Penulis: Dewi Nugraheni, pendidik dan simpatisan Partai Demokrat, tinggal di Ponorogo, Jawa Timur
PORTALLNEWS.ID – Baru-baru ini viral sebuah video obrolan dua kader Partai Demokrat. Kedua kader tersebut awalnya ngobrol tentang asal mereka, lalu berlanjut tentang dukungan kepada calon presiden pilihan di 2024.
Sosok pria yang lebih muda yang awalnya bertanya. Lalu ditimpali jawaban kader yang lebih senior bahwa pilihannya adalah Anies Baswedan.
Sosok muda yang bertanya kemudian juga menyatakan bahwa dirinya mendukung Anies Baswedan.
Viralnya video tersebut lantas ditanggapi Wakil Sekjen Partai Demokrat Jansen Sitindaon melalui akun Instagramnya yang mengklarifikasi akan memberikan sanksi kepada kedua kader tersebut.
Namun, reaksi netizen ternyata lebih banyak yang membela kedua kader tersebut.
Komentar dari @herumuliadi misalnya menganggap Partai Demokrat tidak sesuai dengan namanya, karena tidak demokratis dan tidak bisa menghargai perbedaan pendapat.
Sedangkan @manfaf7270 mengaku pendukung Demokrat, tapi untuk pilihan presiden tetap Anies Baswedan.
Suara pendukung Demokrat yang akan tetap memilih Anies ini cukup banyak. Terlihat dari komentar-komentar balasan di akun Instagram Jansen.
Fenemona ini tentu saja terbilang menarik, karena Partai Demokrat sendiri sudah menyatakan diri berpindah ke Koalisi Indonesia Maju yang dinahkodai Prabowo.
Namun, pendukungnya banyak yang menyatakan dukungan kepada Anies Baswedan.
Bila ditelaah lebih dalam, hal ini sebenarnya bukan hal yang mengagetkan.
Suara akar rumput Demokrat, kemungkinan besar memang banyak yang akan diberikan kepada Anies Baswedan.
Mengapa? Sebab, sosok Anies yang memang paling pas dengan branding yang selama ini dibangun oleh Partai Demokrat.
Selama pemerintahan Jokowi, khususnya di periode kedua, Partai Demokrat memosisikan diri sebagai partai oposisi.
Bahkan Ketua Umum Partai Agus Harimurti Yudhoyono kerap melontarkan kritik kepada pemerintah Jokowi.
Isu-isu mulai dari harga pokok mahal, harga BBM mahal, dan kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat sering dilontarkan AHY.
Itulah sikap yang selama ini dipahami oleh kader dan juga pendukung partai.
Oleh karena itu, saat Demokrat menyatakan mundur dari Koalisi Perubahan, langkah tersebut terasa ambigu.
Partai Demokrat yang secara masif dan sistematis sering mengkritik pemerintah Jokowi dan menyuarakan perubahan, justru bergabung dengan koalisi Prabowo.
Padahal, Prabowo adalah sosok paling anti-perubahan. Hampir tak ada gagasan baru darinya. Suara yang disampaikan Prabowo hanya meneruskan program Jokowi.
Jadi terasa ganjil sebenarnya langkah yang dipilih Demokrat.
Keluarnya Demokrat dari Partai Perubahan sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, bahwa petinggi partai ini ngambek, karena mereka tidak mendapat jatah kursi wakil presiden.
Mirisnya, di koalisi baru, AHY pun tidak akan mendapat jatah wapres. Ibarat anak sedang bermain, mereka ngambek lalu cari teman yang lain.
Padahal di kelompok pertemanan baru ini, mereka juga tidak terlalu dianggap.
Langkah Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan, karena ego tidak mendapat jatah wakil presiden, sebenarnya hanya akan merugikan mereka sendiri.
Di saat elitnya memilih keluar dari koalisi yang mengusung Anies Baswedan, suara akar rumputnya masih banyak yang menjadi pendukung Anies Baswedan.
Risiko yang mungkin terjadi, Partai Demokrat akan ditinggalkan oleh para simpatisan mereka yang memang mendukung perubahan dan perbaikan di negeri ini.
Bila selama bertahun-tahun Partai Demokrat berteriak-teriak mengkritik Jokowi dan menyuarakan perubahan, lalu tiba-tiba bergabung kepada sosok yang paling anti-perubahan, pada pendukung yang kritis tentu saja akan mengerenyitkan dahi. Setelah itu, tentu saja mereka akan pergi.
Jadi, kita lihat nanti setelah pemilihan legislatif.
Bila suara Partai Demokrat turun, berarti simpatisannya lebih memilih meninggalkan partai ini untuk terus melanjutkan perubahan bersama Anies Baswedan. (R-1)
Recent Comments