PORTALLNEWS.ID – Pengacara Afrika Selatan, Adila Hassim SC memaparkan tentang tindakan empat tindakan genosida Israel di Gaza yang melanggar Pasal 2 Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Fakta yang diikuti bukti-bukti tersebut disampaikan Adila Hassim pada sidang di Internation Court of Justice (ICJ), Kamis (11/1/2024), di Den Haag, Belanda.
Adila Hassim menyatakan, tindakan genosida Israel melanggar Pasal 2(a); 2(b); 2(c); dan 2(d) Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, yaitu membunuh warga Palestina di Gaza; menyebabkan kerugian mental dan fisik yang serius terhadap warga Palestina di Gaza; sengaja menimbulkan kondisi kehidupan suatu kelompok yang diperkirakan akan mengakibatkan kehancuran fisik seluruhnya atau sebagian; serta melakukan kekerasan reproduksi terhadap perempuan dan anak-anak perempuan.
Di awal pemaparannya, Adila Hassim terlebih dulu menunjukkan pola perilaku sistematis Israel yang dapat disimpulkan sebagai genosida. Menurutnya, Gaza merupakan salah satu dari dua wilayah konstituen wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel sejak 1967. Jalur ini merupakan jalur sempit, dengan luas sekitar 365 kilometer persegi. Dia menampilkan peta Gaza di depan persidangan.
Israel terus melakukan kontrol atas wilayah udara, perairan teritorial, penyeberangan darat, air, listrik, elektromagnetik dan infrastruktur sipil di Gaza, serta fungsi-fungsi utama pemerintahan. Masuk dan keluar melalui udara dan laut ke Gaza dilarang karena Israel hanya mengoperasikan dua titik penyeberangan. Gaza, yang merupakan salah satu tempat terpadat di dunia adalah rumah bagi sekitar 2,3 juta warga Palestina, hampir setengah dari mereka adalah anak-anak.
“Selama 96 hari terakhir, Israel telah menjadikan Gaza sebagai sasaran serangan yang digambarkan sebagai salah satu kampanye pengeboman konvensional terberat dalam sejarah peperangan modern. Warga Palestina di Gaza dibunuh oleh persenjataan dan bom Israel dari udara, darat dan laut,” kata Adila Hassim dilansir dari siaran live youtube CNN Indonesia berjudul LIVE! Mahkamah Internasional Gelar Sidang Genosida Israel di Gaza.
Rakyat Palestina juga berada dalam risiko kematian akibat kelaparan, dehidrasi, dan penyakit akibat pengepungan, penghancuran kota-kota, kurangnya bantuan, dan kesulitan pendistribusian bantuan terbatas tersebut karena Israel terus melakukan pengeboman.
Menurutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Pengadilan dalam kasus Gambia di Myanmar, Pengadilan tidak perlu mengambil keputusan akhir mengenai pertanyaan apakah tindakan Israel merupakan genosida. Yang perlu dilakukan hanyalah menentukan “Apakah, setidaknya beberapa tindakan yang dituduhkan, mampu memenuhi ketentuan Konvensi Genosida”.
“Ketika menganalisa tindakan-tindakan genosida yang spesifik dan sedang berlangsung, jelas bahwa setidaknya sebagian atau seluruh tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam ketentuan-ketentuan Konvensi,” tegas Adila Hassim.
Dia mengatakan, tindakan-tindakan genosida Israel di Gaza didokumentasikan secara rinci dalam permohonan Afrika Selatan dan dikonfirmasi oleh sumber-sumber yang dapat diandalkan, seringkali dari PBB.
“Kami akan mengilustrasikan fakta-fakta yang kami andalkan dengan penggunaan materi audio visual yang terbatas. Kami melakukannya dengan menahan diri dan hanya jika diperlukan, dan selalu menghormati rakyat Palestina,” tuturnya.
Berikut uraian Adila Hassim terkait tindakan Israel yang melanggar Pasal 2(a); 2(b); 2(c); dan 2(d) Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida :
Pasal 2(a): Membunuh warga Palestina di Gaza
Tindakan genosida pertama yang dilakukan Israel adalah pembunuhan massal terhadap warga Palestina di Gaza yang melanggar Pasal 2(a) Konvensi Genosida.
Seperti yang dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB lima minggu lalu, tingkat pembunuhan yang dilakukan Israel begitu luas sehingga “tidak ada tempat yang aman di Gaza”. Hari ini, 23.210 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan Israel dalam serangan berkelanjutan selama tiga bulan terakhir, setidaknya 70 persen di antaranya perempuan dan anak-anak. Sekitar 7.000 warga Palestina masih hilang, diperkirakan tewas di bawah reruntuhan.
