Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pagi itu, seperti biasa diantar istri tercinta menuju kantor, karena semenjak menjadi lansia seperti menjadi anak Taman Kanak-kanak kembali, yang bercirikan kalau pergi harus diantar, kalau pulang harus dijemput; kalau tidak, dikhawatirkan tidak mengerti bagaimana dan dengan cara apa harus pulang. Langkah menuju tangga ini dahulu biasa dilakukan dengan gerakan cepat, tetapi seiring usia yang sudah tidak muda lagi, semua harus penuh kehati-hatian demi menjaga keseimbangan. Kantor masih sepi, sunyi yang hanya dihiasi suara lembut sapu lantai yang bergesekan dengan anak tangga. Di sana, seorang office boy sedang menyapu. Gerakannya lambat, tetapi konsisten, pandangannya kosong, tapi tak kehilangan arah. Sekilas, wajahnya terlihat pasrah, namun bukan dalam arti menyerah. Ada semacam keikhlasan yang jernih dalam ekspresinya. Seolah dia bukan sedang menyapu debu semata, melainkan menyapu waktu, menyapu harapan, menyapu tanya dalam diam dan keteraturan.
Pada momen itu, seolah ruang dan waktu terhenti. Di antara tangga dan lantai marmer yang putih berkilau, sebuah peristiwa kecil membuka pintu pada perenungan besar. Dalam hidup yang kerap kita kejar dengan ambisi dan target, sosok seperti dia jarang kita beri ruang dalam pikiran. Namun justru pada dirinya, ada cermin yang jujur tentang eksistensi manusia. Tanpa kata-kata, bisa jadi dia sedang mengajukan pertanyaan mendalam: apa arti kerja? Apa makna menerima? Apa batas antara keterpaksaan dan keikhlasan?
Filsafat kontemporer seringkali tidak membahas dunia dari menara gading. Ia juga masuk ke lorong-lorong gelap, ke ruang sempit dalam kehidupan sehari-hari, ke tubuh-tubuh yang lelah dan jiwa-jiwa yang diam. Dalam konteks itu, office boy di anak tangga bukan hanya pekerja rendahan. Ia adalah entitas eksistensial yang menunjukkan relasi manusia dengan dunia secara paling nyata. Dia hadir bukan sebagai simbol ketidakberdayaan, tetapi sebagai cermin keterhubungan antara manusia, benda, dan waktu.
Dia menyapu, dan dalam menyapu itu Dia sejatinya menghidupkan ruang. Bayangkan kantor sebesar dan semegah ini tanpa pekerja senyapnya setiap pagi. Debu akan menumpuk, lantai menjadi lengket, dan kenyamanan tempat kerja runtuh. Ia bukan sekadar pelengkap. Ia adalah bagian dari sistem yang diam-diam menopang struktur. Namun justru karena diamnya itulah, kita sering luput. Dunia modern, dengan obsesinya pada efisiensi, jabatan, dan hierarki, cenderung menyingkirkan kehadiran-kehadiran yang tak bersuara seperti ini. Padahal, dalam diam itu, terdapat nilai yang tak tergantikan.
Pandangannya yang kosong bukan berarti kehampaan. Mungkin itu bentuk perenungan yang tak diucapkan. Di tengah gerakan yang berulang dan monoton, ada kemungkinan bahwa dia sedang menjalani sebuah laku yang lebih dalam dari sekadar rutinitas. Dalam filsafat kontemporer, ada pemikiran bahwa pengalaman manusia bukan hanya ada dalam kata, tetapi juga dalam tubuh, dalam tindakan sehari-hari yang sering diremehkan. Tindakan menyapu, dengan seluruh repetisinya, bisa menjadi bentuk meditatif. Seperti doa yang tak bersuara, seperti zikir dalam gerakan.
Barangkali ia pasrah, tetapi bukan sebagai bentuk kekalahan. Pasrah di sini bisa dibaca sebagai penerimaan radikal terhadap hidup. Dunia tidak selalu bisa diubah dengan perlawanan frontal. Dalam kehidupan sebagian besar manusia, terutama mereka yang tidak punya akses pada kekuasaan atau kapital, kehidupan dijalani dalam ruang-ruang kecil penerimaan. Namun bukan berarti tidak ada kebebasan. Justru di sanalah, kebebasan dalam bentuk paling otentik muncul, yaitu kebebasan untuk tetap hadir, untuk tetap mengerjakan, untuk tetap memberi makna meski tak dianggap penting.
