Republik Pengikut dan Penyuka

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Beberapa waktu lalu, melalui media digital, saya berdua dengan salah seorang jurnalis senior di negeri ini; berdiskusi hebat tentang bagaimana perkembangan digital, sampai tentang genetik kemiskinan yang sengaja ”ditanam” agar setiap saat ada; sehingga atas nama proyek kemanusiaan terus dianggarkan, terlepas anggaran itu sampai atau tidak.

Terakhir beliau mengemukakan, dengan merujuk pada “Republik Digital”; maka sempurnalah diskusi itu dengan meninggalkan sejumlah tanya; salah satu diantaranya adalah adanya “Republik Pengikut dan Penyuka”. Konsep republik di sini bukan yang konvensional dalam literatur, akan tetapi lebih kepada tatanan baru yang muncul akibat penggunaan media sosial yang masif.

Tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandang filsafat, dengan harapan diskusi itu tidak berhenti dan terus berjalan bagai alir mengalir menuju lautan ilmu.
Berdasarkan studi digital ditemukan informasi bahwa; Plato menggambarkan manusia seperti tahanan dalam gua yang hanya melihat bayangan di dinding, dan menganggap bayangan itulah realitas. Analogi ini, yang dikenal sebagai “Allegory of the Cave”, menjadi titik berangkat yang relevan untuk menafsirkan zaman kita hari ini. Kita hidup dalam dunia digital yang penuh “bayangan”.

Media sosial membentuk dunia baru: Republik Digital yang didasarkan bukan pada pertukaran ide sejati, melainkan pada jumlah pengikut dan penyuka. Di dalamnya, manusia tidak lagi mencari kebenaran, tetapi pengakuan digital. Apa yang viral dianggap benar, yang populer, dianggap bernilai, dan itu menjadi sistem sosial baru dalam masyarakat manusia saat ini. Oleh sebab itu, apapun peristiwanya, jika ingin mendapat perhatian, maka harus di viralkan. Itu adalah algoritma berfikir baru yang hidup saat ini di alam ide manusia.

Dalam dunia media sosial, individu mengejar popularitas sebagai tujuan. Namun menurut Plato, pengejaran akan  doxa (opini) tanpa episteme (pengetahuan sejati) adalah bentuk pembodohan. Platform digital menciptakan ilusi interaksi dan pengetahuan, padahal yang ada hanyalah refleksi dari refleksi: potret selfie, narasi buatan, dan persona yang dikurasi (dipilih dan diatur) algoritma.

Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, yaitu makhluk yang “ada di dunia” dan menyadari keberadaannya. Namun di dunia digital, Dasein menjadi Das-Man: manusia berupa massa yang tunduk pada opini umum. Kita mengikuti bukan karena berpikir, melainkan karena takut tertinggal. Budaya mengikuti tren, menyukai konten populer, menjadi bagian dari keramaian digital adalah bentuk keterasingan eksistensial. Heidegger menyebut ini sebagai bentuk kejatuhan dalam keberadaan yang tidak otentik (inauthentic being).

Jean Baudrillard berpendapat bahwa dalam masyarakat postmodern, tanda (simbol) telah menggantikan realitas. Di media sosial, yang penting bukan siapa Anda, akan tetapi bagaimana Anda tampil. Kita menyukai sesuatu bukan karena ia benar atau baik, tetapi karena ia tampil seolah-olah penting. Disini popularitas menjelma menjadi hiper-realitas. Dalam Republik Pengikut dan Penyuka ini, pengikut bukan lagi relasi sosial; ia adalah mata uang nilai. Penyuka bukan penilaian; ia adalah validasi eksistensial. Ini adalah dunia simulasi, bukan substansi.

Aristoteles mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan sejati yang diperoleh melalui kebajikan. Dalam budaya digital, manusia mengejar kebahagiaan yang ditentukan secara eksternal: jumlah pengikut, “like”, komentar positif. Apakah mengejar validasi eksternal ini membuat manusia lebih baik? Jawabannya, tidak. Karena yang lahir adalah kehidupan hedonis yang tidak berakar pada karakter dan kebajikan moral, melainkan pada pujian publik sesaat.

Kierkegaard mengingatkan akan bahaya massifikasi individu. Dalam masyarakat massa, individu tidak berani mengambil sikap. Ia larut dalam kerumunan. Di media sosial, keberanian moral digantikan dengan kalkulasi algoritma. Kita memposting apa yang “aman”, yang tidak kontroversial, atau yang sedang viral. Dan, Kierkegaard menyebut ini sebagai bentuk keputusasaan diam-diam, sebab individu kehilangan dirinya dalam apa yang disukai publik. Di tengah banjir konten, siapa saya yang sejati? menjadi pertanyaan yang tertelan oleh notifikasi.

Michel Foucault membahas bagaimana kekuasaan membentuk moral melalui wacana. Dalam Republik Pengikut dan Penyuka, algoritma menjadi bentuk baru kekuasaan yang tidak terlihat. Ia mengatur apa yang boleh dilihat, disukai, dan diikuti. Etika bukan lagi soal refleksi, tetapi soal norma algoritmis: apa yang sesuai tren, itulah yang baik. Ini melahirkan etika yang terkooptasi sistem teknologis. Moralitas menjadi kuasa “platform”, bukan kuasa hati nurani. Dan, konten Masjid Jogokariya adalah korban dari ini, bahkan ramai-ramai sumber media sosial yang berbasis algoritma mem-banned seolah-olah “keroyokan” model baru; dengan berlindung pada satu etika moral digital yang tidak terverifikasi.

Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa demokrasi sejati lahir dari volonté générale, yaitu kehendak umum yang rasional. Akan tetapi dalam media sosial, yang tampil bukanlah kehendak umum, melainkan kehendak mayoritas algoritmik. Siapa yang punya buzzer, siapa yang bisa viral, dia yang seolah-olah “mewakili rakyat”. sejumlah pertanyaan yang menjadi pekerjaan rumah adalah: Apakah demokrasi digital masih demokratis, ketika kekuasaan opini dapat dibeli, dan distribusi informasi dikontrol oleh logika profit? Ini pekerjaan rumah baru bagi para ilmuwan sosial. Sebab, Republik Pengikut dan Penyuka mengaburkan batas antara warga dan penonton, antara aktor dan konsumen. Ruang publik digantikan oleh “timeline”, dan debat digantikan oleh komentar viral. Pertanyaan terakhir adalah; bagaimana kita mengubah Republik Pengikut dan Penyuka menjadi Republik Pemikir dan Pencari Kebenaran.
Salam Waras (R-2)