• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Wednesday, September 10, 2025
  • Login
Portallnews.id
Advertisement
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
No Result
View All Result
Home Headline

Ketika Kata Menjadi Luka

OPINI

by portall news
September 9, 2025
in Headline
Luka Kolektif Sang Guru

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

108
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) -Pelantikan seorang pejabat tinggi di bidang keuangan negara adalah momen yang mengandung beban simbolik cukup besar. Di sanalah harapan kolektif digantungkan, seakan-akan sosok baru ini bukan hanya datang membawa kebijakan, tetapi juga membawa wajah baru bagi sistem ekonomi yang selama ini dirasa jauh dan tak terjangkau. Namun ketika pada momen pertama kehadirannya ke publik ia menyampaikan sebuah pernyataan yang mereduksi keresahan rakyat menjadi sekadar “reaksi emosional minoritas” yang akan reda seiring dengan pertumbuhan ekonomi, maka simbol yang semestinya mengandung harapan justru menjadi sumber luka. Yang hadir bukan kebaruan, melainkan pengulangan: bahwa kekuasaan masih saja berbicara dengan jarak, masih saja mendefinisikan realitas dari menara statistik.

Filsafat kontemporer telah berulang kali memperingatkan bahwa bahasa bukanlah sekadar sarana komunikasi, melainkan instrumen pembentukan dunia. Di dalam kata-kata, kekuasaan membangun realitas; dan bisa jadi, setiap kata menjadi dasar tindakan. Maka ketika seorang pejabat publik berbicara, ia tidak sedang menyampaikan pendapat personal, tetapi ia sedang menyusun lanskap makna tempat rakyat akan hidup di dalamnya. Kata-kata yang keluar dari mulut seorang pejabat keuangan bukan sekadar refleksi pemikiran pribadi, melainkan sebuah performa simbolik yang mengukuhkan atau merusak legitimasi.

Baca Juga

“Be One Ride”: Komunitas Motor Bersatu Promosikan Lampung dan Solidaritas Sosial

Festival Forsgi U-10 & U-12 2025 Dorong Bibit Sepak Bola Lampung

Mahasiswa NU Lampung Diharapkan Jadi Pelopor Inovasi dan Pengabdian untuk Pembangunan

Ketika rakyat merasa harga-harga tidak terjangkau, ketika ketimpangan sosial tampak semakin telanjang, suara mereka adalah bentuk paling otentik dari eksistensi keberadaannya: mereka hadir, mereka menuntut, mereka menyuarakan ketidakadilan. Dan ketika suara ini dijawab dengan penjelasan teknokratis bahwa semua akan baik-baik saja nanti, bahwa pertumbuhan akan menenangkan gejolak, maka pada saat itu pula eksistensi rakyat didegradasi menjadi gangguan statistik. Mereka yang lapar, cemas, dan frustasi tidak lagi diposisikan sebagai manusia dengan pengalaman otentik, tetapi sebagai data yang harus dikelola.

Pendekatan ini sangat mencerminkan logika positivistik yang mendominasi cara berpikir kekuasaan modern. Dalam logika tersebut, hanya yang terukur yang dianggap sahih. Maka yang tidak bisa diukur: seperti rasa sakit sosial, penghinaan simbolik, dan rasa ditinggalkan; dianggap sebagai gangguan yang harus diredam, bukan didengarkan. Di sinilah ironi paling tajam dari kekuasaan kontemporer: ia berbicara tentang rakyat, tetapi tidak mendengar apa kata rakyat; ia berbicara atas nama keadilan sosial, tetapi meragukan legitimasi rasa sakit rakyat.

Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa direduksi menjadi fungsi. Ia bukan alat dari kebijakan ekonomi, bukan entitas pasif yang menunggu bantuan pemerintah. Ia adalah subjek yang hidup, berpikir, dan merasakan. Maka ketika seorang pejabat publik meremehkan perasaan publik, ia sedang menyatakan bahwa emosi kolektif rakyat tidak punya nilai epistemik; bahwa marah dan kecewa bukan bagian dari pengetahuan, melainkan hambatan yang harus dilampaui. Ini adalah bentuk pelecehan epistemik, di mana satu pihak merasa berhak mendefinisikan mana yang rasional dan mana yang emosional. Dan biasanya, yang emosional adalah rakyat miskin, sementara yang rasional adalah para penguasa.

Namun sesungguhnya, yang mereka sebut sebagai “reaksi emosional” itu adalah bentuk paling jujur dari komunikasi model rakyat. Rakyat tidak memiliki akses ke statistik, tidak paham bahasa pasar obligasi, tidak punya tempat dalam negosiasi IMF. Yang mereka miliki hanyalah pengalaman sehari-hari: harga beras naik, biaya sekolah melonjak, lapangan kerja menyempit. Maka kemarahan mereka bukan gangguan, tetapi narasi yang valid. Dan ketika narasi ini disangkal atau dikecilkan, maka rakyat bukan hanya dibuat tidak relevan, justru mereka dihapus.

