Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWS.ID – Akhir-akhir ini banyak pihak menggunakan istilah “melanggar kepatutan”, atau “tidak patut dilakukan”. Apa sebenarnya makna hakiki dari kepatutan itu. Dari hasil penelusuran mekanik ditemukan arti kepatutan, dari akar kata patut, memberi penekanan pada ajaran yang memberikan pedoman cara berperilaku berhadapan dengan orang lain di luar diri kita. Sedangkan menurut Definisi atau arti kata kepatutan berdasarkan KBBI: patut /pa·tut/ a 1 baik; layak; pantas; senonoh: perbuatan baik.
Lalu bagaimana dengan “Kepantasan”.
Kepantasan berasal dari akar kata pantas yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘sesuai’ atau ‘sepadan’. Penggunaan kata pantas dan turunan informalnya menjadi ‘kepantasan’ (belum ada di dalam KBBI) merujuk pada penilaian seseorang terhadap kondisi atau situasi tertentu, yang dibuat berdasarkan ‘rasa’. Rasa dalam hal ini merujuk pada norma subyektif yang berakar dari nilai-nilai dasar orang tersebut. Oleh karena itu Kepatutan dan Kepantasan seolah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, sebab satu muka menguatkan hakekat muka yang lain.
Kepatutan dan Kepantasan adalah norma yang mengatur perilaku manusia dalam berinteraksi, oleh karena norma maka ukurannya normatif, dan parameternya subyektif; yang digitnya adalah “rasa”. Total akumulasinya adalah keluhuran budi seseorang, yang bermuara kepada keluhuran perilaku hidup yang tercermin sebagai budaya yang bersangkutan.
Ranah transidental di atas jika kita bumikan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya banyak sudah dilakukan oleh para leluhur kita. Sebagai contoh tidak boleh makan dengan piring disangga di depan pintu. Meminjam istilah bahasa Jawa “Ora Ilok” terjemahan bebasnya tidak baik. Ini adalah wujud ketidak patutan yang sederhana. Jika kita teruskembangkan keperilaku lain adalah menyerobot antrian. Secara undang-undang formal itu tidak ada, tetapi perilaku itu adalah tidak patut dan tidak pantas.
Oleh sebab itu sikap seorang anak SLTA di Jawa Timur yang menolak saat ditunjuk menjadi pasukan pengibar bendera, karena dirinya dizalimi kedudukannya di geser orang lain dengan kekuasaan. Sang siswa dengan gagah berani menolak menjadi pasukan pengibar bendera dengan cara menggeser juga status orang lain. siswa ini lebih sopan, lebih patut dan lebih pantas; jika dibandingkan dengan panitia yang tukang geser hak orang lain.
Menjadi miris akhir-akhir ini justru kepatutan dan kepantasan itu sudah sangat tipis pada level pimpinan. Bisa dibayangkan lembaga yang mengurus bencana, dengan teganya mengorupsi “dana susah” guna membiayai dirinya untuk menjadi “dana senang-senang”. Bagaimana tidak patutnya ketua panitia menggantikan petugas Paskibraka hanya karena yang bersangkutan anak rakyat jelata, dan digantikan anak petinggi; tentu saja dengan dalih pembenaran yang dirasionalkan. Bagaimana seorang pimpinan lembaga menggeser peserta urutan ujian karena ingin memenuhi syahwat berkuasa. Jika peristiwa itu kita telisik di media sosial betapa banyaknya kita mengalami gagal paham akan penerapan kepatutan dan kepantasan dalam berperilaku.
Persoalan etika dan norma yang mengemuka saat ini menunjukkan ada kekosongan pendidikan budi pekerti dalam proses pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di tengah masyarakat. Sehingga keberlakuan akan penghormatan dan penghargaan lebih berorientasi pada kebendaan dan kepentingan individu atau kelompok. Keselarasan hidup atau harmoni sudah bukan menjadi tujuan, akan tetapi lebih kepada transaksional, baik real maupun simbolik.
Krisis keteladanan tampaknya ada di mana-mana sendi kehidupan bangsa; yang muda tidak menghormati yang tua, yang tua tidak tahu memposisikan dirinya, akhirnya tata nilai yang ada menjadi remuk, sementara yang baru sebagai pengganti, belum ada bahkan mungkin tidak ada. Semoga ini menjadikan penyadaran bagi kita semua, jika kondisi ini kita terus-teruskan, maka tidak dapat dipungkiri jika suatu saat masyarakat kita akan mengalami “gagal budaya”. (R-1)
Recent Comments