Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung( – Hampir setiap pekan kita disuguhi berita bagaimana pejabat tinggi negeri ini terusik oleh kerja-kerja Menteri Keuangan. Bahkan salah seorang petinggi perminyakan “mencak-mencak” menggunakan bahasa vulgar yang tidak elok didengar.
Sebelumnya juga ada pejabat senior yang juga mantan atasan Menteri Keuangan, merasa tidak nyaman dengan kelakuan mantan anak buahnya. Demikian juga ada kepala daerah yang terusik, seolah terzalimi oleh kelakuan Sang Menteri; walaupun sesungguhnya dia membuka kebodohannya sendiri.
Tampaknya fenomena sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini memperlihatkan dinamika menarik yang menggugah kesadaran publik. Banyak pejabat publik tiba-tiba “kebakaran jenggot” setelah tindakan tegas dari Menteri Keuangan mengungkapkan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan praktik kecurangan yang selama ini tersembunyi di balik retorika pelayanan publik.
Ungkapan “kebakaran jenggot” di sini bukan sekadar idiom humor, melainkan metafora filosofis tentang bagaimana kekuasaan, moralitas, dan kebenaran saling berkelindan dalam arena politik modern. Fenomena ini dapat dibaca bukan hanya sebagai peristiwa administratif atau hukum, tetapi sebagai cermin eksistensial dari krisis kejujuran dan tanggung jawab yang melekat dalam struktur kekuasaan kontemporer.
Filsafat kontemporer memandang kekuasaan bukan semata sebagai instrumen untuk mengatur masyarakat, melainkan sebagai medan di mana kebenaran dan kepalsuan bertarung secara halus. Dalam konteks ini, tindakan seorang pejabat tinggi yang berani menyingkap penyimpangan dapat dimaknai sebagai peristiwa pembongkaran tabir: suatu momen ketika kebenaran yang selama ini disembunyikan muncul ke permukaan dan memaksa struktur kekuasaan untuk menatap dirinya sendiri.
Ketika pejabat-pejabat lain “kebakaran jenggot”, itu menandakan bukan hanya ketakutan terhadap konsekuensi hukum, tetapi juga kecemasan eksistensial karena topeng moral yang selama ini dipakai mulai terbakar oleh nyala kebenaran.
Fenomena semacam ini mengingatkan bahwa kekuasaan selalu menyimpan paradoks. Ia menjanjikan kemampuan untuk menciptakan keteraturan, tetapi dalam praktiknya sering menjadi sumber kekacauan moral. Di dalam ruang birokrasi, logika efisiensi dan kepatuhan sering kali menggantikan logika tanggung jawab etis. Pejabat yang semestinya menjadi pelayan publik justru terjebak dalam permainan citra, angka, dan laporan yang tampak indah di permukaan.
Filsafat kontemporer melihat ini sebagai bentuk alienasi baru: individu terasing dari makna sejati pekerjaannya karena sistem mendorongnya untuk lebih peduli pada performa administratif ketimbang integritas. Maka, ketika sistem keuangan negara mulai menuntut transparansi dan akuntabilitas secara ketat, rasa terancam itu muncul bukan karena ketidakadilan, melainkan karena realitas mulai menyingkap kepalsuan yang ada selama ini, sudah dianggap wajar.
Kebakaran jenggot para pejabat itu juga dapat dibaca sebagai krisis identitas. Dalam tatanan sosial modern, posisi pejabat bukan hanya jabatan administratif, melainkan simbol status sosial, penghormatan, dan otoritas moral. Ketika simbol itu terguncang, individu di baliknya harus menghadapi kehampaan eksistensial: siapakah dirinya tanpa kekuasaan itu?
Di sinilah muncul ketakutan mendalam yang jauh melampaui urusan hukum atau karier. Ini adalah ketakutan akan kehilangan makna hidup yang dibangun di atas legitimasi palsu. Dalam kacamata filsafat kontemporer, ini adalah momen dekonstruktif, di mana subjek yang selama ini menganggap dirinya pusat kekuasaan justru disadarkan bahwa ia hanyalah bagian dari jaringan relasi yang lebih besar, dan relasi itu kini menuntut kejujuran.
Tindakan tegas dari otoritas keuangan dalam konteks ini dapat dilihat sebagai momen etis yang langka. Ia mengganggu kenyamanan sistem yang sudah terbiasa dengan kompromi dan penyesuaian moral. Dalam pandangan filosofis, tindakan semacam ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga bentuk praksis moral yang menantang tatanan simbolik.
Di tengah budaya birokrasi yang kerap memisahkan etika dari kebijakan, munculnya figur yang menegakkan prinsip dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap nihilisme structural; yaitu keadaan ketika nilai-nilai kehilangan bobot karena semuanya bisa dinegosiasikan.
Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang absolut dan tunggal, melainkan hasil dari pergulatan terus-menerus antara wacana dan kekuasaan. Maka, ketika seorang pejabat berani menyingkap penyimpangan, tindakan itu bukan hanya menyingkap fakta, tetapi juga menantang struktur wacana yang telah mapan. Ia mengganggu keseimbangan semu yang selama ini dijaga oleh kompromi diam-diam antara kekuasaan dan kenyamanan. Reaksi “kebakaran jenggot” menunjukkan bahwa tindakan itu berhasil mengguncang fondasi simbolik yang rapuh.
Namun filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa perubahan sejati tidak cukup hanya dengan menyingkap kesalahan individu. Struktur yang memungkinkan penyimpangan itu harus turut dikritik. Ketika sistem insentif, budaya birokrasi, dan mekanisme pengawasan masih memungkinkan penyalahgunaan, maka tindakan moral seorang pejabat hanya menjadi percikan kecil di tengah hutan kering.
Nyala api itu bisa padam, atau sebaliknya, membakar seluruh sistem hingga hangus. Maka tantangan filosofis bagi masyarakat modern adalah bagaimana menjaga agar api kebenaran tidak berubah menjadi bara destruktif, tetapi menjadi cahaya yang menerangi jalan reformasi berkelanjutan.
Pada akhirnya, kebakaran jenggot para pejabat akibat ulah Menteri Keuangan bukan sekadar kisah politik, melainkan kisah tentang manusia. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat menipu, bagaimana kebenaran dapat membakar, dan bagaimana moralitas dapat lahir kembali dari puing-puing kebohongan. Dalam pandangan filsafat kontemporer, momen seperti ini adalah titik balik; bukan karena sistem telah bersih, tetapi karena kesadaran akan kerapuhan sistem itu mulai muncul. Dari kesadaran inilah perubahan sejati mungkin dimulai.
Api memang menakutkan, tetapi ia juga menerangi. Di tengah kepanikan para pejabat yang terbakar oleh kebenaran, masyarakat seharusnya tidak hanya menyoraki, tetapi belajar. Sebab setiap manusia, dalam skala kecil maupun besar, memiliki potensi untuk terjebak dalam godaan kekuasaan dan kepalsuan.
Kebakaran jenggot para pejabat adalah cermin bagi kita semua; bahwa dalam kehidupan sosial, integritas bukan sekadar slogan, melainkan perjuangan terus-menerus melawan api dalam diri sendiri. Jika bangsa ini ingin maju, maka nyala api kebenaran itu harus dijaga, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keberanian untuk terus menatapnya tanpa berpaling.
Salam Waras (R-1)

Recent Comments