Secangkir Kopi Dini Hari

OPINI

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Apakah karena kebanyakan tidur, atau susah tidur, malam kedua taun baru Hijriyah ini terbangun dini hari. Dan, karena mata tidak lagi mau dipejamkan, maka diputuskan untuk bangun dan merenung bersama secangkir kopi yang dibuat sendiri. Sambil menikmati antara pahit dan manisnya kopi, perjalanan angan dimulai sebagai refleksi, kontemplasi, sekaligus “mesu budi” (bahasa Jawa yang arti harfiahnya: mengendalikan diri secara fisik dan mental untuk menjaga kesehatan, budi pekerti, dan keseimbangan spiritual), kepada Yang Maha Tinggi. Karena itu adalah satu momen yang bagi penulis tetap sakral, tetap jujur, dan tetap manusiawi: “secangkir kopi di dini hari”.

Barangkali bagi sebagian orang, kopi dini hari hanyalah kebiasaan atau kebutuhan akan kafein. Tetapi bagi penulis itu lebih dari sekadar minuman; tetapi itu adalah ritual. Momen hening yang membuka ruang batin untuk berbicara dengan diri sendiri. Dalam sunyi yang tidak diisi oleh suara manusia lain atau tekanan sosial, secangkir kopi menjadi simbol kesadaran eksistensial. Ia adalah jeda di antara hari kemarin dan hari yang akan datang, disitulah saat kita bisa melihat ke dalam diri, melihat siapa kita di balik segala label, dan bertanya kembali kepada diri: apa arti menjadi manusia ini ?

Aliran filsafat eksistensial, terutama yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, hingga Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk terus bertanya tentang makna dirinya. Kita hidup di dunia yang tidak menawarkan jawaban pasti, dan justru karena itulah kita bebas, namun sekaligus cemas. Eksistensi mendahului esensi, kata Sartre. Artinya, manusia tidak dilahirkan dengan makna bawaan; kita harus menciptakan makna itu sendiri melalui pilihan, tindakan, dan kesadaran akan keberadaan kita.

Kopi dini hari menjadi medium reflektif untuk menyadari kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang memaksa untuk bangun pukul dua dini hari untuk menjerang air. Tetapi saat kita memilih untuk melakukannya, memilih untuk hadir dalam ruang sunyi, dan mulai menyusun ulang serpihan-serpihan diri yang tercecer dalam keseharian. Di saat seperti ini, kita tidak sedang menjadi “seseorang” dalam arti ; bukan pekerja, bukan kakek dari cucu-cucu, bukan pasangan, bukan warga negara. Tetapi hanya manusia, yang hidup, yang merasa, dan yang berpikir. Persis seperti yang dikatakan oleh René Descartes, “Cogito, ergo sum”—“Aku berpikir, maka aku ada.” Didalam kesadaran akan pikiran sendiri-lah, keberadaan diri itu ditegaskan.

Kopi, bagi sebagian orang, adalah simbol produktivitas. Tapi dalam momen dini hari, kopi lebih menyerupai simbol kesementaraan. Ia hangat, aromatik, dan nikmat. Namun itu hanya sesaat. Dalam beberapa menit kemudian, panasnya memudar, aromanya hilang, dan cairan hitam itu tinggal endapan di dasar cangkir. Hal itu mengingatkan kita pada hidup yang juga sementara. Kita dilahirkan, berkembang, bersinar sebentar, lalu meredup kembali, dan bersiap untuk “kembali”.

Martin Heidegger, filsuf Jerman, menyebut manusia sebagai Dasein, makhluk yang “ada di dunia” dan menyadari bahwa suatu hari ia akan tiada. Kesadaran akan kematian bukan untuk ditakuti, melainkan menjadi motivasi untuk hidup lebih otentik. Setiap kali menyeruput kopi dalam hening, kita merasa sedang menjalani hidup secara sadar. Kita tidak hanya hidup karena harus, tapi karena kita memilih untuk hadir, dan untuk menikmati, untuk merenung, serta untuk merasakan. Karena pada dini hari menawarkan sesuatu yang tak bisa ditiru oleh waktu lain: kesunyian. Dunia masih tidur, jalanan masih kosong, dan suara yang tersisa hanyalah detak jam dan hembusan napas sendiri. Dalam sunyi itu, kita berhadapan langsung dengan realitas batin, dengan pertanyaan yang tak terjawab, dengan luka yang belum sembuh, dan harapan yang belum terucap.

Sayangnya, kebanyakan manusia modern takut pada sunyi. Kita sibuk mencari distraksi: media sosial, musik, notifikasi, obrolan ringan. Tapi dalam sunyi, kita bertemu dengan hal yang paling penting: kejujuran diri. Oleh sebab itu dalam filsafat manusia sangat menekankan pentingnya diam. Dalam diam, kita bisa melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa bias, tanpa ego. Menyecap kopi dalam sunyi bukan berarti melarikan diri, tapi justru menghadapi kehidupan dengan penuh keberanian dan kesadaran.

Kebebasan, dalam pemikiran Sartre, bukanlah kenyamanan. Ia adalah beban, karena dengan kebebasan, datanglah tanggung jawab. Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan, takdir, atau orang lain atas hidup yang kita jalani. Dalam konteks ini, bahkan memilih untuk bangun dan menyeduh kopi adalah bentuk kebebasan eksistensial. Kita tidak melakukannya karena diperintah, tapi karena saya memilih untuk hadir, untuk memaknai waktu saya sendiri.

Kopi dini hari juga bisa menjadi metafora dari pilihan hidup yang tidak umum. Ketika dunia memilih tidur, kita memilih terjaga. Ketika orang lain mengejar produktivitas sejak matahari terbit, kita mengejar kesadaran sejak fajar. Ini bukan soal menjadi berbeda, tapi soal menjadi sejati. Kebebasan manusia bukan hanya soal memilih karier atau pasangan hidup, tapi juga tentang bagaimana ia mengisi waktunya, juga termasuk waktu sunyi yang tidak dianggap penting oleh kebanyakan orang.

Kita tidak sedang mengkultuskan kopi. Tetapi percaya bahwa manusia membutuhkan simbol dan ritual kecil dalam keseharian agar tetap waras. Kita terlalu sering mengejar hal besar, seperti jabatan, gelar, proyek besar; sehingga lupa bahwa keindahan hidup terletak pada hal kecil yang dijalani dengan penuh makna. Dan secangkir kopi yang diseduh perlahan di tengah sunyi adalah salah satunya. Didalam dunia yang makin bising dan cepat, kita butuh lebih banyak ruang untuk hening. Kita butuh lebih banyak pagi yang lambat, kopi yang diseduh perlahan, dan waktu untuk berpikir tanpa distraksi. Bukan karena kita malas, tapi karena kita manusia. Dan menjadi manusia berarti bukan hanya bergerak dan bekerja, tapi juga merasa, bertanya, dan menemukan makna. Maka dari itu; menulis opini ini bukan untuk mengajak semua orang minum kopi pagi-pagi. Tetapi untuk mengajak kita semua berhenti sejenak. Untuk menepi dari kejaran waktu, dan mulai mendengarkan kembali suara hati yang mungkin sudah lama kita abaikan.
Salam Waras. (R-2)