“Kami, jurnalis Palestina merasa dibunuh dua kali, pertama oleh bom, dan kedua karena dibungkam”
(Wael al-Dahdouh)
PORTALLNEWS.ID (Palestina) – Wael al-Dahdouh memegang telapak tangan anak sulungnya, Hamzah al-Dahdouh (27 tahun) yang sudah dingin dan membiru. Hamzah yang sama-sama menjalankan profesi jurnalis Al Jazeera di Gaza, kini terbungkus kafan putih. Jaket biru press diletakkan di atas jenazahnya.
Mata Dahdouh menerawang jauh. Perih tak terperi mendera jiwanya. Ini bukan kehilangan pertama yang dialami Dahdouh sejak Perang Israel-Gaza meletus pada 7 Oktober 2023. Kepala Biro Aljazeera ini telah kehilangan istri, putri, putra, cucu, sepupu, dan saudaranya pada hari ke depan belas peperangan, Rabu, 25 Oktober 2023.
Di hari tragis itu, Dahdouh kehilangan belasan anggota keluarga akibat bombardir Israel di kamp pengungsian Nuseirat, selatan Wadi Gaza. Ketika itu Dahdouh bersama keluarga besarnya mengungsi dari Tal el hawa, Kota Gaza ke Nuseirat sesuai intruksi tentara Israel yang menyatakan kamp Nuseirat sebagai zona aman.
Dahdouh berusaha tegar. Dia memeluk putrinya yang bersandar di bahunya. Ayah delapan anak ini telah kehilangan empat anaknya, dan kini, dia berusaha menguatkan empat anaknya yang tersisa—tak henti menangisi kepergian kakak mereka. Hamzah meninggal bersama rekannya, Mustafa Thuraya, oleh serangan udara Israel yang menargetkan mobil mereka saat di Al-Mawasi, sebelah selatan Kota Rafah pada Minggu, 7 Januari 2024. Kendaraan mereka ditarget ketika mencoba mewawancarai warga sipil yang kehilangan tempat tinggal akibat pemboman sebelumnya.
Puluhan warga berkerumun di trotoar di Gaza selatan, ikut berkabung dan memberikan penghormatan terakhir untuk Hamzah. “Allahuakbar! Laillahillah! Hasbunallah wani’mal wakiil!” takbir dan zikir terus bergema menembus udara Gaza, berkelindan dengan deru drone dan jet tempur Israel. Dahdouh menguatkan anak-anaknya dan mengajak mereka berdiri untuk bersama-sama menyolatkan jenazah kakak mereka.
Suara Dahdouh bergetar ketika mengucap takbir mengimami shalat jenazah anaknya itu. “Allahuakbar!” takbir Dahdouh diikuti oleh puluhan warga dan rekan pers. Usai shalat, warga berebut mengangkat jenazah Hamzah. Kumandang takbir dan zikir kembali memenuhi langit Gaza. Sebelum Hamzah dikubur, Dahdouh menggenggam erat tangan anaknya dan menciuminya berkali-kali.
“Hamzah adalah segalanya bagiku, anak tertua, dia adalah jiwa dari jiwaku. Ini adalah air mata perpisahan dan kehilangan, air mata kemanusiaan,” ujarnya.
Berbicara kepada orang banyak yang berkumpul untuk memberikan penghormatan dan mengucapkan selamat tinggal kepada putranya, Dahdouh menggambarkan Hamzah sebagai orang yang “kesatria”, “lembut”, dan “murah hati”.
Teguh pada Tugas Mulia Jurnalis

Tragedi yang dialami Dahdouh telah menjadi simbol kemuliaan perjuangan jurnalis Palestina yang berusaha memberitakan kebenaran di lapangan. Nyawa jurnalis dan nyawa keluarga mereka menjadi taruhannya. Dahdouh bersama kameramennya, Samer Abudaqa juga menjadi sasaran bombardir pada 16 Desember 2023 saat meliput di sekolah Khan Younis.
Ketika itu, Dahdouh berhasil menyelamatkan diri dengan tubuh penuh luka, terutama di kedua lengan. Sedangkan Samer Abudaqa yang terluka hampir di separuh tubuh tidak bisa diselamatkan karena tentara Israel mengepung lokasi dan menembaki ambulan yang berusaha menyelamatkan Samer. Kameramen Aljazeera itu meninggal akibat kehabisan darah karena tidak mendapatkan pertolongan medis selama berjam-jam pengepungan.
