“Sumeleh” (Jurus Pamungkas Melawan Kegelisahan Batin)

OPINI

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pagi itu kedatangan tamu, teman lama pensiunan guru. Di samping seorang yang menekuni dunia pendidikan, beliau juga peminat menekuni agama dan dunia filsafat sekaligus budaya. Perbincangan dimulai dari hal-hal yang ringan, tetapi dengan langkah pasti pembicaraan mengarah ke hal-hal yang bersifat transendental. Satu kata kunci yang beliau kemukakan adalah untuk menghadapi situasi seperti saat ini yang cenderung tidak baik-baik saja adalah; sikap sumeleh. Diskusi menjadi panjang kali lebar, diskurs yang dibahas adalah konsep sumeleh.

Makna sumeleh secara ringkas dapat dikatakan adalah sikap batin yang tercermin dalam perilaku menerima kenyataan hidup dengan ikhlas, tanpa mengabaikan usaha, dan ditandai oleh ketenangan emosional, pelepasan atas hal-hal di luar kendali pribadi, serta kepercayaan pada proses atau kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri, yaitu kekuatan keilahian.

Dalam dinamika kehidupan modern yang penuh tekanan, kebisingan digital, dan kegelisahan eksistensial, masyarakat kontemporer sering kali terjebak dalam pusaran overthinking, yaitu sebuah kondisi mental yang membuat manusia tenggelam dalam ketidakpastian, kecemasan, dan obsesi terhadap kendali. Namun, dalam khazanah budaya Jawa, terdapat sebuah konsep yang justru menawarkan jalan keluar dari kekacauan mental ini: itulah “sumeleh”. Meski lahir dari ranah budaya tradisional, konsep sumeleh mengandung nilai-nilai universal yang dapat dibaca ulang melalui kacamata filsafat kontemporer, khususnya yang berkutat pada eksistensialisme, fenomenologi, dan pemikiran post-struktural.

Sumeleh bukanlah kepasrahan buta, bukan bentuk menyerah dalam arti negatif. Ia lebih menyerupai sebuah sikap batin yang reflektif dan sadar akan keterbatasan manusia dalam menghadapi kompleksitas hidup. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sumeleh adalah pengakuan dalam diam bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa dipahami atau dikendalikan. Sumeleh merupakan titik temu antara usaha manusia dan ketidaktahuan akan hasil. Di tengah budaya modern yang menuntut segala hal diprediksi, dikontrol, dan diraih, sumeleh hadir sebagai kritik terhadap dominasi nalar instrumental yang menempatkan manusia sebagai pengatur segalanya.

Dalam konteks ini, sumeleh tidak bisa dilepaskan dari pemahaman eksistensial tentang keterlemparan manusia ke dalam dunia. Manusia tidak memilih untuk lahir, tidak memilih lingkungan sosialnya, dan tidak dapat mengontrol seluruh jalan hidupnya. Ia dilemparkan ke dalam situasi-situasi yang sering kali absurd dan tidak masuk akal. Namun dalam absurditas itulah, manusia justru menemukan ruang untuk merumuskan makna. Sumeleh adalah bentuk penerimaan atas kenyataan ini, dan bukan penerimaan yang pasif, tetapi penerimaan yang aktif, sadar, dan ikhlas. Ini adalah bentuk kehadiran yang penuh, yang tidak menghindari penderitaan, tetapi juga tidak terobsesi untuk mengatasinya.

Ketika dibaca dalam kerangka fenomenologi, sumeleh juga dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk membuka diri terhadap pengalaman apa adanya. Tanpa prasangka, tanpa niat untuk menundukkan. Sumeleh mengajarkan manusia untuk hadir sepenuhnya dalam pengalaman yang dialaminya, seberapapun tidak nyamannya. Dalam dunia yang serba instan dan cepat, di mana manusia cenderung menghindar dari ketidaknyamanan dan bersembunyi di balik pelarian digital, sumeleh justru menantang kita untuk tinggal di dalam rasa sakit, dalam ketidakpastian, dalam tidak tahunya kita terhadap masa depan.
Sumeleh juga mengandung dimensi dekonstruktif yang khas dari pemikiran kontemporer. Ia mendekonstruksi gagasan bahwa manusia harus selalu kuat, tahu segalanya, dan berhasil. Dalam kerangka ini, sumeleh adalah kritik terhadap mitos kemajuan yang tak henti-hentinya ditanamkan sejak dini: bahwa hidup harus selalu naik, harus terus lebih baik, harus punya arah jelas. Padahal, kenyataan hidup sering kali bergerak zigzag, tidak linier, dan penuh kekacauan.