Warga Palestina di Gaza menjadi sasaran pemboman tanpa henti ke mana pun mereka pergi. Mereka dibunuh di rumah mereka sendiri, di tempat mencari perlindungan, di rumah sakit, di sekolah, di masjid, di gereja, dan ketika mereka mencoba mencari makanan dan air untuk keluarga mereka. Mereka dibunuh jika gagal mengungsi, di tempat mereka melarikan diri, dan bahkan ketika mereka berusaha melarikan diri melalui “rute aman” yang dinyatakan Israel.
“Tingkat pembunuhan begitu luas sehingga mereka yang jenazahnya ditemukan dikuburkan di kuburan massal, seringkali tidak teridentifikasi,” kata Adila Hassim sambil menampilkan foto-foto kuburan massal di Gaza.
Dalam tiga minggu pertama setelah tanggal 7 Oktober, Israel mengerahkan 6.000 bom per minggu. Setidaknya 200 kali, mereka telah mengerahkan bom seberat dua ribu pon di wilayah selatan Palestina yang dianggap “aman”. Bom-bom ini juga telah menghancurkan wilayah Utara, termasuk kamp-kamp pengungsian. Bom seberat dua ribu pon adalah salah satu bom terbesar dan paling merusak yang pernah ada. Bom tersebut dijatuhkan dari jet tempur mematikan yang digunakan untuk menyerang sasaran di darat.
“Israel telah membunuh warga sipil dalam jumlah yang “tak tertandingi dan belum pernah terjadi sebelumnya”, padahal mereka tahu betul berapa banyak nyawa warga sipil yang akan direnggut oleh setiap bom,” kata Adila Hassim.
Dia menyampaikan, lebih dari 1.800 keluarga Palestina di Gaza telah kehilangan banyak anggota keluarga, dan ratusan keluarga multigenerasi telah musnah, dan tidak ada lagi yang selamat; ibu, ayah, anak, saudara kandung, kakek-nenek, bibi, sepupu – seringkali semua terbunuh secara bersamaan.
Pembunuhan ini tidak lain adalah kehancuran kehidupan warga Palestina yang dilakukan secara sengaja. Tidak ada seorang pun yang selamat, bahkan bayi yang baru lahir. Skala pembunuhan anak-anak Palestina di Gaza sedemikian rupa sehingga para pemimpin PBB menggambarkannya sebagai “kuburan bagi anak-anak”. Kehancuran yang telah dilakukan Israel di Gaza tidak bisa dibenarkan oleh hukum apa pun, apalagi kemanusiaan.
Pasal 2(b): menyebabkan kerugian mental dan fisik yang serius terhadap warga Palestina di Gaza
Tindakan genosida kedua yang diidentifikasi dalam permohonan Afrika Selatan adalah tindakan Israel yang menyebabkan penderitaan serius baik fisik maupun mental terhadap warga Palestina di Gaza yang melanggar Pasal II(b) Konvensi Genosida.
Serangan Israel telah menyebabkan hampir 60.000 warga Palestina terluka dan cacat – mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini terjadi ketika sistem layanan kesehatan sudah runtuh.
“Sejumlah besar warga sipil Palestina termasuk anak-anak ditangkap, ditutup matanya, dipaksa membuka pakaian dan dimasukkan ke dalam truk, dibawa ke lokasi yang tidak diketahui. Penderitaan rakyat Palestina, baik fisik maupun mental, tidak bisa dipungkiri,” kata Adila Hassim.
Pasal 2(c) : Sengaja menimbulkan kondisi kehidupan suatu kelompok yang diperkirakan akan mengakibatkan kehancuran fisik seluruhnya atau sebagian
Tindakan genosida ketiga yang dilakukan Israel melanggar Pasal 2(c): Israel dengan sengaja menerapkan kondisi di Gaza yang tidak dapat menopang kehidupan akibat kehancuran fisik yang terjadi di Gaza.
Israel mencapai hal ini setidaknya melalui empat cara:
Pertama, dengan perpindahan. Israel telah memaksa sekitar 85% warga Palestina mengungsi di Gaza. Tidak ada tempat yang aman bagi mereka untuk mengungsi, mereka yang tidak dapat pergi atau menolak untuk mengungsi telah terbunuh atau berisiko sangat besar dibunuh di rumah mereka. Banyak warga Palestina yang terpaksa mengungsi beberapa kali, terpaksa pindah berulang kali untuk mencari keselamatan.