Dalam melaksanakan tugasnya meliput kondisi perang di Gaza, Dahdouh lebih banyak melakukan siaran langsung, sehingga semua tragedi yang menimpanya ikut tersiar secara live dan menyebar di media sosial. Penonton dari seluruh dunia melihat secara langsung bagaimana duka mendalam yang dialami Dahdouh sebagai seorang suami yang kehilangan istrinya, seorang ayah yang kehilangan anaknya, dan sebagai seorang kakek yang kehilangan cucunya.
Di tengah semua tragedi itu, Dahdouh tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalis dalam menyampaikan kebenaran dan pesan-pesan kemanusiaan. Keteguhan ini menggetarkan banyak jiwa. Bahkan, saat kondisi terluka dan berduka, Dahdouh tetap melakukan siaran langsung untuk Aljazeera.
Dahdouh menegaskan, tidak akan berhenti dari tugasnya sebagai jurnalis.
“Benar bahwa rasa sakit karena kehilangan seseorang sangatlah sulit dan jika menyangkut putra sulung Anda setelah kematian keluarga, maka itu menjadi lebih sulit lagi,” katanya.
“Pada akhirnya, ini tidak mengubah kenyataan apa pun, dan tidak akan mengubah keputusan kami. Kami akan melanjutkan selama kami masih hidup dan bernapas. Selama kita mampu menjalankan tugas ini dan menyampaikan pesan ini,” lanjut Dahdouh.
Kehilangan Ibu Tercinta
Dahdouh bersama empat anaknya akhirnya dievakuasi dari Gaza karena dia harus menjalani operasi pada lengannya yang patah. Dahdouh meninggalkan Jalur Gaza pada Selasa, 16 Januari 2024, menuju Qatar untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Ditengah perawatan intensif usai operasi di rumah sakit Qatar, Dahdouh kembali menerima kabar duka atas kematian ibunya oleh serangan udara Israel pada 5 Februari 2024.
Pada akun Instagramnya @wael_eldahdouh, Dahdouh menulis kalimat duka cita atas kehilangan ibunda yang menjadi pintu surganya dan terkabulnya doa-doa.
“……..Hari ini, kami kehilangan pintu gerbang surga, kami kehilangan hati yang selalu digunakan untuk mendoakan kami dan umat muslim di setiap pagi dan malam dari ibuku tercinta. Ibuku tercinta, rekanku, yang baik, adil, setia, baik hati, wanita yang penuh kasih. Kami kehilangan seseorang yang tidak mengenal kebencian, iri, dan kejahatan dalam hatinya, dan gosip tidak pernah menyentuh lidahnya. Kami kehilangan malaikat dalam wujud manusia. Kami kehilangan seseorang yang menghabiskan puluhan tahun hidupnya dengan bekerja keras. Menghadapi kesengsaraan, kesedihan, kehilangan, kemiskinan dengan sikap sabar, setia dan penuh rasa syukur. Memaknai semuanya dengan kebaikan dan keindahan. Ucapan perpisahan, ciuman perpisahan, dan merasakan tubuh sucinya (dari jauh) karena (terpisah) jarak, keterasingan dan cedera. Salah satu perempuan Palestina yang berjuang sejak masa kecilnya, melahirkan dan membesarkan para martir, yang terluka, dan menjadi tahanan di penjara kependudukan. Dia melahirkan enam belas putra dan putri untuk Palestina, yang kini tersisa sebelas orang. Dua dari lima anaknya menjadi martir dalam peperangan. Semoga Allah memberikan belaskasihan-Nya untukmu, ibuku, keceriaan jiwaku, ketentraman hatiku, ketenangan jiwaku, serta keberkahan dan keindahan hidup……….”
Periode Mematikan bagi Jurnalis

Committee to Protect Journalists (CPJ) atau Komite Perlindungan Jurnalis sedang menyelidiki semua laporan mengenai jurnalis dan pekerja media yang terbunuh, terluka, atau hilang selama perang Gaza-Israel sejak 7 Oktober 2023.
Menurut tim investigasi CPJ, ini merupakan periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada 1992.
Laporan sementara CPJ tertanggal 6 Februari 2024, setidaknya 85 jurnalis dan termasuk diantaranya lebih dari 27.000 orang terbunuh sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023—dengan lebih dari 26.000 warga Palestina meninggal di Gaza dan Tepi Barat, serta 1.200 tewas di Israel.
Jurnalis di Gaza menghadapi risiko yang sangat tinggi ketika mereka mencoba meliput konflik selama serangan darat Israel, termasuk serangan udara Israel yang menghancurkan, gangguan komunikasi, kekurangan pasokan, dan pemadaman listrik yang ekstensif.
