Oleh: Syandria Laila Putri
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung
Masalah kecemasan berbicara di depan kelas tampaknya tidak hanya dialami para pelajar, tetapi juga para mahasiswa. Padahal di dunia perkuliahan, tuntutan mahasiswa untuk berbicara di depan umum lebih banyak. Bukan hanya dalam mengungkapkan pendapat dan ide pribadi, melainkan juga melakukan tugas-tugas, seperti presentasi mandiri, presentasi kelompok, seminar, hingga menjadi moderator. Hal ini tentu berkaitan dengan upaya mengasah keterampilan nonteknis (soft skills) komunikasi karena berdasarkan penelitian Parvis (2001), hampir setiap profesi memerlukan keterampilan berbicara di depan umum.
Kecemasan saat berbicara sering kali dikaitkan dengan sikap malu atau dilekatkan dengan kaum introver, individu dengan tipe kepribadian yang dianggap antisosial dan dalam KBBI didefinisikan sebagai orang yang bersifat tertutup. Meskipun demikian, tidak semua introver pemalu, begitu pula kecemasan berbicara di depan kelas yang tidak selalu hanya karena sikap malu.
Sebagai salah satu cara komunikasi, berbicara di depan umum memang menuntut pembicara untuk bisa menguasai panggung, penonton atau pendengar, materi, dan dirinya sendiri. Dari sisi penonton atau pendengar, pembicara dianggap sebagai orang yang lebih tahu sehingga semua pandangan akan tertuju ke pembicara.
Di sisi lain, pandangan itu pula yang membuat pembicara bisa mengalami kecemasan, yakni munculnya perasaan gelisah, tegang, khawatir, dan takut terhadap sesuatu yang belum terjadi. Kecemasan ini pada dasarnya dapat memberikan dampak positif, misalnya menjadi termotivasi; dan dampak negatif, seperti gugup dan tidak dapat berbicara. Namun, yang banyak ditemukan utamanya di ruang kelas ialah kecemasan terlalu tinggi hingga memunculkan dampak negatif.
Menurut McCroskey (1982), kecemasan komunikasi adalah tingkat ketakutan atau kecemasan seseorang yang berkaitan dengan komunikasi nyata dengan orang lain atau dengan orang banyak. Kecemasan ini umumnya muncul disertai dengan gejala lain, seperti gelisah, tidak dapat berkonsentrasi, takut berlebih, gemetar, jantung berdebar-debar, berkeringat, napas tidak teratur, hingga pusing dan mual. Dengan adanya gejala-gejala tersebut, masalah kecemasan berbicara di depan umum tentu tidak bisa lagi dikatakan muncul karena individu pembicara bersikap malu.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Dari sudut pandang psikolinguistik, kecemasan berlebih dapat memperburuk performa saat berbicara, termasuk menurunkan keterampilan mengelola dan menggunakan bahasa. Pada tingkat tinggi, menurunnya keterampilan berbicara akibat tekanan psikologis disebut depresif. Depresif adalah salah satu gangguan berbahasa secara kognitif yang berakar dari gangguan pada proses kognitif seseorang.
Dikutip dari Indah (2017) dalam bukunya Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar, seseorang yang mengalami gangguan bahasa depresif memiliki ciri-ciri kelancaran berbicara yang terputus-putus dan isi kalimat yang negatif, menyedihkan, mencela, hingga menyalahkan diri sendiri. Namun, meski kalimat yang diujarkan menunjukkan tidak adanya gairah hidup, alur berpikir seseorang yang mengalami gangguan berbahasa depresif tetap terarah dan tidak kacau. Artinya, dalam hal ini gangguan proses kognitif yang dimaksud ialah dipenuhi pikiran negatif.
Pada tingkat selanjutnya, kecemasan berbicara yang timbul akibat adanya gangguan lingkungan sosial. Seseorang yang tidak mendapat dukungan atau malah diasingkan oleh lingkungan sosial akan mengalami dua hal; (1) kekurangan input (kosakata) bahasa sehingga kemampuan berbahasanya terbatas atau bahkan (2) sama sekali tidak mendapat input bahasa sehingga tidak mampu berbahasa.
