Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) -Sepenggal dialog imajiner gaya “wong Plembang” saya pakai untuk membuka tulisan ini. Tidak ada interes tertentu menggunakan jalur etnik ini, hanya kebetulan saya lahir hingga remaja di tanah Sriwijaya sehingga sangat akrab dengan kultur maupun gaya bahasanya. Di luar itu, karena kisah ini lebih mengarah untuk lucu-lucuan saja, meskipun tetap memiliki makna. Yakni, dialog seseorang yang baru mendapat jabatan dengan tim suksesnya.
Dialognya begini:
Pejabat : “Apo lagilah kiro-kiro program yang pacak segera dilaksanake..dan populer..biar wong senang galo?”. (apa lagi kira kira program yang bisa segera dilaksanakan dan popular biar orang senang semua).
Tim Sukses: “Gratis ke bae wong tu makan apo bae di toko kito, asal jangan bawak balik”. (gratiskan saja semua orang untuk makan di toko (rumah makan) kita, asal jangan di bawa pulang).
Akhirnya toko gratisan itu dibuka. Dia berpikir, seberapa banyak rakyatnya untuk makan gratis, dia masih mampu meladeni. Dia juga berasumsi, seberapa kuat seorang makan pasti tak lebih dari dua piring. Pikir dia, lebih dari itu, pasti muntah. Program makan gratis itu berjalan. Rumah makan itu seketika penuh sesak, bahkan berjubel. Pejabat itu senang dan bangga karena program ini berhasil menyedot perhatian, bahkan diliput wartawan.
Namun, di hari kedua Sang Pejabat bingung. Hari itu tidak seperti hari sebelumnya yang ketika jam menunjuk pukul 13.00 WIB warga sudah selesai. Hari itu, antrean sampai mengular di jalan. Dia baru sadar kalau rakyatnya lebih licik. Mereka membawa sanak saudara dari kampung antri makan apa saja di toko pejabat tadi. Dia “tedodok” karena asal ucap saja dalam memerintah, tanpa perencanaan matang dan kalkulasi menyeluruh. Dalam Bahasa Palembang pejabat seperti ini masuk kategori “biar tekor asak kesohor” terjemahan bebasnya biar rugi asal terkenal.
Soal “tedodok” berdasarkan penelusuran digital ditemukan ringkasan informasi sebagai berikut: Dalam dinamika sosial dan politik masyarakat Sumatera Selatan, terdapat istilah lokal yang sangat kaya makna: “tedodok”. Dalam pengertian harfiah, kata ini merujuk pada seseorang yang duduk bersila atau diam di tempat tanpa banyak bergerak. Namun, dalam konteks kultural dan kiasan, tedodok memiliki makna yang jauh lebih dalam, yaitu keadaan seseorang, terutama pemimpin, yang tidak lagi mampu berbuat banyak karena kegagalannya sendiri. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sosok yang kehilangan arah, kehilangan daya.
Di tengah hiruk-pikuk demokrasi, pemimpin sering datang membawa sederet janji dan retorika. Mereka memikat hati rakyat dengan visi-misi yang seolah menjanjikan masa depan yang lebih baik dalam sekejab. Namun tidak jarang, begitu duduk di kursi kekuasaan, janji-janji itu justru menjadi beban berat yang menghantui mereka sendiri. Saat ekspektasi publik tidak terpenuhi, krisis kepercayaan pun terjadi. Pemimpin yang semula dielu-elukan bisa berubah menjadi sorotan dan bahan cibiran. Dan di titik paling lemah itulah mereka menjadi “tedodok”; terdiam, tidak berdaya, tidak mampu bertindak.
Masyarakat Sumatera Selatan memiliki tradisi bahasa yang sangat ekspresif. Kata-kata seperti: tedodok, nganggur, atau idak ngapo-ngapo, ado gawe; bukan hanya kosakata harian, tetapi mencerminkan realitas sosial yang sering terjadi. Tedodok, dalam konteks ini, menjadi metafora yang kuat untuk menjelaskan kegagalan kepemimpinan yang berjanji manis di awal, tetapi pahit dipelaksanaan.
Dalam ungkapan sehari-hari, masyarakat bisa berkata, “Sudah tedodok nian pemimpin tu, dak pacak ngapo-ngapo lagi.” Artinya: “Pemimpin itu sekarang benar-benar hanya bisa diam saja, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.” Ungkapan ini adalah bentuk kritik sosial, yang dalam konteks budaya Sumatera Selatan seringkali dilontarkan secara lugas, tetapi sarat makna.
Di sinilah terlihat bahwa masyarakat memiliki mekanisme tersendiri untuk menilai dan menyikapi fenomena kepemimpinan; bukan melalui kata-kata kasar atau demonstrasi besar, tetapi melalui sindiran yang halus yang menyakitkan. Dalam bahasa Jawa disebut hal ini disebut “nyelekit”.
Fenomena tedodok sering kali bermula dari janji-janji politik yang tidak realistis. Dalam masa kampanye, banyak pemimpin yang berlomba-lomba menunjukkan kepedulian, menawarkan program-program ambisius, bahkan menjanjikan perubahan besar dalam waktu singkat bahkan sekejab. Namun, ketika realitas birokrasi, keterbatasan anggaran, dan kompleksitas sosial mulai menghantam, janji-janji itu justru berubah menjadi beban yang sulit ditanggung.
Pemimpin yang terkurung dalam kebijakannya sendiri, tidak bisa bergerak, tidakak bisa bicara tanpa menciptakan ide-ide baru. Inilah yang oleh masyarakat Sumatera Selatan juga disebut sebagai kondisi “tedodok”.
Di era keterbukaan media sosial sekarang, kondisi seperti ini dengan mudah menjadi sangat cepat terlihat. Rakyat bisa langsung menyuarakan kekecewaannya, menyebarkan informasi, bahkan membuat pemimpin viral dalam waktu singkat bukan karena prestasi, tapi karena kesalahan dalam mengambil kebijakan strategis. Maka tak heran, banyak pemimpin yang akhirnya lebih memilih diam, tidak muncul ke publik, tidak memberikan pernyataan karena tahu, apapun yang diucapkan hanya akan memperburuk situasi.
Di sinilah keadaan “tedodok” menjadi semakin memprihatinkan karena bukan hanya menunjukkan kegagalan pribadi, tetapi kegagalan sistem kepemimpinan secara keseluruhan. Pemimpin yang tedodok bukan lagi aktor utama dalam narasi perubahan, tapi hanya menjadi pelaku pasif kehilangan kreatifitas dalam bertindak.
Tedodok adalah hasil akhir dari kepemimpinan yang gagal, dan itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah proses akumulasi dari kelalaian, pengabaian, dan ketidakmampuan. Ia adalah harga yang harus dibayar ketika kekuasaan lebih digunakan untuk mempertahankan citra daripada memperjuangkan kesejahteraan. Akhirnya; berawal dari pemimpin yang dipuji saat kampanye, bisa berubah menjadi ditertawakan saat menjabat.
Salah satu kekuatan masyarakat Sumatera Selatan berdasarkan sumber literatur yang ada adalah; kemampuan menyampaikan kritik dalam bentuk yang khas tajam namun tidak vulgar, lugas, tetapi tetap beradab, bahkan cenderung berseloroh. Ungkapan seperti “tedodok” adalah contoh bagaimana bahasa lokal menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Ia menyindir, tapi tidak menghina. Ia mempermalukan, tapi tidak menjatuhkan secara kasar. Semoga semua ini menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments