Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Seperti biasa, Jum’at itu mendatangi masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at. Kebetulan komplek perumahan tidak jauh ada masjid yang cukup asri. Namun Jum’at itu ada yang tidak biasa karena saat khotib memberikan khotbah beliau menyinggung tetang “Kesholehan Digital”, dan yang menarik lagi khotibnya generasi milenial yang sehari-hari memang bergelut pada dunia digital. Tentu tidak mungkin meng-copy paste isi khotbah tersebut, disamping tidak etis, juga halaman yang tersedia tidak cukup. Satu hal menarik topik itu jika kita bahas dari sudut pandang filsafat manusia.
Di era digital yang berkembang pesat, peradaban manusia mengalami pergeseran mendasar dalam cara berkomunikasi, bekerja, berpikir, bahkan dalam menjalani kehidupan spiritual. Kehadiran media sosial, kecerdasan buatan, dan algoritma telah membentuk lanskap budaya baru yaitu “budaya digital”. Konsep ini menjadi menantang sebab kesholehan digital tidak hanya berbicara tentang bagaimana kita bertindak secara etis di dunia maya, melainkan lebih dalam dari itu, karena kita mulai mempertanyakan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam interaksi digital yang serba cepat, tidak berwajah, dan terkadang tanpa tanggung jawab.
Berdasarkan referensi digital dan referensi konvensional ditemukan informasi bahwa; dari sudut pandang filsafat manusia, kesholehan digital dapat dimaknai sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai manusiawi dalam konteks kehidupan digital. Tulisan ini mencoba menjelajahi konsep tersebut dengan mengaitkannya pada pemikiran beberapa filsuf besar mengenai hakikat manusia, moralitas, teknologi, dan kebebasan.
Filsafat manusia menempatkan manusia sebagai makhluk yang unik. Ia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang memiliki kesadaran diri, rasionalitas, dan kebebasan moral. Dalam pemikiran Immanuel Kant, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar alat. Hal ini menegaskan pentingnya memperlakukan manusia dengan hormat dan bermartabat, termasuk dalam konteks digital.
Namun dalam kenyataan digital, seringkali prinsip ini dilanggar. Ketika seseorang menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin, melakukan doxing, atau menyebarkan fitnah, ia sedang mereduksi manusia lain menjadi alat hiburan atau pelampiasan emosi. Kesholehan digital, dalam konteks ini, adalah kesadaran untuk tetap memperlakukan orang lain sebagai subjek moral, bukan objek algoritma.
Plato dalam bukunya “The Republic” menekankan pentingnya pendidikan jiwa agar manusia mampu membedakan mana yang benar dan salah, bukan hanya mengikuti dorongan nafsu atau opini mayoritas. Dunia digital yang dipenuhi banjir informasi, hoaks, dan clickbait bisa membuat manusia terperangkap dalam doxa (pendapat) alih-alih mencapai episteme (pengetahuan).
Kesalehan digital mengharuskan adanya disiplin rasional dan kontrol diri, dua hal yang justru sering luntur karena sifat impulsif dunia maya.
Sementara Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”. Kebebasan bukan sekadar hak, tetapi juga beban. Artinya, setiap tindakan manusia adalah pilihan yang mencerminkan tanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap dunia. Dalam dunia digital, kebebasan pengguna untuk memproduksi dan menyebarkan informasi sangat besar. Namun kebebasan ini sering kali dijalankan tanpa kesadaran akan konsekuensi moral. Komentar jahat, meme provokatif, atau penyebaran konten negatif sering dilakukan dengan alasan “kebebasan berekspresi”. Di sinilah urgensi kesholehan digital muncul: “sebagai kesadaran akan kebebasan yang bertanggung jawab”.
Sartre juga menekankan bahwa eksistensi mendahului esensi. Dalam konteks ini, jejak digital kita adalah bagian dari eksistensi kita yang tak terhapuskan. Tindakan online bukanlah sesuatu yang ‘tidak nyata’, melainkan bagian dari identitas eksistensial kita. Maka, kesalehan digital adalah bentuk kesadaran bahwa kehidupan digital bukanlah ruang yang terpisah dari moralitas manusia, melainkan perlu menjadi bagian dari upaya membentuk diri yang autentik.
