Bahagia Itu Sederhana (Sebuah Refleksi tentang Manusia dan Makna Hidup)

OPINI

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Setengah jam lagi waktu ibadah Jumat akan tiba. Perjalanan menuju masjid dimulai, sengaja dengan berjalan kaki untuk sekaligus olah raga, dan siapa tahu mendapatkan obyek tulisan. Karena sudah dua hari otak terasa buntu, yang membuat tidak satu ide-pun mengalir dilayar laptop. Betul saja, diperjalanan tidak sengaja melihat seorang Bapak Pemulung dengan nyenyaknya tidur di tepi jalan yang ada pohon rindangnya. Berbantal karung tempat hasil rongsokannya, kelihatan nikmat sekali.

Berhenti sejenak memandang wajah beliau, sambil berkata dalam hati “Bahagia itu sederhana”. Takut mengganggu, akhirnya di tinggal dengan harapan kalau nanti pulang beliau sudah terjaga, maka akan ada sedikit sesuatu yang diberikan. Sayang selesai shalat, saat kembali, dan melewati jalan itu; Bapak tadi sudah tidak ada. Sambil melangkah pulang untaian ide bergelanyut di kepala untuk segera menulis dengan judul di atas.

Di dunia yang bergerak cepat ini, kebahagiaan menjadi sesuatu yang terdengar megah, namun terasa jauh. Kita melihatnya di iklan berkejaran dalam media sosial, dan didefinisikan oleh ukuran-ukuran eksternal: rumah besar, mobil mewah, liburan mahal, atau pengakuan publik. Namun, bila kita berhenti sejenak, menarik napas, dan bertanya ke dalam diri, “Benarkah kebahagiaan itu harus serumit itu?” Maka kita mungkin akan menemukan jawaban mengejutkan: bahagia itu sederhana. Seperti yang baru saja dijumpai beberapa saat lalu.

Tentu pernyataan ini bukan sekadar ungkapan klise. Di balik kesederhanaan ternyata terdapat kedalaman makna yang luar biasa, terutama jika kita melihatnya dari kacamata filsafat manusia. Filsafat tidak hanya bicara tentang konsep abstrak atau pertanyaan metafisik, tapi juga soal hidup sehari-hari: tentang bagaimana manusia mencari makna, menjalani eksistensinya, dan menemukan kedamaian batin. Penjelajahan rujukan bacaan mulai dilakukan, baik yang digital maupun konvensional.

Manusia tidak sekadar makhluk biologis yang hidup untuk makan, tidur, dan berkembang biak. Kita memiliki kesadaran, kehendak bebas, dan dorongan eksistensial untuk mencari makna. Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf eksistensialis, menulis dalam bukunya “Man’s Search for Meaning”, bahwa penderitaan manusia bisa ditanggung jika ia menemukan maknanya. Dengan kata lain, kebahagiaan bukanlah soal kenikmatan yang datang dari luar, tapi soal bagaimana kita memaknai hidup itu sendiri.

Sering kali kita terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan akan datang setelah mencapai sesuatu: lulus kuliah, menikah, punya rumah, naik jabatan dan sebagainya yang bersifat duniawi. Namun saat pencapaian itu hadir, kita kerap merasa hampa lagi. Filsafat eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia tidak diberi makna hidup dari luar; kita sendirilah yang menciptakannya. Maka, ketika seseorang memilih untuk menyirami tanamannya setiap pagi dan merasakan ketenangan dari ritual itu, ia sedang menjalani bentuk kebahagiaan yang sangat manusiawi dan itu sederhana.

Salah satu filsafat yang kini kembali populer dalam dunia modern adalah stoisisme, yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Epictetus dan Marcus Aurelius. Dalam ajaran stoik, kebahagiaan sejati bukan terletak pada hal-hal di luar diri kita, tetapi pada bagaimana kita merespons segala sesuatu. Kita tidak bisa mengendalikan cuaca, tindakan orang lain, atau nasib; yang bisa kita kendalikan adalah pikiran dan sikap kita sendiri.

Dari sudut pandang ini, kebahagiaan menjadi sangat personal dan terjangkau. Ia tidak membutuhkan dunia berubah; ia hanya membutuhkan kita untuk memahami apa yang benar-benar penting dan melepaskan kelekatan terhadap hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Coba bayangkan seseorang yang duduk di teras rumahnya, menatap hujan sambil meminum secangkir kopi panasdan sepotong singkong rebus. Di matanya, itu bukan momen biasa. Itu adalah momen hadir penuh, menerima kehidupan sebagaimana adanya, tanpa tergesa atau penolakan. Itulah kebahagiaan yang sederhana dan hasil dari ketenangan batin, bukan gemerlap luar.

Kebahagiaan sederhana terjadi saat kita mampu duduk dengan tenang, mengunyah makanan dengan penuh kesadaran, atau sambil berbincang hangat dengan orang-orang terdekat. Oleh sebab itu Epikurus berkata, “Jika engkau ingin menjadi kaya, kurangi keinginanmu, bukan menambah harta.” Dengan kata lain kita harus menyadari bahwa kehidupan yang sederhana bukanlah pengorbanan, melainkan bentuk kebijaksanaan. Ia membantu kita mengenali apa yang esensial, dan membuang keinginan-keinginan palsu yang justru membebani.

Filsafat juga menunjukkan bahwa manusia bukan makhluk yang terpisah dari orang lain. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial. Kebahagiaan sejati tidak bisa hadir dalam kesendirian total. Ia tumbuh dalam relasi, dalam kasih sayang, dan dalam tindakan baik yang memberi arti. Kesederhanaan terletak pada pilihan untuk hadir dalam relasi, bukan dalam mengejar pengakuan.

Mengapa kebahagiaan sederhana terasa langka di era modern? Karena kita hidup di tengah dunia yang mendorong konsumsi tanpa henti dan kecepatan yang melelahkan. Kita dibombardir iklan yang menyatakan bahwa kita akan bahagia jika memiliki ini dan itu. Media sosial membuat kita merasa “kurang” jika hidup kita tidak semewah influencer. Namun dari sudut pandang filsafat, ini adalah jebakan. Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer, menyebut bahwa kita hidup dalam masyarakat simulacra, yaitu di mana realitas digantikan oleh simbol dan citra. Kebahagiaan bukan lagi soal rasa, tapi tentang bagaimana kita tampak bahagia.

Bahagia itu sederhana, dan bukan karena hidup tidak kompleks, tetapi karena kita memilih untuk tidak memperumitnya. Dalam kacamata filsafat manusia, kebahagiaan bukanlah tujuan di ujung jalan, melainkan cara kita melangkah setiap hari. Manusia memiliki kapasitas untuk merasa cukup, untuk mencintai, untuk hadir dalam kesunyian, dan untuk menemukan makna dalam hal-hal kecil.

Kebahagiaan tidak datang dari luar, tapi dari dalam, serta dari kesadaran, penerimaan, dan tindakan kecil yang lahir dari niat baik. Di dunia yang bising dan penuh distraksi, kesederhanaan adalah oasis. Filsafat mengajarkan bahwa kita tidak perlu menjadi orang lain, tidak perlu memiliki segalanya, tidak perlu menang dalam segala hal. Kita hanya perlu menjadi manusia yang hidup sepenuhnya dalam tiap momen, dan dalam kesadaran itulah kita akan temukan bahwa bahagia memang sederhana. Semua hal di atas diringkaskan dalam ajaran filsafat Islam “Syukuri yang ada karena hidup adalah anugerah…”.
Salam Waras (R-1)