Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Genderang perang semakin nyaring memekakkan telinga mendekati minggu tenang kata ganti dari minggu penyerangan. Semua senjata dan upaya dikerahkan untuk mengatakan bahwa dirinya yang patut dan layak untuk dipilih. Namun sejatinya beda antara atas dengan akar rumput.
Wilayah atas gempuran demi gempuran melalui media sosial masif dilakukan oleh mereka yang bertanding, beda jauh dengan yang ada di bawah sana. Posisi “wani piro entuk opo” semakin masif. Bahkan sampai ada yang mengunggah di sosial media dengan satir “menunggu amplop”. Sekalipun sudah ada contoh salah satu calon anggota legeslatif dari partai tertentu di salah satu kabupaten harus di-mejahijau-kan karena memberi kepada pemilih sejumlah rupiah; namun effek jera dari semua itu tidak begitu berdampak.
Salah seorang pelaku politik membeberkan bagaimana kerasnya persaingan merebut suara di tingkat akar rumput. Masyarakat sekarang semakin cerdas, tidak peduli siapa presidennya, yang penting bagaimana periuk nasi tidak terguling; bahkan untuk beberapa daerah warga setempat sudah tidak mau menerima sembako, karena menurut perhitungan itu terlalu murah. Mereka lebih senang yang diberikan berupa uang tunai, yang besaran minimalnya mereka sebutkan. Jelas ini secara formal sangat menyalahi aturan, tetapi under cover semua ini nyata adanya.
Banyak pihak mengatakan bahwa mobilisasi masa tidak seperti 10 tahun yang lalu. Saat itu mereka sukarela hadir untuk mendengarkan pidato kampanye. Untuk saat ini, itu hanya ada pada mobilisasi partai, karena anggota berkwajiban untuk hadir dan mendukung calonnya. Sedangkan untuk warga biasa atau lebih keren disebut simpatisan; sudah menjadi rahasia umum mereka mau hadir jika ada “pembeli pertalaite”, dan sedikit buah tangan untuk di bawa pulang.
Berdasarkan data lapangan diperoleh informasi bahwa satu kendaraan roda empat untuk pengerahan masa mendapat bantuan ada minimalnya, sementara orang yang ada di dalamnya rata-rata ada harganya perorang. Kita bisa mengalikan sendiri, berapa dana yang harus diperlukan satu kali saja kita mengumpulkan masa di satu lapangan. Belum lagi tenaga pengerahnya, dan sewa sound sistem, pengamanan, dan biaya tak terduga lainnya. Anggaran ini akan makin besar jika kita memposisikan diri sebagai calon provinsi, apalagi nasional. Dengan kata lain jika ada calon pimpinan daerah yang lebih memilih bernegosiasi dengan pemilik modal untuk mendapatkan cuan, dengan perjanjian ada konsesi-konsesi tertentu guna memuluskan usaha sang pengusaha; tampaknya sulit dihindari.
Para pemilih-pun sudah banyak yang cerdas, caranya menerima undangan dari calon siapapun, asal diberi “pelumas” agar lancar perjalanan mereka menuju titik kumpul, siapapun pengundangnya tidak masalah bagi mereka. Dengan demikian bisa jadi seorang warga akan menghadiri beberapa undangan, dan mendapatkan beberapa amplop pelumas.
Namun ada fenomena menarik pada saat sekarang, yaitu aparat desa sampai kecamatan harus pandai-pandai menempatkan posisi diri manakala ada kerabat pimpinan nomor satu di daerah mereka ada yang maju mencalonkan diri. Tentu saja tekanan dan cubitan mesra sambil memijak kaki akan dirasakan oleh mereka. Dipermukaan atau formal hal itu tidak tampak terjadi, tetapi ekor mata dapat membaca fenomena bawah sana sedang apa, tentu ini secara kasat mata sangat sulit dibuktikan, hanya mampu dirasakan. Tampaknya kedepan harus ada penelitian tentang Demokrasi Rasa.
Kekisruhan berfikir seperti inilah yang menggiring seseorang untuk membenarkan yang tidak benar. Ironisnya keadaan seperti ini seolah mendapat pembenaran, sehingga bisa terjadi semula orang berposisi netral, sekita berubah menjadi berpihak. Terlepas keberpihakan itu memiliki motif apa, tentu sangat situasional.
Lompatan kwadran seperti ini tidak jarang keluar dari hukum algoritma biasa; sebab banyak hal yang orang jawa mengatakan “esuk dele sore tempe”; oleh sebab itu memprediksinya tidak mudah; terlalu banyak variable yang berkelindan, sehingga tidak jarang semula berjalan lurus, tiba-tiba putar arah. Semula mendaki, mendadak turunan curam; atau sebaliknya semula turun curam mendadak mendaki. Variable-variabel anomali seperti ini sekarang sedang terjadi dihadapan kita semua. Hanya mereka yang berada pada zona waras mampu mengenali fenomena serupa ini.
Salam Waras. (R-1)
Recent Comments