PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Memperingati Hari HAM Nasional setiap Tanggal 10 Desember, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung dan Metro Lampung News bekerja sama dengan SEA Junction mengadakan diskusi kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Lampung yakni Tragedi Talangsari.
Tragedi Talangsari 1989 merupakan salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Peristiwa ini terjadi 34 tahun lalu tepatnya pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (saat itu masih Kabupaten Lampung Tengah).
Dusun Talang Sari atau yang lebih familiar dikenal dengan Dusun Cihideng saat ini sudah berganti nama menjadi Dusun Subing Putra 3. Alasannya tak lain karena nama “Talangsari” sendiri akan terus mengingatkan para korban terhadap penderitaan dan kisah kelam pada masa orde baru tersebut.
Diskusi Korban Peristiwa Talangsaari 1989 bertajuk “Berdamai dengan Trauma” tersebut menghadirkan para korban dari Tragedi Talangsari, Psikolog Lampung, Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung, Forum PUSPA Lampung, Perkumpulan Damar Lampung, dan beberapa komunitas lainnya.
Mengawali diskusi, salah satu korban Tragedi Talangsari, Edi menceritakan kronologi peristiwa tersebut secara singkat. Saat itu,TNI tiba-tiba datang ke rumah dan masjid dusun tersebut, menembaki jamaah masjid hingga malam itu terasa sangat mencekam.
“Saat itu saya masih kelas 1 SMP dan dalam kejadian itu 11 teman sebaya saya hilang sampai sekarang. Jika meninggalpun tak pernah ditemukan mayatnya hingga saat ini. Jamaah di masjid meninggal, ustad atau guru ngaji saya pun meninggal hari itu,” jelasnya.
Ayah Edi ditangkap oleh TNI saat itu, Edi pun sempat mengungsi di Padang bersama ibunya, tetapi di sana ternyata mereka pun juga ditangkap. Di penjara korem, Edi mendapat penyiksaan dari TNI seperti direndam berjam-jam dalam air, ditakut-takuti, sampai melihat ibunya disiksa. Hal itu pun menyisakan luka dan trauma pada dirinya.
Tak hanya Edi, ada tiga korban lain yang juga menceritakan penderitaannya atas tragedi Talangsari. Para korban masoh ketakutan mendengar suara petasan yang mirip dengan suara tembakan, takut pada air, tanah dan gubuk yang mengingatkan akan peristiwa pembantaian warga Talangsari.
Bahkan dampak peristiwa Talangsari masih mereka rasakan sampai sekarang. Pasalnya, rumah-rumah warga dibakar oleh TNI sehingga warga tidak memiliki tempat berlindung. Seperti keluarga besar Turasih yang harus tinggal di gubuk kecil milik orang lain dan menjadi kuli dengan upah Rp1.700, karena para suami di dusun tersebut ditangkap. Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun.
Hingga saat ini, tanah warga di bekas lokasi tragedi Talangsari tidak memiliki status kepemilikan yang jelas. Ini juga menjadi tuntutan para korban Talangsari meminta pemerintah untuk segera memberikan surat resmi tanah para korban di Talangsari.
Menanggapi kasus ini, Psikolog Lampung, Fiqih Amalia mengatakan para korban tragedi Talangsari pasti membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai bisa berdamai dengan trauma atas kejadian luar biasa yang pernah mereka alami.
“Di sisi lain korban membutuhkan keadilan, dan untuk mendapatkan keadilan itu mereka harus terus menceritakan kejadian yang mereka alami terus menerus yang mau tak mau kembali mengorek luka lama dan mengingatkan kembali pada trauma mereka,” katanya.
Fiqih pun memberikan solusi agar komunitas masyarakat bisa membuatkan film dokumenter atau wawancara lengkap dari para korban tragedi Talangsari sehingga korban tidak harus bercerita berkali-kali tentang peristiwa yang mereka alami.
Fiqih juga berharap masyarakat termasuk sanak saudara dan tetangga untuk tidak mendiskriminasi para korban.
Direktur LBH Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi menyatakan, peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia termasuk kasus Talangsari kini semakin dinormalisasi. Generasi saat ini dibuat tidak tahu sehingga cuek dengan peristiwa besar yang memberikan penderitaan panjang bagi korban.
Ia pun meminta generasi muda saat ini untuk terus menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM karena sampai hari ini belum ada keadilan atas para korban. Pelaku belum ditangkap dan nama baik para korban belum dipulihkan oleh negara. (R-1)
Recent Comments