Ada paradoks menarik di sana: yaitu, mereka yang paling tidak kelihatan dalam sistem sering justru yang paling merawat sistem itu. Mereka tidak tampil di rapat-rapat penting, tidak disebut dalam laporan keberhasilan, tidak difoto untuk media sosial lembaga. Tetapi kehadiran mereka adalah fondasi. Dan, mungkin justru karena tidak dibebani ambisi struktural, mereka lebih dekat dengan bentuk hidup yang otentik. Mereka tidak sibuk membangun citra; justru mereka hadir dalam keheningan yang jujur.
Melihatnya menyapu tangga membuat kita bertanya kembali secara replektif kepada diri sendiri: untuk apa kita bekerja? Apakah hanya untuk mencari sesuap nasi, atau untuk mendapat pengakuan, dan atau untuk memperbesar ego? Apakah setiap presentasi yang kita perjuangkan benar-benar memiliki makna, atau sekadar rutinitas yang dibungkus jargon profesional? Tiba-tiba, gerakannya yang sederhana menjadi semacam kritik terhadap kebisingan palsu yang selama ini mengelilingi kita. Dia, dalam diamnya, sedang menelanjangi semua kepura-puraan yang kita sebut bersama selama ini sebagai “kesibukan”.
Gerak menyapunya mengingatkan kita pada pentingnya hadir secara penuh dalam setiap tindakan. Tanpa sadar, dia sedang mengajarkan mindfulness dalam bentuk paling konkret. Tidak dengan aplikasi atau pelatihan, tapi dengan hidup itu sendiri. Dengan menyatu pada gerakan tangan dan bunyi sapu, ia sepenuhnya ada di sana, dan tidak terpecah oleh notifikasi ponsel atau keinginan memburu pujian. Ada kebijaksanaan yang diam-diam hadir dari tubuh yang bekerja dalam kesadaran penuh.
Tak bisa dipungkiri, sistem sosial kita sering mengabaikan kerja-kerja yang tak kelihatan. Gaji rendah, status sosial yang diremehkan, dan invisibilitas struktural membuat orang-orang seperti mereka seolah tak punya tempat dalam narasi besar. Tapi mungkin justru dari ketidakberadaan itulah mereka bebas. Bebas dari tuntutan pencitraan, bebas dari tekanan performa, dan bebas untuk sekadar menjadi. Mereka adalah titik buta dalam sistem yang menyimpan cahaya eksistensi paling murni.
Saat melangkah melewatinya, dia menatap sejenak dan tersenyum kecil. Sebuah senyum yang bukan dibuat-buat, tidak berusaha ramah secara profesional, tapi tulus seperti daun yang jatuh pada musimnya. Senyum yang tidak meminta balasan. Dalam senyum itu, seolah ia berkata: “saya tahu dunia ini keras, tapi saya tetap di sini, menyapu setiap pagi, menjaga ruang ini tetap bersih, meski tak ada yang berterima kasih”. Dan mungkin, dalam kerja senyap itulah, dia telah menemukan kedamaian yang lebih dalam dari apa yang dicari oleh kebanyakan dari kita.
Di era yang penuh distraksi, melihat seseorang bekerja dengan tenang dan ikhlas adalah peristiwa langka. Kita terlalu sering sibuk mengejar makna di luar, padahal kadang makna itu hadir dalam laku paling sederhana. Menyapu tangga, misalnya. Tidak ada penghargaan besar, tidak ada promosi, tidak ada catatan sejarah. Tapi justru di sana, waktu dipelihara, ruang dirawat, dan dunia dijalankan. Semoga kita mampu menangkap pesan langit yang disampaikan oleh office boy melalui bahasa geraknya. Karena tidak semua kebenaran, kebahagiaan, keberuntungan disampaikan lewat kata. Terkadang dalam sunyi kita menemukan keriuhan kehidupan.
Salam Waras. (R-1)
Recent Comments