Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Selesai melakukan sidang ujian pascasarjana; mahasiswa yang juga seorang tenaga kesehatan di satu rumah sakit terkenal di daerah ini, menghadap mengajak diskusi tentang kondisi saat ini yang cenderung tidak baik-baik saja. Bagaimana seeorang dokter spesialis penyakit dalam satu rumah sakit, mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga pasien; padahal apa yang dilakukan sesuai standard prosedur.
Diskusi menjadi melebar; dan setelah berakhir yang bersangkutan ke luar ruangan. Namun, menyisakan sejumlah pertanyaan bagaimana kondisi saat ini; di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, suara-suara dibentuk oleh opini yang ekstrem dan media sosial mendorong keberpihakan tanpa refleksi, muncul kebutuhan mendesak untuk menemukan posisi yang lebih bijak dengan cara tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi.
Kalimat ini bukan sekadar sikap netral, melainkan suatu posisi etis dan reflektif yang menantang keberpihakan buta maupun penghukuman prematur. Dari sudut pandang filsafat sosial, kita dapat mengeksplorasi makna terdalam dari sikap ini dan bagaimana ia berkontribusi terhadap keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial.
Perkembangan teknologi informasi dan media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi secara radikal. Masyarakat global saat ini hidup dalam apa yang disebut Zygmunt Bauman sebagai “masyarakat cair”, di mana nilai, norma, dan makna berubah cepat dan kehilangan kestabilannya. Dalam situasi ini, pertarungan opini menjadi panggung utama. Siapa yang tidak membela, dianggap pengecut; siapa yang tidak menghakimi, dianggap mendukung.
Contoh nyata yang baru saja terjadi adalah kejadian di Kota Pati Jawa Tengah. Pertanyaan tersisa: apakah setiap wacana harus ditentukan oleh keberpihakan? Apakah etika sosial menuntut kita selalu memilih pihak? Disinilah filsafat sosial mengambil peran untuk menengahi: membedah struktur kuasa, mendalami relasi antarindividu, serta meninjau bagaimana tindakan sosial dibentuk oleh prasangka, moralitas, dan ideologi.
Netralitas sering disalahpahami sebagai sikap pasif atau acuh tak acuh. Namun, dalam pemikiran filsuf seperti Jürgen Habermas, netralitas bukanlah ketidakhadiran posisi, melainkan proses deliberatif rasional yang mengedepankan dialog. Dalam Theory of Communicative Action, Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai tempat diskusi rasional tanpa dominasi. Dalam ruang inilah sikap “tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi” menjadi alat kritis untuk mencegah manipulasi dan polarisasi. Dengan demikian, sikap ini menjadi refleksi dari etika diskursif: tidak buru-buru menilai, tetapi membuka ruang untuk pemahaman yang lebih dalam, berbasis argumen, bukan emosi atau prasangka.
Salah satu kunci dari tidak membela tetapi juga tidak menghakimi adalah kemampuan untuk memahami. Dalam tradisi hermeneutika, seperti yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, pemahaman bukanlah proses pasif, tetapi aktif dan penuh refleksi. Kita tidak hanya menafsirkan tindakan orang lain, tetapi juga menafsirkan kembali diri kita dalam proses itu, dan posisi kita dalam tafsir itu dimana, serta sebagai apa.
Ketika seseorang memahami pelaku kejahatan, misalnya, banyak yang menganggapnya sebagai bentuk pembelaan. Padahal, dari perspektif filsafat sosial, pemahaman adalah jembatan menuju rekonsiliasi, transformasi sosial, dan pencegahan kekerasan struktural. Dalam pandangan Paulo Freire, edukasi yang membebaskan bukanlah menghakimi yang tertindas atau membela yang menindas, tetapi menumbuhkan kesadaran kritis terhadap struktur yang menciptakan penindasan itu sendiri.
Filsafat sosial juga menyoroti bagaimana penghakiman sering kali merupakan bentuk kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan bahwa masyarakat modern sangat tergila-gila pada praktik pengawasan dan penghukuman, bukan demi kebenaran, tetapi demi mempertahankan struktur kuasa. Ketika kita menghakimi, kita mereproduksi relasi kuasa yang tidak selalu adil. Kondisi ini sangat kentara pada peristiwa Pati yang baru saja terjadi.
Sikap tidak menghakimi di sini bukan berarti membenarkan, tetapi menahan diri dari menggunakan moralitas sebagai alat dominasi. Ia adalah kesadaran bahwa kita tidak selalu berada pada posisi untuk menilai secara objektif. Ini adalah bentuk kerendahan hati epistemik, bahwa kebenaran sering kali lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan.
Sikap membela dan menghakimi sering muncul dari kecenderungan berpikir biner: benar–salah, baik–buruk, korban–pelaku. Filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Jacques Derrida menolak pembacaan etika yang terlalu sederhana ini. Levinas berbicara tentang tanggung jawab terhadap “yang lain” yang tidak dapat direduksi pada kategori moral yang kaku. Derrida bahkan menyatakan bahwa keadilan sejati selalu “tertunda” karena ia menuntut dekonstruksi terhadap hukum dan norma yang ada. Bahkan kecenderungan ini dibuat ribet hanya untuk mempertahan kekuasaan, atau meneguhkan kekuasaan. Dengan demikian, “tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi” adalah pengakuan terhadap kerumitan moral.
Dunia sosial tidak bekerja secara biner, dan keadilan sejati membutuhkan kepekaan terhadap ambiguitas, konflik kepentingan, dan sejarah yang panjang. Oleh sebab itu, peran intelektual dan publik bukan menjadi juru bicara kebenaran absolut, melainkan penjaga proses dialogik dan transformasi sosial yang adil. Tentu, sikap ini tidak bebas dari kritik. Ada yang menyebutnya pengecut, ada yang menyebutnya abu-abu. Tetapi justru di situlah keberaniannya: berani mengambil posisi yang tidak populer, demi membela ruang publik yang sehat, demi keadilan yang tidak simplistik.
Namun, posisi ini juga harus terus diuji. Jangan sampai “tidak membela” menjadi alasan untuk diam dalam ketidakadilan struktural. Jangan sampai “tidak menghakimi” menjadi pembiaran terhadap kekerasan. Maka, perlu keseimbangan: antara empati dan keadilan, antara refleksi dan aksi.
“Tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi” bukanlah sikap yang nihilistik atau relativistik. Sebaliknya, ia merupakan bentuk tertinggi dari etika sosial yang reflektif. Dalam dunia yang penuh kebisingan, serta keberpihakan instan dan penghakiman digital, sikap ini hadir sebagai ruang jeda, ruang berpikir, ruang untuk menghidupkan kembali makna dialog, keadilan, dan empati.
Filsafat sosial mengajarkan bahwa masyarakat adil tidak dibangun oleh mereka yang paling keras bersuara, tetapi oleh mereka yang paling dalam memahami. Maka, dalam menghadapi konflik sosial, perbedaan, dan ketegangan etis, marilah kita berlatih untuk tidak segera membela, tidak tergesa menghakimi, tetapi senantiasa mencari kebenaran dengan kepala dingin dan hati terbuka. Sehingga kita tetap waras sebagai manusia.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments