Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Beberapa hari lalu saat melakukan ujian konfregensif Pascasarjana di Fakultas ternama di daerah ini; empat penguji tiga diantaranya “wong Palembang” dan semua bergelar Doktor, yang dua malah Doktor dokter. Pimpinan sidangnya profesor dari wilayah Penganut Samin sekaligus sosiolog yang gemar akan budaya; terakhir kami pernah terlibat penelitian di salah satu kabupaten terjauh di provinsi ini. Jadilah sidang itu ajang reuni plembang; dan dalam dialog mengomentari situasi saat ini, keluarlah istilah Calak Igo dalam bahasa Palembang, yang makna harfiahnya : seperti tertera dalam kamus Plembang sebagai berikut: Calak = pintar, cerdik <kadang terkesan curang>.Contoh: Oi calak nian kau e, wong ngaki kau bawak sepeda. Arti: Cerdik juga kamu ya, orang lain jalan kaki kamu bawa sepeda.
Teman-teman bertiga tadi sepakat bahwa sekarang banyak ditemukan orang yang terkena sindrom “calak“ igo”; tidak perduli warga kampus yang katanya intelektual, atau warga biasa; bahkan menjangkiti semua lapisan masyarakat. Apalagi situasi politik negeri yang sedang tidak baik-baik saja; banyak ditemukan bermunculan orang Calak Igo.
Semula pendiam, sekarang menjadi komentator politik mengalahkan Doktor Ilmu Politik. Semula biasa biasa saja, sekarang berubah menjadi “bringas” melebihi harimau dan berperilaku calak. Saking calaknya tidak peduli lagi akan etika norma ketimuran, jika diingatkan maka yang keluar kalimat “biaso bae” terjemahan bebasnya biasa saja, walaupun itu jelas-jelas tidak biasa.
Perilaku “Calak Igo” ini tidak hanya pada dunia nyata, lebih seru lagi didunia maya.
Di sana mereka betul-betul seolah mendapatkan panggung, bisa berbuat apa saja. Dan, manakala tersandung pelanggaran undang-undang elektronik; yang terjadi menangis “kunghu” (terisak-sak=istilah Plembang, bahasa Jawa= mewek) sambil mengiba minta maaf dan berjanji tidak mengulangi lagi. Tetapi kapok-nya orang seperti ini istilah plembang “kapok sambel”, sudah hilang pedasnya mengulang lagi kelakuan semula.
Perilaku Calak Igo ini jika melanda orang-orang tua; maka yang terjadi lain yang di tanya, lain pula yang dijawab. Akhirnya kita yang melihat atau memperhatikan akan berguman dalam hati “ini yang waras yang mana”. Jika melanda orang muda, yang terjadi: semua orang dianggap bodoh, yang pandai hanya dirinya, sehingga diksi yang keluar dari mulutnya cenderung meremehkan orang lain.
Penyakit calak igo jika melanda pejabat, maka pejabat ini selalu menggunakan jurus sapu bersih. Semua pekerjaan orang lain, termasuk anak buah, tidak pernah bagus dimukanya. Sehingga dia harus mengerjakan sendiri semua dari awal sampai akhir, baru merasa puas. Tentu saja ini melelahkan dan tindakan bodoh yang amat sangat; oleh karena itu pimpinan seperti ini akan dijauhi oleh anak buah. Biasanya model begini anti kritik; baca tulisan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya-pun, merasa tersinggung. Akhirnya menggunakan kekuasaan untuk “menghabisi” orang yang tidak pernah berbuat salah.
Jika melanda rakyat kebanyakan, bisa dibayangkan kelakuannya; dirinyalah yang paling benar, paling tahu, paling paham. Akibatnya dijauhi orang lain, karena merasa tidak nyaman jika berada didekatnya.
Sekarang muncul kelakuan seperti ini di masyarakat karena memang sedang terkondisi untuk itu. Pertanyaannya apakah kita bisa menghindar dari perilaku “calak igo”. Secara teori bisa, namun prakteknya tergantung seberapa keteguhan iman, dan ketawaduk-an diri terhadap semua ketentuan ilahi; oleh sebab itu ada ahli tasauf yang mengatakan “orang bisa bahagia karena hati dan pikirannya bersih, orang bisa gembira karena tidak terlalu banyak perhitungan, orang bisa berpuas hati karena tidak membandingkan, orang bisa terharu karena punya kasih sayang yang tulus”; semoga kita memiliki sifat ini semua. Salam Sehat (R-1)
Recent Comments