Tuntutan Guru Akbar yang Akbar

Prof. Sudjarwo

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Membaca kemudian menyimak media sosial yang memuat tuntutan jaksa kepada Guru Agama Akbar yang honornya Rp.900.000, betul-betul akbar karena tuntutannya tiga bulan penjara denda dua juta subsider dua bulan penjara. Membaca ini seperti menatap langit tanpa tepi, karena disebabkan anak dipukul tidak sholat, ortunya menuntut dan Jaksanya menurut.

Sandiwara ini sedang berlangsung di depan mata dan ironisnya terkena pada pelaku dunia pendidikan, yang melaporkan dan yang menuntut pernah sekolah, dan dibesarkan oleh guru. Kita berteriak dari Jakarta sampai pelosok desa akan kurikulum Merdeka Belajar, tetapi jika guru dibiarkan sendirian menapaki nasibnya, adakah keadilan pendidikan di sana ?.

Pertanyaan lanjut, kemana Kementerian Pendidikan dengan jajarannya, kemana Kementerian Agama dan jajarannya, apakah semua sudah buta dan tuli untuk melihat dan mencermati keadaan seperti ini di lapangan. Jika mutu pendidikan tidak baik-baik saja, kelompok pertama yang disalahkan adalah guru. Manakala penegakkan aturan pendidikan dengan Pedagogik pendidikan sebagai dasarnya, menemukan kendala atau masalah. Semua seolah cuci tangan dan tiarap entah kemana. Namun saat bagi-bagi cuan, semua ingin masuk daftar.

Organisasi Besar Persatuan Guru Republik Indonesia sudah menggelar apel akbar untuk membela Pak Akbar, tetapi kemana jajaran Pendidikan dan Kebudayaan lainnya berada. Tak tampak satu orangpun untuk berkata membela guru. Satu alasan klasik yang selalu digunakan sebagai senjata ampuh “mereka tidak lapor”.

Bisa dibayangkan kondisi pendidikan di daerah itu, karena dampak lanjut dari peristiwa ini kepada insan pendidikan lainnya. Rumah besar pendidikan sudah terkoyak dan tercabik oleh sebab ketidak satuan langkah dari semua pemangku kepentingan pendidikan, dalam menghadapi masalah Pak Akbar.

Tidak terbayangkan mutu pendidikan jika guru di wilayah Pak Akbar bertugas melakukan gerakan “Pembiaran” terhadap proses pendidikan. Mereka hanya hadir di kelas, memberikan materi. Mau mendengarkan silahkan, mau belajar silahkan, dan tepat jam pulang mereka pulang. Bisa dibayangkan kualitas generasi ke depannya anak-anak daerah ini seperti apa. Akhirnnya guru akan bersikap “masa bodoh” terhadap proses pembelajaran, karena merasa tidak ada perlindungan hukum yang pasti kepada profesinya.

Lebih miris lagi jika PGRI se-Indonesia menggalang donasi dana Rp.2.000,-an. Yaitu, setiap guru menyumbangkan uang Rp2.000 rupiah untuk dikumpulkan dan didonasikan kepada Pak Akbar, guna membayar denda. Mungkin nilai riil uang itu tidak seberapa, tetapi nilai moralnya itu sama dengan menampar muka di depan mertua; malunya sampai kiamat. Dengan catatan manakala urat malu pejabatnya belum pada putus.

Mari kita berdoa semoga tuntutan itu tidak diputuskan hakim seperti adanya, tetapi dengan penuh pertimbangan rasa keadilan yang berkeadilan untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya jika itu dianggap bersalah. Manakala tidak terbukti akan kesalahannya, pada akhirnya Hakim menuntut bebas, itu adalah karunia surgawi yang kita nanti.
Ini juga pengalaman buat para guru yang ada di muka kelas, tolong diingat tidak semua orang tua dari siswa kita paham akan makna pendidikan. Masih ada diantara mereka yang menganggap sekolah adalah tempat penitipan anak; Dan, yang lebih penting jangan berharap terlalu banyak kepada pemerintah yang tidak peduli dengan nasib anda sebagai guru manakala berhadapan dengan masalah hukum. Ingat Nabi saja ada yang gagal untuk membawa umatnya ke jalan kebenaran.

Bekerjalah dengan hati, dan jangan lupa berdoa sebelum mulai, karena kealpaan itu adanya pada manusia. Semoga kita semua dilindungi Tuhan dalam memanusiakan anak Indonesia, demi masa depan negeri ini agar lebih baik lagi. (R-1)