PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) -Sejak 2012 melatih dan mendampingi masyarakat dalam pembuatan gula merah kristal atau gula semut, dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) Ir. Otik Nawansih, M.P., berharap produk gula semut di Provinsi Lampung dapat menembus pasar ekspor.
Menurut Otik, saat ini pasar lokal Lampung gula semut sudah terbentuk yang menyasar kalangan menengah-atas. Produk gula semut mulai meluas di tengah masyarakat modern yang menerapkan gaya hidup sehat dan menjadikan gula merah sebagai pengganti gula putih untuk konsumsi sehari-hari.
Gula semut diklaim lebih sehat dibanding gula putih karena memiliki indeks glikemik lebih rendah yaitu dibawah 40%, sedangkan indeks glikemik gula putih sekitar 70%. Indeks glikemik menunjukkan seberapa cepat makanan berkarbohidrat diproses menjadi glukosa di dalam tubuh.
Semakin tinggi nilai indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat pula karbohidrat dalam makanan tersebut diproses menjadi glukosa sehingga menyebakan gula darah melonjak.
“Gula merah itu memang indek glikemiknya lebih rendah dibanding gula putih, untuk orang-orang seumur saya 50 tahun ke atas yang punya bakat diabet itu lebih aman pakai gula merah,” ujar Otik saat diwawancara di ruang kerjanya, 6 April 2021.
Namun, lanjutnya, penggunaan gula merah cetak kurang praktis dan masa simpannya cukup singkat hanya sekitar 2-8 minggu. Inilah beberapa alasan yang membuat Otik tertarik dengan teknologi pengolahan gula semut yang memiliki masa simpan lebih lama sekitar 8 bulan hingga satu tahun. Disamping itu, gula semut juga lebih praktis digunakan, serta lebih bersih dan higienis.
Pada tahun 2012, Otik mendapat dana Program Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Daerah (IPTEKDA-LIPI) sebesar Rp90 juta. Dia kemudian mencari mitra binaan pengumpul nira di Lampung Timur. Selama satu tahun, Otik melatih dan mendampingi binaannya untuk benar-benar menguasai teknologi pembuatan gula semut. Bahkan, Otik ikut terjun membantu pemasaran gula semut tersebut. Dia ingin Lampung memiliki sentra produksi gula semut dan menjangkau pasar luar negeri.
“Saya terinspirasi dari sentra produksi gula semut di Jawa Tengah, bahkan saat itu sudah ada permintaan ekspor untuk gula semut, jadi saya berpikirnya jangkauan pasar gula semut ini ternyata lebih luas. Saya ingin produsen gula merah di Lampung mengubah mindset pengolahan gula merah jangan hanya cetak saja, tidak berubah-ubah bertahun-tahun, yuk kita coba teknologi pengolahan gula semut,” tutur Otik.

Menurut Otik, pendampingan terhadap mitra binaan berlanjut lagi pada 2015 dengan turunnya dana hibah IPTEKDA-LIPI yang kedua. Otik kembali fokus melakukan pembinaan, bahkan ketika itu Otik sudah mendapat tawaran kerjasama dari koperasi Gunung Madu. Namun, sayangnya, mitra binaannya justru menyerah dan kembali menjadi pengumpul nira.
“Saya langsung rasanya jleb gitu, tidak banyak ditemukan mitra yang benar-benar punya jiwa wirausaha dan punya keinginan keras untuk berubah atau membuat lompatan. Hal ini terlihat jika ada sedikit kendala sudah down dan tidak fight. Akhirnya saya ingin teknologi gula semut itu diketahui orang banyak, baik dari sisi produsennya maupun dari sisi konsumennya. Alhamdulillah sekarang, walaupun kecil-kecil, tapi binaan saya sudah banyak, ada di Pesawaran, di Lampung Selatan, Tanggamus, skala industri rumah tangga, karena kan pasar gula semut ini sudah ada, jadi bagaimana kita menjaga kelanjutan produksinya saja,” ujar Otik.