Pendapat Martin Heidegger dalam esainya “The Question Concerning Technology” melihat bahwa teknologi bukanlah sekadar alat netral, melainkan suatu cara dunia menampakkan diri kepada manusia. Teknologi modern, kata Heidegger, cenderung mengubah segala sesuatu menjadi “standing-reserve” yaitu, cadangan yang siap dimanfaatkan kapan saja. Bahkan manusia sendiri, dalam sistem digital, bisa dilihat sebagai data, metrik, atau objek analitik. Di sinilah letak bahaya dehumanisasi digital. Ketika manusia dinilai berdasarkan jumlah followers, engagement, atau traffic, ia kehilangan kedalamannya sebagai makhluk yang bermakna.
Kesalehan digital adalah upaya sadar untuk melawan reduksi seperti ini; dengan memperlakukan sesama bukan sebagai konten, melainkan sebagai sesama manusia yang memiliki eksistensi dan martabat.
Heidegger juga menyarankan agar kita mencari cara hidup yang lebih otentik, yaitu dengan mengalami dunia bukan sebagai objek penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang mengungkapkan makna. Maka, interaksi digital seharusnya menjadi sarana untuk memperluas pemahaman, menjalin empati, dan memperkaya kehidupan spiritual, bukan sekadar memenuhi hasrat narsistik atau konsumtif.
Beda lagi Aristoteles; beliau mengajarkan bahwa kebajikan (virtue) adalah kunci kehidupan yang baik (eudaimonia). Kebajikan tidak hadir secara otomatis, melainkan dibentuk melalui kebiasaan dan pendidikan moral. Jika dalam kehidupan nyata kita membentuk karakter melalui interaksi sosial, maka dalam dunia digital, karakter kita terbentuk dari cara kita berkomentar, membagikan, atau memilih untuk diam.
Kesalehan digital adalah manifestasi dari kebajikan digital yang dibentuk secara sadar dan berkelanjutan. Ini termasuk: kebijaksanaan dalam membedakan informasi yang layak dibagikan, keadilan dalam memberikan kredit pada karya orang lain, keberanian dalam melawan ujaran kebencian, dan pengendalian diri untuk tidak terpancing oleh konflik maya. Menjadi saleh secara digital bukan berarti menjadi sempurna, melainkan memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri dalam interaksi digital. Ini adalah praktik kebajikan kontemporer yang menuntut disiplin dan refleksi, sebagaimana yang diajarkan Aristoteles dalam “Nicomachean Ethics”.
Dunia digital sering kali menuntut kecepatan, reaksi instan, dan kehadiran konstan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai spiritual seperti kontemplasi, keheningan, dan kesadaran diri mudah tergerus. Padahal, dalam banyak tradisi filsafat dan spiritualitas, termasuk dalam Islam, keheningan adalah ruang di mana manusia mendekati kebenaran dan kedamaian batin.
Kesalehan digital dapat dipahami sebagai perpanjangan dari kehidupan spiritual ke dalam dunia maya. Ia bukan hanya tentang tidak menyebarkan keburukan, tetapi juga menghadirkan kebaikan, ketenangan, dan harapan di ruang digital. Misalnya, dengan membagikan konten yang edukatif, menenangkan, atau menyemangati, seseorang sedang menjalankan laku spiritual yang berdampak pada kesejahteraan batin orang lain.
Filsafat mengajak manusia untuk bertanya secara mendalam, merenung secara jujur, dan bertindak secara sadar. Tanpa kesadaran filosofis, dunia digital bisa menjebak manusia dalam pola hidup yang mekanis, reaksioner, dan terasing dari jati dirinya. Kesalehan digital menjadi praksis filsafat manusia yang nyata untuk selalu menghidupkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, dan tanggung jawab dalam kehidupan digital sehari-hari.
Menjadi saleh secara digital berarti tetap menjadi manusia walaupun di tengah algoritma, di balik layar, dan dalam setiap klik yang kita buat. Dunia mungkin berubah, tetapi nilai kemanusiaan tetap harus dijaga, termasuk dalam bentuknya yang paling baru yang bernama ”digital”.
Salam Waras (R-2)
Recent Comments