Laporan CJP per 6 Januari 2024 :
– 85 jurnalis dan pekerja media dipastikan tewas, terdiri atas 78 warga Palestina, 4 warga Israel, dan 3 warga Lebanon.
– 16 jurnalis dilaporkan terluka.
– 4 jurnalis dilaporkan hilang.
– 25 jurnalis dilaporkan ditangkap.
– Berbagai penyerangan, ancaman, serangan siber, sensor, dan pembunuhan anggota keluarga jurnalis.
CPJ juga sedang menyelidiki sejumlah laporan yang belum dapat dikonfirmasi mengenai jurnalis lain yang dibunuh, hilang, ditahan, disakiti, diancam, dan mengenai kerusakan pada kantor media dan rumah jurnalis.
“CPJ menekankan bahwa jurnalis adalah warga sipil yang melakukan pekerjaan penting selama masa krisis dan tidak boleh menjadi sasaran pihak-pihak yang bertikai,” kata Sherif Mansour,koordinator Program CPJ di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dia juga menyatakan, jurnalis di seluruh kawasan melakukan pengorbanan besar untuk meliput konflik yang memilukan itu. Masyarakat di Gaza, khususnya, telah menanggung dan terus menanggung kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menghadapi ancaman yang sangat besar.
“Banyak di antara mereka yang kehilangan rekan kerja, keluarga, dan fasilitas media, serta melarikan diri untuk mencari keselamatan ketika tidak ada tempat berlindung atau jalan keluar yang aman,” ujar Sherif Mansour.
Sementara, Kantor Media Gaza mengumumkan pada Sabtu malam, 27 Januari 2024, jumlah jurnalis yang dibunuh oleh tentara Israel sejak awal serangan gencarnya di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, telah meningkat menjadi 120 orang.
“Jumlah jurnalis yang terbunuh sejak dimulainya perang genosida di Jalur Gaza telah meningkat menjadi 120 orang, setelah rekan kami Iyad Al-Rawwagh, seorang penyiar dan presenter di stasiun radio Al-Aqsa Voice, dibunuh oleh pengkhianatan Israel di Nuseirat, kamp pengungsi di Jalur Gaza tengah,” kata kantor tersebut.
Pada hari Senin, kantor pemerintah mengatakan Israel membunuh jurnalis dalam upaya mengaburkan narasi Palestina dan menghapus kebenaran. Sejak awal perang, Israel juga telah menangkap sekitar 10 jurnalis yang namanya telah diidentifikasi.
Meskipun ada keputusan sementara dari Mahkamah Internasional agar Israel mencegah genosida, Israel terus melanjutkan serangannya di Jalur Gaza. Otoritas Kesehatan Palestina mencatat setidaknya 26.257 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, serta 64.797 orang terluka.
Data PBB mencatat, serangan Israel telah menyebabkan 85% penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60% infrastruktur di wilayah kantong tersebut rusak atau hancur.
Berdasarkan pembaruan statistik Kantor Media Pemerintah Palestina, 30 Januari 2024, mengumumkan setelah 116 hari perang genosida yang dilakukan Israel di Gaza, tercatat 122 jurnalis yang syahid. (RINDA/R-1)
Sumber Berita :
– Al Jazeera Journalist Whose Family Was Killed in Airstrike Loses Another Son – time.com
– To kill a family: The loss of Wael Dahdouh’s Family to an Israeli bomb —aljazeera.com
– Hamza, son of Al Jazeera’s Wael Dahdouh, killed in Israeli attack in Gaza—aljazeera.com
– A Palestinian journalist loses another son in an Israeli strike, but vows to keep reporting— nbcnews.com
– Gaza journalist Wael Al-Dahdouh to Pres. Biden : listen to both side, not just one – Chanel Youtube MSNBC
– Instagram Wael Al Dahdouh— @wael_eldahdouh
– Journalist casualties in the Israel-Gaza War – cpj.org
– Death toll of Palestinian journalists killed due to Israeli onslaught on Gaza rises to 120: Media office – aa.com.tr
– Nasib Tragis Jurnalis Al-Jazeera, Seluruh Keluarganya Tewas di Gaza Dibombardir Israel—aceh.tribunnews.com
– Firasat Kematian Putra Jurnalis Wael Al Dahdouh, Hamzah Sebelum Dibunuh Israel: Ayah itu Sabar—viva.co.id
Recent Comments