Bahagia Tak Harus Tertawa, Sedih Tak Harus Menangis

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Menjelang senja rumah kedatangan seorang satuan pengamanan komplek perumahan. Beliau orangnya pendiam, dan jika berbicara seperlunya saja, bahkan tidak jarang tanpa ekspresi. Entah ada apa senja itu dia mampir ke rumah, dan itu sangat jarang dia lakukan kecuali jika ada panggilan; setelah didesak dengan segala macam jurus, ternyata dia menjawab baru tertimpa musibah, uang yang di dalam account-nya dibobol oleh peretas. Setelah beliau berlalu kembali ke pos penjagaan, ada pembelajaran yang dipetik dari seorang satuan pengamanan ini, yaitu seperti yang dijadikan judul tulisan. Bahasan kali ini juga dari sudut pandang filsafat manusia.

Pada kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengasosiasikan bahagia dengan tawa, dan sedih dengan tangis. Kita juga menganggap bahwa ekspresi lahiriah merupakan cerminan mutlak dari keadaan batin seseorang. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua kebahagiaan harus ditunjukkan dengan senyuman lebar dan sumringah, dan tidak semua kesedihan perlu ditumpahkan dalam bentuk air mata. Bahkan, dalam banyak situasi, diam menjadi satu-satunya bentuk komunikasi yang paling jujur dan penuh makna. Di sinilah letak kekayaan dari pengalaman manusia; yang tak selalu bisa direduksi ke dalam simbol-simbol lahiriah.

Dari sudut pandang filsafat manusia kontemporer, pernyataan “Bahagia tak harus tertawa, sedih tak harus menangis”, bisa jadi diam adalah pilihan terbaik; mencerminkan kompleksitas eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki kedalaman batin, kebebasan eksistensial, dan kapasitas reflektif yang melampaui permukaan ekspresi fisiknya.

Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, menyatakan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan makna atau tujuan tertentu yang sudah ditentukan. Justru, manusialah yang harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Dalam kerangka ini, emosi seperti bahagia dan sedih tidak bisa direduksi hanya ke dalam tanda-tanda eksternal. Ketika seseorang bahagia tapi memilih tidak tertawa, atau sedih tanpa menangis, ia sedang menggunakan kebebasannya untuk menafsirkan dan mengelola emosinya sendiri. Beliau juga menekankan konsep “pilihan.” Dalam kebebasannya, manusia bertanggung jawab atas makna yang ia berikan pada hidupnya. Diam, dalam hal ini, bisa menjadi ekspresi kebebasan. Seseorang yang memilih diam ketika bisa saja berteriak atau menangis, sedang menunjukkan kontrol atas dirinya. Ia tidak tunduk pada reaksi spontan semata, tapi sedang membentuk makna emosinya dalam kerangka kebebasan personal.

Martin Heidegger memperkenalkan konsep “Dasein” sebagai istilah untuk menyebut manusia sebagai makhluk yang ‘ada-di-dunia’. Bagi Heidegger, manusia otentik adalah manusia yang menyadari kefanaannya dan mampu hidup dengan kesadaran akan kematian. Dalam konteks ini, perasaan bahagia dan sedih tidak selalu harus diekspresikan secara eksplisit. Manusia yang sadar akan kedalaman eksistensinya bisa saja merasa bahagia dalam kesendirian, dalam keheningan, dalam momen-momen reflektif yang tak tampak dari luar. Oleh sebab itu pula Heidegger menekankan pentingnya “keheningan” dalam pengalaman eksistensial. Dalam Being and Time, ia menulis bahwa keheningan bukanlah ketiadaan komunikasi, melainkan bentuk komunikasi yang lebih mendalam. Ketika seseorang diam, ia sedang ‘menarik diri’ dari kebisingan dunia dan masuk ke dalam ruang refleksi. Diam menjadi momen otentik, di mana seseorang benar-benar berhadapan dengan dirinya sendiri, tanpa distraksi sosial.

