PORTALLNEWS.ID ( Bandar Lampung ) – Pakar Energi dari Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Rishal Asri, S.T., M.Eng., Ph.D., menilai bahwa setelah satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, Indonesia masih jauh dari kedaulatan energi nasional.
Menurutnya, dari skala 1 hingga 10, tingkat keamanan energi Indonesia baru mencapai 6,9, atau masih berada di bawah ambang aman.
“Kita ini masih tergantung impor. Baik untuk minyak maupun gas, defisitnya besar. Artinya kedaulatan energi belum benar-benar kita capai,” tegas Rishal dalam forum diskusi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Sudah Berdaulatkah Kita dalam Energi?” di Bandar Lampung, Kamis (23/10/2025).
Defisit Energi Masih Lebar
Rishal menjelaskan, kebutuhan gas LPG nasional mencapai 8–8,8 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya 1,2–1,9 juta ton.
Artinya, Indonesia masih harus mengimpor sekitar 7 juta ton LPG setiap tahun.
Kondisi serupa terjadi pada sektor minyak bumi (BBM).
Konsumsi nasional mencapai 1,6 juta barel per hari, sedangkan produksi hanya 600 ribu barel.
“Defisit satu juta barel ini yang menimbulkan beban impor dan subsidi,” ujarnya.
Masalah Subsidi dan Ketidaktepatan Sasaran
Rishal mengkritisi kebijakan subsidi energi, terutama LPG 3 kilogram, yang hingga kini belum tepat sasaran.
Sebagian besar justru dinikmati oleh kelompok menengah ke atas.
“LPG 3 kilo ini rantai distribusinya panjang dan rawan bocor. Dari pengisian sampai ke tangan pengguna, banyak yang tidak sesuai harga subsidi,” jelasnya.
Sebagai alternatif, ia mendorong pemerintah mengembangkan jaringan gas kota yang dinilai lebih efisien dan tepat sasaran.
“Bandar Lampung sudah mulai punya jaringan gas kota, tapi belum merata. Ini yang perlu diperluas untuk mengurangi beban subsidi,” tambahnya.
Solusi: Elektrifikasi dan Kompor Listrik
Rishal menilai, elektrifikasi alat masak menjadi langkah strategis untuk menekan subsidi LPG.
Ia menyebut bahwa di banyak negara maju, masyarakat sudah beralih ke kompor induksi listrik yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini perlu disertai inovasi teknologi dan kesiapan infrastruktur listrik.
“Masalahnya, kalau mati lampu, nggak bisa masak. Jadi solusi ini juga harus dibarengi perbaikan pasokan listrik,” kata Rishal disambut tawa peserta.
Transportasi dan Konsumsi Energi
Lebih dari 50 persen energi nasional terserap di sektor transportasi, terutama BBM untuk kendaraan pribadi. Rishal menilai, ketergantungan tinggi pada transportasi berbahan bakar minyak menjadi penghambat utama kedaulatan energi.
“Begitu harga BBM naik sedikit, semua harga ikut naik. Ini karena 50 persen energi kita habis di transportasi,” jelasnya.
Menurutnya, solusi jangka panjang adalah penguatan transportasi publik dan percepatan elektrifikasi kendaraan.
Namun, ia mengingatkan bahwa jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Lampung masih minim.
Tantangan Infrastruktur dan Penerimaan Publik
Rishal juga menyoroti masalah infrastruktur dan penerimaan masyarakat terhadap kendaraan listrik.
Harga kendaraan listrik masih tinggi, servis terbatas, dan daya listrik rumah tangga banyak yang belum memadai.
“Masyarakat masih takut. Takut baterai habis di jalan, takut tidak kuat nanjak. Ini persoalan sosial yang harus dijawab lewat edukasi dan insentif,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah seharusnya lebih terarah dan bertingkat — kendaraan listrik untuk kelas menengah ke atas, sementara subsidi BBM dan gas difokuskan untuk kelompok bawah.
Komunikasi Publik Pemerintah Dinilai Lemah
Sementara itu , dalam Diskusi , Pakar Komunikasi Publik Universitas Lampung, Dr. Feri Firdaus, S.I.Kom., M.A. juga menilai kebijakan energi nasional di bawah pemerintahan Prabowo–Gibran belum diiringi dengan komunikasi publik yang baik, transparan, dan terintegrasi.
Framing dan Krisis Kepercayaan Publik
Dr. Feri mengingatkan bahwa lemahnya strategi komunikasi membuat narasi kebijakan pemerintah mudah kalah oleh opini media sosial. Ia mencontohkan bagaimana isu soal program MBG bahkan dipelintir dalam ruang digital seperti gim Roblox, yang menggambarkan makanan bantuan pemerintah sebagai “racun”.
“Ini menunjukkan bahwa komunikasi publik pemerintah kalah cepat dan kalah menarik. Publik akhirnya lebih percaya pada narasi alternatif ketimbang sumber resmi,” jelasnya.
Seruan Bangun Pusat Komunikasi Energi
Untuk memperbaiki situasi, Feri mengusulkan pembentukan Pusat Komunikasi Energi Nasional sebagai sumber informasi satu pintu. Ia juga menekankan pentingnya pemerintah mengadopsi prinsip Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) dari WHO, yakni:
- Be First – pemerintah harus jadi sumber informasi pertama.
- Be Right – sampaikan data akurat.
- Be Credible – jujur dan transparan.
- Express Empathy – tunjukkan empati pada masyarakat.
- Promote Action – beri panduan nyata.
- Show Respect – hargai publik.
“Tanpa komunikasi publik yang kredibel dan berempati, kebijakan energi hanya akan dianggap propaganda,” tegasnya.