Sumeleh mengajarkan bahwa tidak mengerti adalah hal yang wajar. Tidak tahu arah adalah bagian dari proses. Gagal adalah bagian dari menjadi manusia. Maka, dalam melepaskan kontrol, manusia justru mendapatkan kontrol yang lebih dalam: kontrol terhadap reaksinya sendiri terhadap dunia.

Sumeleh adalah ekspresi kebijaksanaan emosional yang tidak banyak dibicarakan dalam pendidikan formal. Dunia pendidikan modern menekankan pada kognisi, pada berpikir kritis, pada logika dan rasionalitas. Sumeleh datang dari wilayah yang tidak terjangkau oleh logika: wilayah kepercayaan, pengendalian emosi, dan penerimaan. Dalam sumeleh, seseorang belajar bahwa “knowing when to stop” adalah bentuk kecerdasan yang tak kalah penting dari knowing how to keep going. Ini bukan antitesis dari kerja keras, melainkan pelengkapnya. Karena tanpa sumeleh, kerja keras bisa berubah menjadi penderitaan; ambisi bisa menjadi beban; dan harapan bisa menjelma menjadi sumber frustrasi.

Dalam praktik sehari-hari, sumeleh dapat diterjemahkan sebagai kemampuan untuk meletakkan sesuatu di luar kendali kita ke tempat yang lebih besar. Tempat itu bisa dipahami sebagai kekuatan spiritual, alam semesta, atau bahkan hanya sebagai kesadaran akan hukum sebab-akibat yang tidak selalu bisa dikalkulasi. Saat seseorang bersumeleh, ia tidak berhenti bekerja, tetapi ia berhenti mencemaskan hasil yang belum terjadi. Ia fokus pada proses, bukan pada ekspektasi. Dalam psikologi modern, hal ini sepadan dengan mindfulness atau kehadiran penuh dalam saat ini, namun sumeleh tidak membutuhkan teknik atau pelatihan. Ia adalah hasil dari proses batin yang mendalam dan terus-menerus diasah oleh pengalaman hidup.

Sumeleh juga mengandung spiritualitas yang membumi. Ia tidak dogmatis, tidak butuh ritual megah. Ia hadir dalam kesadaran sehari-hari: saat seseorang menerima kenyataan pahit tanpa mengutuk, saat seseorang melepaskan sesuatu yang dicintai tanpa kebencian, saat seseorang tetap tenang dalam ketidakpastian. Dalam momen-momen sederhana itulah sumeleh bekerja, mengendap-endap memperkuat jiwa dari dalam. Ini adalah bentuk spiritualitas yang tidak butuh nama, tidak butuh panggung. Ia tumbuh dalam kesahajaan dan kekosongan yang penuh makna.

Maka, sumeleh bukan sekadar konsep kultural yang usang. Ia adalah jawaban yang sangat relevan terhadap krisis spiritual dan emosional zaman ini. Ia adalah bentuk soft resistance terhadap dominasi rasionalisme yang dingin, terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif, terhadap budaya sosial yang superfisial. Dalam dunia yang bergerak cepat, sumeleh mengajarkan kita untuk berjalan pelan. Dalam dunia yang bising, ia mengajarkan kita untuk mendengarkan. Dalam dunia yang penuh ego, ia mengajarkan kita untuk melepaskan. Oleh sebab itu sumeleh bukan akhir dari perjuangan, tetapi cara untuk tidak binasa di tengah perjuangan. Ia bukan tanda kekalahan, tetapi cara untuk bertahan dengan cara yang manusiawi. Dan mungkin, dalam zaman yang penuh luka ini, kita tidak perlu menjadi luar biasa. Cukup menjadi manusia yang utuh, sadar, dan bersumeleh.
Salam Waras (R-1)