Emmanuel Levinas, berbicara banyak tentang etika dan hubungan antar-manusia. Dalam pemikirannya, “wajah” orang lain adalah panggilan etis yang tidak bisa dihindari. Namun menariknya, wajah yang dimaksud Levinas bukan sekadar wajah fisik yang tersenyum atau menangis, melainkan kehadiran yang mengajukan tanggung jawab. Dalam konteks ini, seseorang yang tidak tertawa bukan berarti tidak bahagia, dan seseorang yang tidak menangis bukan berarti tidak merasakan duka. Wajah yang diam bisa saja menyampaikan rasa pedih yang lebih mendalam daripada air mata. Keheningan, dalam relasi antar-manusia, justru bisa menjadi bentuk empati yang paling kuat. Ketika seseorang memilih diam di hadapan penderitaan orang lain, bukan berarti ia tak peduli, tapi bisa jadi ia sedang membuka ruang bagi penderitaan itu untuk berbicara dengan caranya sendiri.

Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas Holocaust, menulis buku terkenal Man’s Search for Meaning, yang membahas bagaimana manusia dapat menemukan makna bahkan dalam penderitaan terdalam. Ia menyatakan bahwa penderitaan tidak secara otomatis menghancurkan manusia; yang menghancurkan adalah penderitaan yang dianggap tak bermakna. Dalam pengalamannya di kamp konsentrasi Nazi, Frankl menyaksikan banyak orang yang tetap bertahan hidup bukan karena kekuatan fisik, tetapi karena mereka memiliki “mengapa” yang membuat mereka mampu menghadapi “bagaimana.” Ia juga menekankan pentingnya keheningan dalam proses pemaknaan tersebut. Diam, bagi Frankl, bisa menjadi momen di mana seseorang menyelami dirinya untuk menemukan makna yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Dalam konteks ini, tuntutan untuk selalu tersenyum saat bahagia atau menangis saat sedih bukanlah keharusan eksistensial, melainkan konstruksi sosial. De Beauvoir akan berpendapat bahwa memilih diam dalam menghadapi tekanan emosional adalah bentuk pemberontakan terhadap norma sosial yang membatasi ekspresi manusia. Keheningan bisa menjadi bentuk resistensi sekaligus penyelamatan identitas pribadi dari invasi masyarakat.
Filsafat kontemporer juga mengajarkan bahwa emosi manusia tidak bersifat biner. Seseorang bisa merasa bahagia dan sedih pada saat yang sama. Ada kebahagiaan yang muncul dari kehilangan, dan kesedihan yang terasa manis karena mengandung kenangan indah. Emosi manusia adalah dialektika yang kompleks.

Dalam dialektika ini, diam bisa menjadi ruang tempat emosi itu “bercampur” tanpa harus dipisahkan atau diklasifikasikan. Keheningan memungkinkan ambiguitas. Dan justru dalam ambiguitas itulah, pengalaman manusia menjadi utuh. Kita tidak harus tertawa untuk mengakui kebahagiaan, tidak harus menangis untuk merasakan duka, dan tidak harus berbicara untuk memahami.

Dari perspektif filsafat manusia kontemporer, ungkapan “Bahagia tak harus tertawa, sedih tak harus menangis”, terkadang diam menjadi pilihan terbaik. Ini adalah representasi dari kematangan eksistensial. Ia mencerminkan kedalaman pemahaman bahwa manusia bukan sekadar makhluk yang bereaksi, tetapi juga yang merefleksikan. Keheningan bukanlah kekosongan, melainkan ruang batin yang penuh makna. Diam bisa menjadi bahasa yang paling jujur dalam situasi ketika kata-kata gagal, dan ketika ekspresi lahiriah justru menyederhanakan realitas batin yang kompleks. Itulah manusia dengan segala dimensinya, sulit dipahami tetapi mudah dimengerti.
Salam Waras (R-1)