Bahasa kekuasaan, dalam konteks ini, menjadi kekerasan simbolik. Ia mengatur siapa yang boleh berbicara, siapa yang layak didengar, dan mana yang hanya layak diabaikan. Ketika seorang pejabat mengatakan bahwa rakyat akan diam setelah ekonomi membaik, ia bukan hanya menyampaikan harapan, tetapi sedang menanamkan premis bahwa penderitaan hari ini sah demi masa depan yang belum tentu tiba. Di sinilah lahir kejahatan metafisika kekuasaan: penderitaan hari ini dianggap wajar, karena janji kesejahteraan telah dicanangkan di esok hari. Padahal, yang menderita hari ini tidak hidup di masa depan. Mereka hidup sekarang, mereka berhak untuk mendapatkan sekarang. Dan, mereka berhak untuk bersuara sekarang.

Filsafat kontemporer; khususnya yang mencermati relasi antara kekuasaan, bahasa, dan tubuh, melihat bahwa kekuasaan tidak lagi hadir dalam bentuk represi fisik, tetapi dalam bentuk pengaturan diskursif. Kekuasaan tidak perlu melarang rakyat berbicara; cukup dengan menciptakan wacana yang membuat suara rakyat tidak terdengar, atau terdengar sebagai keluhan tidak rasional. Maka bahasa pejabat publik bukan hanya soal gaya atau kecakapan komunikasi, tetapi tentang siapa yang dimungkinkan untuk eksis dalam ruang wacana.

Pernyataan yang merendahkan jeritan rakyat bukanlah insiden kecil. Ia adalah penanda ideologi yang lebih dalam: ideologi di mana rakyat diposisikan sebagai objek pembangunan, bukan subjek keadilan. Dalam ideologi ini, ekonomi menjadi berhala baru, dan rakyat hanya layak dihormati jika mereka produktif, patuh, dan tidak cerewet. Maka ketika mereka bersuara, kekuasaan menjawab bukan dengan empati, tetapi dengan perhitungan. Keseimbangan fiskal lebih penting daripada keseimbangan perasaan. Padahal, negara tidak dibangun di atas neraca. Ia dibangun di atas rasa saling percaya. Dan tidak ada kepercayaan tanpa penghormatan terhadap luka.

Ketika rakyat merasa kecewa, terluka, atau marah atas pernyataan pejabat, sesungguhnya mereka sedang menuntut satu hal: pengakuan. Bukan sekadar pengakuan bahwa mereka ada, tetapi pengakuan bahwa mereka berarti. Bahwa suara mereka bukan sekadar gangguan, tetapi ekspresi autentik dari warga negara. Maka tugas pertama seorang pemimpin, sebelum berbicara tentang solusi, adalah mendengarkan.

Mendengarkan bukan untuk menjawab, tetapi untuk mengakui dan memahami. Dalam konteks itu, seorang pejabat publik tidak boleh hanya menjadi perumus kebijakan, tetapi juga pembawa empati. Ia tidak boleh hanya menjadi manajer sistem, tetapi juga pelayan rasa. Dan dalam masyarakat yang luka, bahasa harus menjadi jembatan, bukan palu godam.

Dalam peradaban yang sehat, pemimpin pertama-tama adalah pendengar. Sebab, hanya dengan mendengar, ia bisa mengerti, dan hanya dengan mengerti, ia bisa merawat. Oleh sebab itu, pejabat keuangan yang baru, alih-alih segera bicara tentang bagaimana ekonomi akan menyembuhkan segalanya, seharusnya bertanya lebih dulu: “Apa yang kau rasa hari ini?” Bukan karena pertanyaan itu akan membuat angka berubah, tetapi karena ia akan membuat manusia merasa dilihat. Karena dalam negara yang demokratis, tidak ada hal yang lebih penting daripada rakyat merasa dilihat. Bukan karena mereka bagian dari statistik, tetapi karena mereka adalah alasan mengapa negara ada.
Salam Waras (R-2)

Previous Post

“Be One Ride”: Komunitas Motor Bersatu Promosikan Lampung dan Solidaritas Sosial

No Result
View All Result

Recent Posts

  • Ketika Kata Menjadi Luka
  • “Be One Ride”: Komunitas Motor Bersatu Promosikan Lampung dan Solidaritas Sosial
  • Festival Forsgi U-10 & U-12 2025 Dorong Bibit Sepak Bola Lampung
  • Mahasiswa NU Lampung Diharapkan Jadi Pelopor Inovasi dan Pengabdian untuk Pembangunan
  • Luka Kolektif Sang Guru

Recent Comments

  • portall news on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
  • Icha on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
Portallnews.id

© 2020 Portallnews.id

PORTALLNEWS.ID hadir ke tengah masyarakat memberikan sajian berita yang berkualitas dan berimbang.

  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi

© 2020 Portallnews.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist