Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Hampir disetiap senja daerah ini selalu mendapatkan limpahan rahmat berupa hujan, walaupun terkadang rintik, namun tidak jarang juga deras, sehingga berakibat banjir dibeberapa ruas jalan masuk komplek. Seperti biasa senja itu hujan juga datang, ternyata benar yang dikatakan ajaran agama “hujan adalah rahmat”; karena pada saat itu kita dapat dengan bebas membaca tanpa harus berucap, melihat kemudian meresapi fenomena alam yang ada. Sedang asyik mengikuti jalannya pikiran yang menelisik fenomena alam yang sedang terjadi dengan memandang titik air hujan, tiba-tiba ada pesan masuk dari sahabat karib seorang jurnalis senior; maka diskusi virtual berlangsung; dan jadilah judul di atas mewakili suasana kebatinan kami berdua saat itu.
Makna filosofis dari “membaca tanpa kata” bisa ditafsirkan dalam beberapa lapisan makna yang dalam dan reflektif. Frasa ini mengandung nuansa kontemplatif yang membuka ruang tafsir lebih luas dari sekadar aktivitas membaca secara literal. Berdasarkan literatur digital ditemukan informasi beberapa makna filosofis yang bisa dimunculkan:
Pertama. Membaca dengan Hati, Bukan Hanya Mata
Artinya, kita menangkap makna, pesan, atau suasana dari sesuatu tanpa harus ada kata-kata tertulis atau terucap. Misalnya, membaca ekspresi wajah seseorang, suasana alam, atau getaran perasaan—itu semua adalah “teks” yang tak tertulis tapi bisa “dibaca” oleh jiwa yang peka. Oleh karena itu dalam konsep filsafat manusia ada diksi yang terkenal bertulis “kadang, diam lebih lantang daripada kata.” Jadi tidak salah jika banyak ulama menganjurkan untuk banyak diam mengingat Allah dari pada bicara tidak berguna.
Kedua. Pemahaman Mendalam Melampaui Bahasa
Bahasa kata itu terbatas. Tapi realitas, pengalaman, dan makna hidup seringkali tak bisa sepenuhnya dijelaskan dengan kata-kata. Oleh karena itu “membaca tanpa kata” adalah menyentuh makna dengan kesadaran langsung, tanpa harus melalui perantara simbol bahasa. Oleh karena itu filsuf terkenal pada zamannya berkata “dimana pencerahan datang bukan dari logika verbal, tapi dari keheningan batin”. Dalam istilah Jawa posisi ini sering disebut dengan “mesu budi”.
Ketiga. Belajar dari Alam dan Kehidupan
Alam semesta, kejadian sehari-hari, bahkan keheningan, semuanya menyampaikan pelajaran. “membaca tanpa kata” di sini bisa berarti belajar dari alam, merenungi hidup, atau menyimak hikmah dari segala sesuatu tanpa harus dijelaskan secara eksplisit. Oleh karena itu “pohon tidak berbicara, tapi ia mengajarkan keteguhan.”
Keempat. Intuisi dan Kebijaksanaan Batin
Kadang, kita tahu sesuatu bukan karena kita membacanya dalam buku, tapi karena intuisi dan pengalaman batin. Itu adalah bentuk “membaca tanpa kata” – sejenis pemahaman yang datang dari kesadaran terdalam. Kalau dihubungkan dengan konteks budaya Jawa atau filosofi Nusantara, ini bisa sejalan dengan konsep seperti rasa, hening, atau ilmu tanpa tutur. Ada kebijaksanaan yang hanya bisa dipahami dalam keheningan dan perasaan halus. Oleh karena itu tidak salah dalam tataran tertinggi dari aras pendidikan itu adalah pendidikan kontemplatif.
Filosofi pendidikan kontemplatif dalam konteks “membaca tanpa kata” merupakan ajakan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk logika dan kata-kata, lalu masuk ke ruang hening tempat makna sejati berbicara dalam diam. Filosofi ini punya akar dalam banyak tradisi spiritual dan budaya, secara lebih runtut dpat dijelaskan:
1. Pengetahuan Sejati Tidak Selalu Berbentuk Kata
“Kata hanya bungkus, makna tinggal dalam rasa.” Filosofi ini berpijak pada gagasan bahwa ada pengetahuan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dihayati. Pendidikan kontemplatif mengajak kita untuk mengalami langsung kebenaran melalui pengamatan batin, keheningan, dan intuisi, bukan sekadar membaca atau mendengar penjelasan.
2. Diam Adalah Gerbang Pemahaman
“Hening bukan hampa, tapi penuh jawaban.” Dalam keheningan, pikiran tak lagi bercabang, dan hati menjadi lebih peka. Melalui diam, menyimak, dan hadir sepenuhnya, seseorang bisa menangkap pesan-pesan halus dari dunia, manusia lain, atau semesta. Oleh sebab itu pendidikan kontemplatif menempatkan hening sebagai metode, bukan sekadar suasana. Ini adalah cara belajar yang tidak terburu-buru mengejar jawaban, tapi menunggu hingga makna menyatakan dirinya sendiri.
3. Kesadaran Adalah Guru Sejati
“Pendidikan kontemplatif tidak memberi ilmu, tapi membangkitkan kesadaran.” Filosofi ini tidak menekankan pada pemindahan pengetahuan, melainkan pada penyalaan cahaya batin. Guru bukan pusat segala tahu, tapi pendamping laku. Murid tidak pasif menerima, tapi aktif menyimak dunia dengan mata batin.
4. Membaca Rasa, Isyarat, dan Tanda
“Tidak semua yang penting terucap; tidak semua yang benar tertulis.” Membaca tanpa kata berarti belajar menangkap makna dari isyarat, rasa, atau peristiwa. Ini adalah pendidikan tentang membaca kehidupan sebagai teks yang tak tertulis. Sebagai contoh menangkap maksud di balik diamnya seseorang, atau memahami pesan dalam alam yang berubah.
5. Pendidikan Sebagai Jalan Spiritual, Bukan Sekadar Proses Akademik
“Belajar adalah ibadah batin menuju pulang ke dalam.” Pendidikan kontemplatif menyatukan pikiran, rasa, dan jiwa. Ia bukan sekadar mendidik agar “tahu” atau “cerdas”, tetapi agar bijak dan sadar. Pendidikan ini membawa kita lebih dekat ke jati diri dan ketenangan dalam memahami hidup.
Oleh sebab itu, prinsip kunci Filosofi Pendidikan Kontemplatif adalah: “Rasa lebih utama daripada logika – Diam lebih penuh daripada kata – pengalaman lebih dalam daripada teori – Kehadiran lebih penting daripada hafalan – Transformasi batin lebih utama daripada nilai angka”. Pertanyaan tersisa apakah lembaga pendidikan kita, terutama pada jenjang doktoral sudah mencapai tingkat ini. Jawabannya ada pada relung hati kita masing-masing, terutama para doktor dan calon doktor yang sedang bergiat.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments