
Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Bilung atau mBilung adalah tokoh penting tak penting di pewayangan Jawa. Dia menjadi orang dekat para tokoh dari golongan antagonis. Tokoh ini benar-benar murni rekaan di pewayangan Jawa yang sepertinya sengaja dibikin untuk menggambarkan karakter dan tabiat segolongan manusia jika dihadapkan dengan pamrih, kepentingan, dan iming-iming kenyamanan. Tabiat abadi manusia; dari masa purba hingga kapan pun juga.
mBilung adalah sahabat karib Togog, pamong tokoh antagonis. Dalam penceritaan awalnya, dua kakak beradik bernama Togog dan Semar mendapat tugas khusus sebagai pamong. Sang adik, Semar, bertugas menjadi pamong para ksatria atau tokoh protagonis. Sedangkan Togog menjadi pamong tokoh antagonis dari sabrang. Togog lalu merekrut sahabat karibnya bernama mBilung untuk menjadi temannya.
mBilung ini benar-benar berasal dari sabrang sehingga tidak ada ikatan batin apapun dengan nasib penceritaan. Di sinilah mBilung menemukan perannya. Dia menjadi seolah tak penting karena hanya seorang asisten pamong. Namun bisa menjadi penting karena berperan sebagai pemegang desain opini dari tindakan-tindakan tuannya.
Perkembangan lanjut pada masyarakat Jawa pada umumnya kata Mbilung tidak hanya dilabelkan pada person atau pelaku, tetapi bisa juga sebagai kata ganti perilaku yang tidak sesuai dengan norma pada umumnya. Hal ini lebih-lebih dilekatkan kepada mereka yang berada pada posisi oner.
Kita tinggalkan Mbilung dalam pakeliran wayang, menjadi pertanyaan apakah mbilung-mbilung lainnya ada pada alam nyata. Ternyata tokoh mbilung tidak ada, tetap saja ada pada wilayah imaginative; namun mereka yang berkelakuan mbilung banyak berkeliaran dalam relung kehidupan ini. Tidak ada wilayah kehidupan yang bebas dari perilaku mbilung; bahkan tidak ada profesi yang lepas dari perilaku mbilung, apalagi dengan perkembangan teknologi sekarang. Mereka yang tidak mbilung-pun, bisa membilungkan diri, agar mendapatkan manfaat dari sesuatu, sebagai misal dengan teknik framing yang sejatinya baik bisa jadi di-jelek-kan, atau sebaliknya yang sejatinya jelek tetapi di-baik-kan.
Musim arus politik seperti sekarang ini, banyak sekali mbilung berkeliaran di mana-mana dengan teknik di atas. Teknik pembilungan dilakukan dari cara yang paling halus sampai yang paling kasar, dan dilakukan dari orang pandai yang bergelar Guru Besar, bahkan Jenderal sampai mereka yang biasa-biasa saja. Namun yang lebih mbilung lagi adalah memanfaatkan situasi yang sedang fokus ke sesuatu, lalu menggunakan kesempatan itu untuk kepentingan lain. Sebagai misal banyak orang sedang sibuk dengan pencalonan jabatan tertentu; ada oknum lain memanfatkan situasi agar lepas dari perhatian, melakukan sesuatu yang lainnya di luar nalar.
Contoh pada situasi seperti ini kewaspadaan kita terhadap pengedaran narkoba, kejahatan jalanan, termasuk penanganan korupsi; tampaknya sedikit terabaikan. Sehingga sampai-sampai ada pembelokkan maksud dari hukuman akan kejahatan narkoba, dibelokkan kearah menjadi pahlawan pemberantas narkoba. Jelas melakukan penyimpangan anggaran, dibelokkan kearah kesalahan administrasi, dan masih banyak lagi. Karena persoalan itu tidak sebesar peristiwa Pemilihan Presiden, menjadi semua kita abai akan hal seperti itu. Akhirnya.
Tampaknya kita harus waspada akan kelakuan para mbilung-mbilung seperti ini; jangan sampai kewaspadaan kita akan keselamatan negeri ini terkecoh oleh kelakuan mereka. Sebab siapapun pemimpinnya negeri ini, tugas pokoknya adalah mensejahterakan rakyat; walaupun berkaca dari pengalaman: setelah duduk mereka lupa akan janji seolah terserang vertigo mendadak.
Kita yang “waras” harus waspada akan kelakuan pembilungan para petualang yang sering membalikkan fakta. Tidak perduli siapa mereka, karena bisa jadi yang menegakkan hukum adalah mereka orang pertama merobohkan hukum, tukang tangkap justru pihak pertama yang menerima hasil tangkapan, pemimpin yang selama ini kita anggap jujur ternyata dipenghujungnya balik kanan.
Pertanyaan terakhir, apakah Mbilung itu masih diperlukan ?..Kalau pertanyaan ini ditujukan kepada Pak Dalang akan menjawab…”perlu”…sebab wayang satu peti itu kalau tidak ada Mbilungnya akan kurang lengkap; hanya menjadi kacau jika wayang satu peti isinya Mbilung semua, lalu bagaimana mau memainkannya ?….Jawabannya saya serahkan kepada pembaca.
Recent Comments