyum dengan sorot mata yang meneduhkan. “Nak,” katanya lembut, “Allah tidak pernah jauh, hanya hatimu yang berjalan menjauh karena engkau mencari di luar, bukan di dalam.”
Santri itu terdiam. Angin membawa suara daun bambu yang berdesir, seperti ikut berzikir bersama mereka. “Lalu, di mana aku harus mencari-Nya, Yai?” tanyanya lirih. Sang kiai memejamkan mata sejenak, lalu berkata pelan, “Carilah di dalam roso sejati. Ketika engkau benar-benar mengenal rasa yang paling dalam itu, engkau akan menemukan ada sejati — hakikat Allah yang bersemayam dalam dirimu sendiri.” Malam pun turun, dan dalam diam, sang santri merasa seolah baru saja membuka pintu menuju perjalanan batin yang sesungguhnya.
Santri tadi mendengarkan wejangan gurunya dengan takzim, yang jika kita sarikan wejangan itu sebagai berikut;
Dalam pandangan tasawuf, jalan menuju Tuhan bukan sekadar perjalanan menuju sesuatu di luar diri, melainkan perjalanan menembus lapisan diri yang semu hingga yang tersisa hanyalah hakikat. Diri manusia yang tampak, dengan segala hawa, keinginan, dan pikirannya, adalah bayangan dari sesuatu yang lebih hakiki. Ketika manusia hidup hanya di tataran bayangan itu, ia akan terjebak dalam keramaian wujud, dalam hiruk-pikuk dunia yang penuh bentuk, nama, dan perbedaan. Namun, ketika ia mulai mendengar getar halus dari dalam, itulah roso sejati; maka tirai-tirai mulai tersingkap satu demi satu.
Roso sejati bukanlah perasaan emosional atau dorongan batin yang sesaat. Ia adalah kesadaran murni yang lahir dari kejernihan jiwa. Dalam diam yang dalam, ketika segala hasrat duniawi terlepas, muncullah pengalaman roso sejati: kesadaran yang tidak menilai, tidak menuntut, dan tidak membeda-bedakan. Di titik itu, manusia tak lagi memandang Tuhan sebagai sesuatu yang jauh di luar dirinya, tetapi sebagai inti yang senantiasa hadir di dalam dirinya sendiri. Tuhan bukan objek pencarian, tetapi sumber keberadaan yang menyinari seluruh wujud.
Ada sejati, pada sisi lain, adalah hakikat dari segala yang ada. Ia bukan sesuatu yang bisa dipahami oleh rasio semata, sebab ia melampaui konsep dan bentuk. Pikiran hanya mampu menggambarkan bayangannya, tetapi tidak dapat menjangkau keberadaannya yang mutlak. Oleh karena itu, perjalanan menuju ada sejati tidak dapat dilakukan dengan berpikir semata, melainkan dengan mengalami yaitu; dengan membiarkan kesadaran menyatu dengan keberadaan tanpa sekat. Dalam kondisi demikian, subjek dan objek melebur; yang mengenal dan yang dikenal menjadi satu dalam keheningan makrifat.
Jalan ini tidak mudah, karena ia menuntut pembubaran ego. Ego adalah bayangan yang menutupi cermin hati, membuat manusia melihat dirinya terpisah dari Tuhan. Selama ego masih menjadi pusat kesadaran, roso sejati tak akan muncul. Namun, ketika ego meleleh dalam cahaya kesadaran, manusia akan menyadari bahwa dirinya tidak lain adalah pancaran dari ada sejati. Segala yang ada bukanlah “lain”, melainkan manifestasi dari satu sumber yang sama. Dari kesadaran inilah lahir makrifat; pengetahuan langsung yang tidak diperoleh dari berpikir, tetapi dari penyatuan.
Makrifat adalah titik pertemuan antara roso sejati dan ada sejati. Ia bukan hasil belajar, tetapi hasil pengosongan. Ketika pikiran diam, ketika hati jernih, maka kebenaran itu menyingkap dirinya sendiri. Seperti mata air yang tidak pernah kering, roso sejati senantiasa mengalir dari sumber ada sejati. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan yang fana dengan yang abadi. Dalam pengalaman makrifat, manusia tidak lagi merasa menjadi pencari, karena yang dicari ternyata adalah dirinya sendiri dalam dimensi terdalam keberadaan.
Dalam kesadaran roso sejati, seluruh perbedaan luluh. Baik dan buruk, tinggi dan rendah, luar dan dalam; semuanya kehilangan maknanya di hadapan keutuhan ada sejati. Manusia menyadari bahwa segala bentuk adalah permainan dari keberadaan yang satu. Dari sinilah lahir cinta yang sejati, bukan sebagai emosi yang bergelora, tetapi sebagai penerimaan total terhadap segala wujud sebagai pancaran dari Tuhan. Cinta menjadi bentuk tertinggi dari makrifat, sebab di dalamnya tak ada lagi “aku” dan “Engkau”; yang ada hanyalah satu kehadiran yang tak terpisah.
Perjalanan ini menuntut keberanian untuk hening di tengah hiruk-pikuk, untuk melihat ke dalam ketika dunia menyeret ke luar. Dalam hening itu, manusia menemukan bahwa Tuhan tidak datang dari luar sebagai cahaya yang menyinari, melainkan sebagai cahaya yang selama ini berdiam dalam diri, menunggu disingkap. Roso sejati adalah kunci untuk membuka tirai itu, dan ketika tirai tersingkap, yang tampak hanyalah ada sejati, yaitu hakikat yang selama ini dicari di luar, padahal bersemayam di inti kesadaran.
Dengan demikian, ada sejati dan roso sejati bukan dua hal yang terpisah, tetapi dua jalan yang saling menyingkap. Roso sejati adalah kesadaran yang bergerak dari dalam menuju kebenaran, sementara ada sejati adalah kebenaran itu sendiri yang menunggu untuk disadari. Dalam kesatuan keduanya, makrifat terjadi; bukan sebagai pencapaian, tetapi sebagai pengingatan kembali atas asal dan tujuan manusia. Pada akhirnya, siapa yang benar-benar mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhan, karena diri sejati bukan lain dari pancaran ada sejati itu sendiri. Pak Yai menutup wejanannya kepada Santri dengan satu kalimat kunci bahwa “Keberadaan “Ada Sejati” itu lebih dekat dari urat lehermu, DIA hanya bisa kau kenali dengan “roso sejati” mu.
Salam Waras (R-1)
