PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) -Yayasan Al Kautsar kembali menggelar Pengajian Al Kautsar Lampung (Kalam) pada Sabtu, 27 September 2025. Tema kajian kali ini tentang fikih teknologi dengan subtema hukum produk dan aktivitas ekonomi berbasis digital, seperti e-commerce, e-wallet, judi online dan pinjaman online.
Panitia mengundang Dr. H. Abdul Aziz, SH., M.Pd.I. selaku Dewan Pengawas Syari’ah, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI untuk menyampaikan materi seputar hukum produk-produk ekonomi digital. Kajian rutin bulanan ini diikuti oleh semua guru dan karyawan Al Kautsar.
Dalam pemaparannya, Ustadz Abdul Aziz menyampaikan, di dalam ilmu fiqih, untuk menghukumi sesuatu ada dua syarat yang harus dipenuhi, yakni fahmul waqi’ (memahami realitas), dan fahmun nusus (memahami teks/nash).
“Dua ini harus terpenuhi, baru kita bisa menghukumi apakah sesuatu itu hukumnya halal, haram atau remang-remang,” ujarnya.
Menurutnya, realitas yang akan dibahas adalah e-commerce, perdagangan digital, market place, online shop, transaksi online, e-wallet, judi online dan pinjaman online. Sedangkan, cabang fiqihnya menggunakan fiqih teknologi. Suatu produk teknologi dihukumi halal atau haram tergantung digunakan untuk apa dan apa tujuan penggunaannya.
“Misal Bapak-Ibu bisa ilmu coding. Jika itu digunakan untuk membantu Yayasan Al kautsar, mensyiarkan Al Kautsar, itu pahalanya besar, tapi kalau digunakan untuk menjebol Bank Himbara misalnya dicolong uang yang ada di situ, jadinya haram. Jadi, niat, tujuan, dan motif penggunaan teknologi itu untuk apa? Ini penjelasan fiqih teknologi secara sederhana,” kata Abdul Aziz.
Dia mengatakan, teknologi masuk dalam mualamah atau ibadah ghairu mahdhah. Hukum muamalah itu pada dasarnya mubah (boleh), sampai ada dalil yang mengharamkannya.
“Contohnya, terong itu halal apa haram? dalilnya ada nggak? nggak ada! Lalu, kenapa terong halal? karena tidak dilarang. Makanya yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadist yang dilarang saja, seperti khinzir (babi), jadi yang tidak ada larangannya di situ, halal semua,” jelasnya.
Jenis-Jenis Akad Dalam Transaksi
Fiqih muamalah yang membahas tentang masalah ekonomi disebut dengan Fiqih Muamalah Maliyah. Dalam Muamalah Maliyah ada akad (perjanjian/komitmen), dan ada transaksi (realisasi dari akad).
Akad terdiri dari akad tabarru’ (berorientasi kebaikan, tolong menolong, tidak mengambil keuntungan), serta akad mu’awadhah dan tijarah yang punya orientasi keuntungan.
Dia mencontohkan, jika ada seseorang yang meminjam uang karena kebutuhan pokok untuk makan, ini masuk dalam qardhul hasan (peninjam hanya diwajibkan mengembalikan jumlah pokok pinjaman tanpa tambahan bunga atau imbalan lain), sehingga akadnya adalah akad tabarru’, tidak boleh ada kelebihan di situ, jika ada kelebihan hukumnya riba.
Namun, jika ada seseorang yang meminjam uang untuk membeli mobil baru, bukan untuk kebutuhan pokok, maka akadnya mu’awadhah, boleh mengambil keuntungan dari transaksi tersebut. Misalnya, harga mobil Rp350 juta, dan orang yang meminjamkan uang ingin mengambil keuntungan sebesar Rp20 juta karena pembayaran hutang dilakukan dengan cara menyicil selama tiga tahun, maka itu dibolehkan.
“Lalu, bagaimana dengan e-commerse yang akad dan transaksinya dilakukan secara online? Pasarnya berupa pasar online di platform digital atau berupa online shop, pembayarannya menggunakan e-wallet atau dompet digital. Sekarang kita lihat apa potensi halal-haram yang ada di situ?” ujar Abdul Aziz.
Dia menyampaikan beberapa rukun jual-beli, seperti ada penjual dan pembeli yang bertransaksi, ada barang atau jasa yang diperjualbelikan, ada harga dan alat pembayaran, serta ada akad. Sementara, pada jual-beli online penjual dan pedagang tidak saling bertemu, pembeli hanya melihat foto dan video barang yang akan dibeli.
“Yang dilarang dalam agama adalah ketidakpastian dan penipuan. Oleh karena itu, perhatikan apakah market place itu ada izin dan legalitas atau tidak. Kalau tidak ada izinnya, jangan bertransaksi di situ, haram hukumnya,” kata Abdul Aziz.
Dia mencontohkan salah satu produk ekonomi digital yang disepakati oleh para ulama haram adalah Kripto dan produk turunan seperti Bitcoin, karena gharar (ketidakpastian) yang tinggi. Produk ini tidak memiliki legal standing yang jelas, tidak memiliki perusahaan induk yang jelas, dan tidak memiliki penangungjawab/owner yang jelas.
“Perusahaan induknya aja nggak jelas sampai sekarang, berizin dimana? pendirinya siapa, itu tidak jelas semua. Makanya, Kripto ini unsur ketidakpastiannya tinggi, ulama memasukkannya haram,” tutur Abdul Aziz.
Selain itu, dalam jual-beli online, pembeli juga punya hak khiyar, yaitu hak untuk mengecek atau melihat dulu barang tersebut sebelum dibayar, kalau tidak sesuai bisa dibatalkan.
“Makanya ada sistem COD, Ibu bisa mengecek dulu barang yang mau dibeli, apakah sesuai dengan foto yang ditampilka di toko onlinenya atau tidak. Kalau (dalam aktivitas ekonomi digital tersebut) tidak ada hak khiyar itu, haram hukumnya,” tutur Abdul Aziz.
Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua Yayasan Al Kautsar, Wagiso berpesan kepada seluruh guru dan karyawan yang hadir di pengajian untuk meluruskan niat meraih ridho Allah dan untuk meningkatkan keilmuan agama agat lebih baik dalam beribadah.
“Mari kita luruskan niat kita bahwa kita hadir ke pengajian untuk mendapatkan ridho Allah, menambah keilmuan kita supaya lebih baik ibadah kita dan lebih dekat kepada Allah,” ujarnya. (R-1)
Recent Comments