Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWS (Bandar Lampung) – Seorang dosen senior bahkan kandidat profesor, mengeluhkan bagaimana mahasiswanya tidak mampu membedakan apa itu efektif, dan apa itu efisien. Menurut ukuran beliau yang asli piyantun Ngayojokarto Hadiningrat; mahasiswa seperti kurang piknik ilmiah alias kurang baca buku ilmiah. Ukuran beliau topik ini adalah pembelajaran di tingkat Sekolah Lanjutan Atas, itupun untuk kelas dua zaman beliau sekolah.
Sebelum melebar maka kita beri batasan terlebih dahulu apa itu efektif dan apa pula efisien. Dalam keterangan hasil penelusuran diperoleh bahwa suatu pekerjaan dapat dikatakan efektif jika tujuan yang ditetapkan sebelumnya berhasil untuk dicapai. Menurut KBBI, kata efisien adalah melakukan pekerjaan dengan tepat dan mampu menjalankan tugas dengan cermat, dan berdaya guna.
Oleh karena itu maka konsep efisiensi dan efektivitas mempunyai pengertian yang berbeda. Efisiensi lebih menitik- beratkan pada pencapaian hasil yang besar dengan pengorbanan yang sekecil mungkin. Sedangkan pengertian efektif lebih terarah pada tujuan yang dicapai tanpa mementingkan pengorbanan yang dikeluarkan.
Dengan kata lain, pengertian efektif adalah cara mencapai suatu tujuan dengan pemilihan cara yang benar dari beberapa alternatif, kemudian mengimplimentasikan pekerjaan dengan tepat dan waktu yang cepat. Pengertian efisien adalah cara untuk mencapai suatu tujuan dengan penggunaan sumber daya yang minimal, tetapi hasil maksimal .
Pada tataran konsep keduanya sering rancu dalam pemakaian, apalagi saat diimplementasikan, tampaknya menjadi lebih kacau karena pemahaman akan konsep memang menjadi begitu lemah. Hal ini bisa dibuktikan keserakahan yang begitu masif, bisa selamat hanya karena dibungkus oleh kata efektif dan efisien.
Kebijakkan yang absurd bisa berjalan mulus hanya dengan bungkus ke dua kata tadi. Lebih gila lagi atas nama kedua kata tadi digunakan untuk menghalalkan perilaku menyimpang yang telah atau akan dilakukan.
Kedua, konsep ini sekarang menyusup kesemua sendi kehidupan, termasuk kehidupan bernegara, dan atau berpolitik. Bisa dibayangkan atas nama efektif dan efisien anggaran bisa dipotong sedemikian rupa agar tampak rasional. Akan tetapi bisa juga sebaliknya, biaya makan minum pejabat dan perjalanan dinas bisa diperbesar juga berdalih atas dasar efektif dan efisien. Alasannya, jika pejabat makan di luar, maka jam istirahat tidak terkontrol, jadi harus makan di kantor. Perjalanan dinas diperbesar karena jika tidak dilakukan monitoring dan evaluasi secara terus menerus maka kualitas produk tidak tercapai. “Semua bisa di atur” meminjam istilah Wakil Presiden almarhum Adam Malik dulu di era Soeharto.
Pada akhirnya efisiensi dan efektivitas itu tergantung terhadap “permainan mata” yang mengatur dengan yang diatur. Karena bahasa-bahasa sandi dalam penganggaran, perencanaan, evaluasi, monitoring dan masih banyak lagi. Semua kita mengetahui itu betul adanya. Berapa kali lembaga anti rasuah menemukan sandi-sandi ini dan diungkap dalam persidangan, yang mengakibatkan seseorang bisa duduk sebagai pesakitan. Atau juga dengan sandi-sandi ini bisa membebaskan orang dari tuntutan hukum dari perilaku yang diperbuatnya. Karena sandi itu ranahnya ontologis, maka begitu masuk wilayah tujuan dan kegunaan, menjadi sangat tergantung pada yang menggunakan dan untuk apa digunakan.
Efektif dan efisienpun ternyata tempat perlindungan ampuh bagi penyimpangan yang direncanakan. Sebagai contoh pejabat yang akan melakukan somasi belum tentu itu merupakan itikad baik, bisa jadi merupakan jalan untuk bernegosiasi sehingga dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai “bocor halus”. Hal seperti ini tampak cantik dari luar, tetapi sebenarnya busuk di dalam.
Sekali lagi, ternyata efektif dan efisien adalah cipta kondisi untuk sesuatu hal, yang belum tentu maknanya sesuai dengan seharusnya. Bisa jadi dua kata tadi adalah pembungkus paling baik untuk sesuatu yang tidak baik, sehingga tampaknya baik. Dengan kata lain pembenaran dari sesuatu yang tidak benar, agar menjadi tampaknya benar.
Dalam dunia perpolitikan praktis hal ini sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu hal ini pula yang sekaligus membenarkan tesis bahwa dalam perpolitikan tidak ada teman abadi, tetapi yang ada adalah kepentingan yang terus mengabadi. (R-1)
Recent Comments