Perintah evakuasi pertama Israel pada tanggal 13 Oktober mengharuskan evakuasi lebih dari 1 juta orang, termasuk anak-anak, orang lanjut usia, orang yang terluka dan orang yang lemah; seluruh rumah sakit, bahkan bayi baru lahir dalam perawatan intensif. Perintah tersebut mengharuskan mereka untuk mengevakuasi diri dari wilayah Utara ke Selatan dalam waktu 24 jam.
“Perintah itu sendiri bersifat genosida. Hal ini memerlukan pergerakan segera, hanya membawa apa yang bisa dibawa, sementara tidak ada bantuan kemanusiaan yang diizinkan dan bahan bakar, air, makanan, dan kebutuhan hidup lainnya sengaja dihentikan. Hal ini jelas-jelas diperhitungkan untuk menyebabkan kehancuran penduduk,” ujar Adila Hassim.
Bagi banyak warga Palestina, evakuasi paksa dari rumah mereka merupakan hal yang permanen. Israel telah merusak dan menghancurkan sekitar 355.000 rumah warga Palestina yang menyebabkan setidaknya setengah juta warga Palestina tidak memiliki rumah untuk kembali.
Menurut Adila Hassim, Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia Pengungsi Internal menjelaskan bahwa rumah-rumah dan infrastruktur “telah rata dengan tanah, sehingga menggagalkan prospek realistis bagi pengungsi Gaza untuk kembali ke rumah mereka, mengulangi sejarah panjang pengungsian massal warga Palestina yang dilakukan oleh Israel”.
Tidak ada indikasi sama sekali bahwa Israel menerima tanggung jawab untuk membangun kembali apa yang telah mereka hancurkan. Sebaliknya, kehancuran tersebut justru dirayakan oleh tentara Israel dengan memfilmkan diri mereka yang gembira meledakkan seluruh blok apartemen dan pusat kota Palestina; mendirikan bendera Israel di atas puing-puing bangunan, berupaya untuk membangun kembali permukiman Israel di atas puing-puing rumah warga Palestina untuk memadamkan fondasi kehidupan warga Palestina di Gaza.
Kedua, bersamaan dengan pemindahan paksa, Israel melakukan yang disengaja dan diperhitungkan untuk menyebabkan kelaparan, dan dehidrasi yang meluas. Kampanye Israel telah mendorong warga Gaza ke ambang kelaparan. “93% penduduk Gaza yang belum pernah terjadi sebelumnya menghadapi tingkat krisis kelaparan”. Dari seluruh penduduk dunia yang saat ini menderita kelaparan parah, lebih dari 80 persennya berada di Gaza.
“Situasinya yang sedemikian rupa, sehingga para ahli kini memperkirakan bahwa akan lebih banyak warga Palestina di Gaza yang meninggal karena kelaparan dan penyakit dibandingkan serangan udara. Namun, Israel terus menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan yang efektif kepada warga Palestina. Tidak hanya menolak memberikan bantuan yang cukup, tetapi juga menghapuskan bantuan yang diperlukan, dan menghalangi upaya pendistribusikan dengan melakukan pengeboman terus-menerus,” kata Adila Hassim.
Dia mencontohkan peristiwan tiga hari lalu, tepatnya pada tanggal 8 Januari, rencana misi badan-badan PBB untuk mengirimkan pasokan medis yang mendesak dan bahan bakar ke rumah sakit dan pusat medis ditolak oleh otoritas Israel. Hal ini menandai penolakan misi yang kelima sejak 26 Desember, menyebabkan lima rumah sakit di Gaza Utara tidak memiliki akses terhadap pasokan dan peralatan medis yang dapat menyelamatkan jiwa. Truk bantuan yang diperbolehkan masuk disita oleh warga Palestina yang kelaparan karena apa yang diberikan tidak cukup.
Ketiga, Israel dengan sengaja menciptakan kondisi yang membuat warga Palestina di Gaza tidak mendapatkan tempat tinggal, pakaian, dan sanitasi yang layak. Selama berminggu-minggu, terjadi kekurangan pakaian, selimut, dan barang-barang penting non-makanan. Air bersih habis, menyisakan jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk minum, membersihkan, dan memasak dengan aman.
Oleh karena itu, WHO telah menyatakan bahwa Gaza “mengalami peningkatan tingkat wabah penyakit menular”. Kasus diare pada anak di bawah usia lima tahun telah meningkat 2000% sejak permusuhan dimulai. Jika digabungkan dan tidak ditangani, malnutrisi dan penyakit akan menciptakan siklus yang mematikan.
Keempat, militer Israel menyerang semua sistem layanan kesehatan Gaza, yang menjadikan kehidupan tidak berkelanjutan. Bahkan pada tanggal 7 Desember, Pelapor Khusus PBB Mengenai Hak Atas Kesehatan mencatat bahwa “infrastruktur layanan kesehatan di Jalur Gaza telah sepenuhnya dilenyapkan.”