Keterbatasan input bahasa bukan hanya menyulitkan seseorang saat berbicara dan menyampaikan gagasannya, melainkan memunculkan kecemasan yang dapat memperparah keterampilan berbicara. Dalam beberapa kasus, faktor lingkungan sosial ini dikaitkan pula dengan gangguan berbahasa anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama.
Kemudian di tingkat ini, kecemasan berbicara di depan umum dapat terjadi karena adanya kecemasan moral, yakni kecemasan terhadap suara hati. Suara hati dalam hal ini mengacu pada superego individu. Menurut Spilberger (1972) dalam artikelnya yang membahas kecemasan (anxiety), seseorang dengan perkembangan superego yang baik akan merasa bersalah jika berpikir untuk melakukan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moral di lingkungan mereka. Dalam kaitannya dengan berbicara di depan kelas, kecemasan moral dapat muncul karena adanya kekhawatiran mengucapkan sesuatu yang salah, menyalahi teori, dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kecemasan moral umumnya diikuti dengan ketakutan terhadap pandangan orang lain.
Terakhir, rendahnya kepercayaan diri (confident) dan keyakinan diri atau efikasi. Dalam psikologi, efikasi adalah keyakinan terhadap kemampuan diri. Keyakinan diri berkaitan pula dengan kemampuan yang dimiliki pembicara karena ketika seseorang berbicara di depan, semua pandangan akan tertuju pada siapa yang berbicara dan menantikan hal yang akan dibicarakan. ika pembicara tidak memiliki keyakinan diri, maka pengetahuan yang sudah ada di dalam otak dapat buyar, berantakan, dan hilang sehingga tidak mampu berbicara.
Lalu bagaimana cara mengatasinya?
Jika diperhatikan, empat keterampilan berbahasa; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis merupakan bagian dari proses berpikir. Selanjutnya, berpikir berkaitan dengan psikologi manusia. Semua keterampilan berbahasa melibatkan mental individu. Mental tertekan hadir biasanya karena ketidaksiapan diri atau tidak terbiasa dengan situasi sehingga muncul keinginan untuk menghindar.
Di luar faktor-faktor yang telah disebutkan, tidak bisa dipungkiri bahwa berdiri dan berbicara di depan orang banyak merupakan beban berat yang tidak bisa dihindari. Beban menyampaikan sesuatu dengan benar ditambah menjadi pusat perhatian, bagi sebagian orang mungkin bisa dirasakan sebagai penderitaan. Bahkan bagi orang yang benar-benar tertutup, berbicara dengan orang baru pun dapat menghadirkan kecemasan.
Pada dasarnya, masalah kecemasan berbicara di depan umum dapat diatasi melalui latihan. Selain untuk meningkatkan keterampilan berbicara, latihan juga membantu menguatkan dan mengingat pengetahuan atau materi yang akan disampaikan. Latihan dapat dilakukan dengan berdialog sendiri, baik dengan atau tanpa cermin. Jika ingin mendapatkan umpan balik, dapat dilakukan dengan seorang teman atau keluarga.
Namun, hal utama yang tidak boleh dilupakan untuk mengatasi kecemasan ialah kepercayaan dan keyakinan diri. Kepercayaan diri yang baik dan adanya keyakinan diri bahwa dapat melakukan semuanya dengan baik bisa dikatakan sebagai obat ampuh. Mengapa? Karena keduanya akan membawa pikiran positif dan ketenangan. Ketenangan akan membuat seseorang mampu berbicara dengan percaya diri, tegas, dan meyakinkan. Sebaliknya, ketidakpercayaan diri dan keraguan akan membawa pikiran negatif yang menghambat kemampuan berbicara.
Terakhir, tentu saja harus disertai dengan kesiapan pengetahuan yang matang, dengan banyak membaca dan berdiskusi bersama sejawat supaya ada banyak hal yang bisa dibicarakan ketika diminta untuk berbicara. Dengan demikian, perihal kecemasan berbicara di depan kelas tidak lagi dapat dilihat sekadar karena rasa malu, tetapi sebagai cerminan keterampilan berbahasa dan proses berpikir seseorang.

Recent Comments