Pengolahan Gula Semut
Otik menjelaskan, teknologi pembuatan gula semut cukup sederhana. Hampir mirip dengan pembuatan gula merah cetak, tapi memiliki titik kritis di bahan baku yang harus bagus yaitu tidak mengandung banyak kapur dan gula reduksi.
“Kalau kandungan kapurnya banyak, itu nanti gula semutnya keras, atos banget , nah kalau banyak gula reduksi nanti jadinya lengket, kayak gulali gitu, dia tidak mau mengkristal, ini seleksi alami ya, jadi kualitas bahan baku itu kunci utama membuat gula semut,” kata Otik.
Untuk bahan baku awal bisa berupa nira atau bisa juga dengan melebur ulang gula merah cetak. Jika berasa di lokasi perkebunan kelapa sebaiknya menggunakan nira agar tidak terjadi dua kali pemanasan dan kendali mutu lebih mudah dilakukan. Namun, jika berada di kota dan sulit mendapatkan nira, maka dapat menggunakan bahan baku gula merah cetak.
Jika menggunakan nira, lanjut Otik, disarankan menggunakan nira yang bagus, tidak asam. Nira terlebih dahulu direbus dan didiamkan sebentar agak kandungan kapur mengendap. Setelah itu, ambil bagian nira yang jernih baru diuapkan/dipanaskan.
“Titik kritis satu lagi adalah tingkat kematangan gula merah untuk bisa mengkristal. Jadi kita menggunakan spontest untuk melihat tingkat kematangannya. Kita ambil gula merah yang mulai mengental menggunakan sendok, lalu diangkat ke atas dan diteteskan. Jika diteteskan tidak putus, atau saat dimasukkan ke dalam air putih jadi kaku, itu berarti sudah matang, langsung diangkat sambil terus diaduk-aduk,” tuturnya.
Gula didinginkan sambil terus diaduk-aduk sambil ditekan-tekan hingga ke pinggir-pinggir wajan. Proses pengkristalan gula semut akan berlangsung secara bertahap. Gula semut dianggap berhasil jika saat diaduk sambil ditekan-tekan berubah ambyar atau berbentuk granular.

“Kalau sudah dingin, pindahkan gula merah ke nampan besi lalu dijemur dibawah sinar matahari langsung sambil terus diuser-user, lalu biarkan benar-benar kering, kalau panas mataharinya bagus sekitar 2 jam sudah kering,” kata Otik.
Untuk mengetes tingkat kekeringan gula semut dapat dilakukan dengan memasukkan gula semut ke dalam toples, lalu digoyang, jika terdengar suara gemerisik, berarti sudah kering, maka gula semut bisa diayak untuk mendapatkan ukuran yang halus dan seragam. Sementara, ukuran yang besar-besar dapat digerus ulang.
Sementara itu, lanjut Otik, untuk pembuatan gula semut menggunakan gula merah cetak harus diawali dengan pemilihan gula merah cetak yang berkualitas. Caranya, pilihlah gula merah yang tidak lengket atau lonyok, serta ketika dikopel akan ambyar dan ada serpihan putih.
“Kalau salah memilih gula merahnya, gula semut akan lengket kayak gulali, nggak akan jadi,” ujarnya.
Setengah kilo gram gula merah dicampur dengan segelas air untuk mencairkan gula merah. Proses selanjutnya sama dengan pembuatan gula semut dari nira, yaitu penguapan, kristalisasi, pengeringan, dan pengayakan.
Otik menjelaskan, proses penguapan yang dilanjutkan dengan pengeringan menyebabkan kandungan air pada gula semut kecil dari 3% sehingga memiliki daya simpan lebih lama dibading gula merah cetak yang memiliki kadar air mecapai 10%.