Mereka yang terluka oleh Israel di Gaza tidak mendapatkan perawatan medis yang dapat menyelamatkan jiwa mereka, sistem layanan kesehatan di Gaza yang sudah lumpuh karena blokade selama bertahun-tahun dan serangan Israel sebelumnya, tidak mampu mengatasi besarnya jumlah korban yang terluka.
Pasal 2(d) – kekerasan reproduksi pada perempuan dan anak perempuan
Terakhir, Pelapor Khusus PBB Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan, telah menyebutkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Israel yang termasuk dalam kategori keempat tindakan genosida, dalam Pasal 2(d) Konvensi.
Pada tanggal 22 November ia secara tegas memperingatkan bahwa: “kekerasan reproduksi yang dilakukan oleh Israel terhadap perempuan, bayi baru lahir, bayi, dan anak-anak Palestina dapat dikualifikasikan sebagai tindakan genosida berdasarkan Pasal 2 (Konvensi Genosida), termasuk ‘menerapkan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok.”
Israel memblokir pengiriman bantuan yang menyelamatkan nyawa, termasuk peralatan medis penting untuk melahirkan, dalam situasi di mana diperkirakan 180 perempuan melahirkan di Gaza setiap harinya. Dari 180 wanita tersebut, WHO memperingatkan bahwa 15% kemungkinan besar mengalami komplikasi terkait kehamilan atau kelahiran dan memerlukan perawatan medis tambahan. Perawatan itu tidak tersedia.
Pola perilaku menunjukkan niat
Singkatnya, semua tindakan ini, baik secara individu maupun kolektif, membentuk pola perilaku Israel yang telah diperhitungkan, yang mengindikasikan adanya niat genosida. Niat ini terlihat jelas dari perilaku Israel dalam:
– khusus menargetkan warga Palestina yang tinggal di Gaza.
– menggunakan persenjataan yang menyebabkan kehancuran besar-besaran dan membunuh warga sipil;
– Israel menetapkan zona aman bagi warga Palestina untuk mencari perlindungan dan kemudian mengebom zona tersebut;
– merampas kebutuhan dasar warga Palestina di Gaza – makanan, air, layanan kesehatan, bahan bakar, sanitasi dan komunikasi;
– menghancurkan infrastruktur sosial: rumah, sekolah, masjid, gereja, rumah sakit, dan
– membunuh, melukai parah, serta menyebabkan banyak anak menjadi yatim piatu.
Dalam kasus Gambia Myanmar, Pengadilan ini tidak segan-segan menjatuhkan tindakan sementara sehubungan dengan tuduhan bahwa Myanmar melakukan tindakan genosida terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Fakta-fakta yang ada di hadapan Pengadilan saat ini, sayangnya, bahkan lebih nyata lagi, dan seperti kasus Gambia di Myanmar, mereka berhak dan menuntut intervensi Pengadilan ini.
“Setiap hari terjadi peningkatan jumlah korban jiwa, harta benda, martabat dan kemanusiaan yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi rakyat Palestina. Umpan berita kami menunjukkan gambaran nyata penderitaan yang tak tertahankan untuk ditonton. Tidak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini, kecuali Perintah dari Pengadilan ini. Tanpa adanya indikasi tindakan sementara, kekejaman akan terus berlanjut; dengan Angkatan Pertahanan Israel mengindikasikan bahwa mereka bermaksud melakukan tindakan ini setidaknya selama satu tahun,” ungkap Adila Hassim.
Sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal pada tanggal 5 Januari 2024: “ Menurut Anda, memasukkan bantuan ke Gaza itu mudah? Pikirkan lagi. Pemeriksaan tiga lapis bahkan sebelum truk bisa masuk. Kebingungan dan antrian panjang. Daftar barang yang ditolak semakin bertambah. Titik penyeberangan diperuntukkan bagi pejalan kaki, bukan truk. Titik persimpangan lain di mana truk-truk dihadang oleh masyarakat yang putus asa dan kelaparan. Sektor komersial hancur. Pengeboman terus-menerus. Komunikasi yang buruk. Jalan rusak. Konvoi ditembaki. Penundaan di pos pemeriksaan. Populasi yang mengalami trauma dan kelelahan berdesakan di sebidang tanah yang semakin kecil. Tempat penampungan yang sudah lama melebihi kapasitas penuhnya. Pekerja bantuan sendiri mengungsi dan dibunuh. Ini adalah situasi yang mustahil bagi masyarakat Gaza, dan bagi mereka yang berusaha membantu mereka. Pertempuran harus dihentikan.” (R-1)