Eksperimen Hingga 50 Kali Otik mengaku saat melakukan penelitian pertamakali di tahun 2012, masih sangat sedikit referensi dan literatur tentang gula semut. Selain itu, tidak ada penelitian yang menjelaskan secara detil pembuatan gula semut. Ini menyebakan Otik melakukan eksperimen membuat gula semut hingga lebih dari 50 kali.
“Pertama-tama bikin itu ya sering gagal. Jadi awal-awal itu saya buat sekilo, saat sudah matang ngebyar gitu , wah jadi ini, saya senang, tapi kok setelah lengket-lengket granularnya, cobalah saya jemur sambil saya user-user gitu, nah jadi gula semutnya, lumayan, dapat separuh. Setiap mencoba itu kalau gagal, saya pasti nemu cara, oh ternyata begini, jadi jangan putus asa,” kata Otik.
Bahkan, lanjutnya, dia pernah membuat gula semut dengan cara menggiling dan memblender gula merah sehingga blendernya sampai lengket.

Eksperimen dan pengalaman bertahun-tahun membuat gula semut ini akhirnya mengantarkan Otik menemukan teknik yang tepat dalam membuat gula semut hingga ke jaminan mutu produk.
Otik menjelaskan, untuk rendemen rata-rata gula semut 2% lebih kecil dibandingkan dengan gula merah cetak. Misalnya, dari 100 liter nira dapat menghasilkan 10 kilogram gula merah cetak (10%), maka kalau menjadi gula semut hanya mendapatkan sekitar 8 kilogram (8%).
“Ini disebabkan oleh kadar air gula semut berkurang lebih banyak, belum lagi hasil akhir yang nempel-nempel di wajan atau ada yang menggumpal-gumpal gitu,” kata Otik.
Ini menyebabkan harga gula semut lebih mahal dua kali lipat dibandingkan dengan harga gula merah cetak. Jika di pasaran, harga gula merah cetak Rp20 ribu/kilogram, maka harga gula semut Rp40 ribu/kilogramnya.
Kemasan Kekinian
Kemasan gula semut bisa mengikuti tren masa kini dengan packaging yang bagus dan cantik. Otik menyesuaikan kemasan gula semut dengan sasaran konsumen. Di lokasi wisata, gula semut dikemas menggunakan toples mungil dan dikasih pita sehingga bisa untuk oleh-oleh atau suvenir bagi pengunjung.
Sedangkan, untuk pangsa pasar ibu-ibu rumah tangga cukup dengan kemasan plastik bantal. Jika masuk ke kafe atau hotel bisa berupa kemasan pouch plastik atau kemasan sachet brown sugar.
“Dosen-dosen di Unila sering pesan ke saya dalam bentuk kemasan toples-toples kecil untuk suvenir tamu-tamu dari luar negeri dari Jepang, Amerika, jadi udah kemana-mana itu (gula semutnya) “ ujar Otik.

Saat ini, Otik tengah mengembangkan teknologi pengolahan gula merah cair atau sirup gula merah. Produk sirup gula merah ini nantinya bisa menjadi bahan baku pembuatan kecap, cuka pempek maupun berbagai makanan atau kue.
“Untuk gula merah cair ini baru mau dikembangkahlah ya, yang aman dan tidak rusak tanpa pengawet, kalau orang THP kan tahu sebenarnya konsentrasi gula berapa sih supaya tidak mudah rusak, nah itu kan harus dioptimasi dan dihitung masa simpannya,” tutur Otik.
Sekilas Otik menjelaskan, untuk pembuatan gula merah cair sebenarnya lebih efesien karena tidak perlu dicetak, dan tidak butuh waktu lama karena tidak memerlukan proses pengeringan. Dalam penggunaannya juga lebih praktis, tanpa harus memanaskan ulang gula merah.
“Proses penguapan gula merah cair itu jangan sampai menuju proses kristalisasi, makanya itu sampai konsentrasi berapa yang pas dan berapa lama daya simpannya, itu masih diteliti,” pungkasnya.
Recent Comments