PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Tim dosen yang tergabung dalam Krakatau Research Centre Fakultas Teknik Universitas Lampung (FT Unila) menciptakan sebuah sistem peringatan dini tsunami yang dinamakan Unila Tsunami Early Warning System (U-TEWS) berbasis PUMMA (perangkat ukur murah muka air laut). Keunggulan U-TEWS ini, selain murah, juga melibatkan masyarakat dalam operasional dan pemeliharaannya.
Koordinator Krakatau Research Centre (KRC), Dr. ing. Ardian Ulvan, S.T., M.Sc. mengatakan, PUMMA merupakan suatu sistem peringatan dini tsunami yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu sensor, sistem mirkokomputer , transmisi data, catu daya, dan sub-sistem pengolahan data/informasi (datacenter).
Konstruksi PUMMA terbuat dari stainless-steel atau bahan galvanis anti karat, karena akan ditempatkan di tengah laut dan di pantai. Struktur utama PUMMA berupa tiang yang dipasang box berisi sensor tide-gauge ultrasonik berbasis mikrokomputer yang berfungsi untuk mengukur ketinggian muka air laut.
Mikrokomputer berfungsi untuk mengatur interval waktu akuisisi data di sensor (setiap 1 detik), kemudian mengkonversi data ketinggian muka air laut dan captured image dari kamera lalu mengirimkan data tersebut ke sub-sistem penyimpanan dan pengolahan data yang berada di cloud-server menggunakan radio transmisi gelombang mikro.
Selanjutnya data hasil pengolahan di platform datacenter akan menampilkan informasi ketinggian gelombang laut dalam bentuk tabel dan grafik sehingga kondisi ketinggian muka air laut dapat dipantau setiap saat.
PUMMA juga dilengkapi dengan kamera CCTV yang dapat meng-capture tinggi muka air laut dan mengirim gambar setiap 2 menit sekali ke server. Selain dapat diakses langsung melalui website, data dan informasi dari U-TEWS juga akan ditampilkan di papan informasi elektronik (electronic information board) yang di tempatkan di masjid/mushalla di desa/dusun sepanjang Pesisir Lampung.
“Ada beberapa data yang ditampilkan seperti tinggi muka air laut, temperatur, tekanan udara, dan beberapa paramater lain yang meberikan informasi tentang aktifitas gunung api dan aktifitas air laut,” ujar Ardian, saat diwawancarai di workshop KRC/URO di Lab Baja, Fakultas Teknik, awal April 2021.
Menurut dia, Jika terjadi fenomena alam yang tidak biasa, seperti surutnya permukaan air laut 50-70 cm dari normal dalam waktu singkat, atau ketinggian yang diluar batas normal, bisa mengindikasikan terjadi gempa atau sesuatu yang berpotensi terjadinya tsunami. Indikasi ini akan disimulasikan terlebih dahulu, jika memang berpotensi besar untuk terjadinya tsunami, maka hasil olahan data akan dikirim sebagai sinyal alarm yang akan mentriger sirine yang ada di information board di masjid-masjid. Ini sebagai peringatan dini kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri.
“Sesuai Perpres, yang berwenang mengeluarkan peringatan dini tsunami adalah BMKG, jadi informasi resmi tentang potensi tsunami tetap dari BMKG, tapi masyarakat juga berhak punya mekanisme sendiri untuk menyelamatkan diri lebih awal jika ditemukan tanda-tanda bahaya,” kata Ardian. Dengan pembangunan sistem kesiapsiagaan bencana yang berbasis komunitas lokal ( peneliti di wilayah bencana bersama masyarakat setempat), masyarakat mampu membangun sistem peringatan untuk kebutuhannya sendiri.
Dia menjelaskan, pada awal 2019 lalu, tim Krakatau Research Centre sudah melakukan kegiatan penyadartahuan masyarakat sehingga masyarakat tahu tentang PUMMA, mengenal perangkatnya, fungsinya, dan mengerti operasionalnya.
“Sebenarnya masyarakat pesisir sudah memiliki local wisdom peringatan dini ketika ada bencana misalnya dengan memukul kentongan, nah sekarang kita bantu dengan U-TEWS PUMMA,” ujar Ardian.
Menurut dia, PUMMA bisa dipasang di pinggir dermaga atau di laut dengan ketinggian 4-5 meter di atas permukaan laut agar tidak mengganggu lalu lintas kapal. Saat ini, tim peneliti Krakatau Research Centre FT Unila sudah membuat satu PUMMA dan satu information board yang ditargetkan dipasang di Pulau Sebesi pada Agustus 2021 nanti.
“Saat ini, kita baru bisa membuat satu PUMMA, seharusnya setiap desa di Pesisir Lampung memiliki 1 atau 2 PUMMA sebagai sistim peringatan dini jika terjadi tsunami,” tuturnya.
Ardian mengaku terkendala dana untuk membuat lebih banyak PUMMA. Untuk pengembangan satu PUMMA membutuhkan biaya sekitar Rp25 juta diluar intalasi radio microwafe dan internet. Ke depan, dia bersama tim akan mengupayakan kerjasama dengan pihak ketiga.
Awareness Terhadap Bencana Tsunami
Ardian menceritakan, pembuatan U-TEWS PUMMA ini berawal dari kunjungan Profesor Wolfgang P. Buerner, seorang profesor dari University of Illinois at Chicago ke Unila pada Juni 2013 lalu. Profesor yang merupakan ahli sensor itu telah melakukan mapping sumber daya alam Indonesia menggunakan sensor elektromagnetik yang dipasang di satelit.
“Salah satu yang dia tekankan kepada saya adalah potensi bencana yang mungkin terjadi karena erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK). Dari mapping mereka ditemukan kawah GAK itu sepanjang 22 kilometer dan bersifat aktif. Kalau ditarik garis 22 kilometer maka hampir mendekati daratan pesisir Lampung Selatan, Teluk Lampung itu semua,” katanya,
Menurut Ardian, sebelum pulang, Profesor tersebut berpesan “Kalian yang punya negeri ini, harusnya kalian yang peduli dengan potensi ini, potensi ekonominya besar, mineralnya besar, tapi potensi bencananya juga besar, di prediksi sekitar 20-30 tahun lagi GAK akan erupsi besar,” ujar Ardian mengutip pesan sang Profesor.
Peristiwa itu menggugah kepedulian beberapa dosen di Fakultas Teknik yang kemudian menginisiasi berdirinya Krakatau Research Centre pada Mei 2018. Sebagai sebuah kelompok riset yang terbuka, KRC diinisiasi agar para dosen/peneliti yang mempunyai interest terhadap Krakatau dapat bersinergi dalam bidangnya masing-masing. Koordinasi diperlukan agar tercipta bentuk-bentuk kegiatan riset dan pengabdian masyarakat yang berkelanjutan, dan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kegiatan.
“Krakatau dengan semua potensi keekonomian sekaligus bencana yang ada padanya berada di halaman Unila, maka sudah sepantasnyalah sivitas akademika Unila yang paling mengetahui dan menguasai seluk beluk Krakatau dari semua aspek”. Iniasiasi KRC ini hingga kini terus berkembang dengan keanggotaan para dosen/peneliti lintas disiplin ilmu.
Pada 21 Desember 2018, Unila melalui Krakatau Research Center dan UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi , mengundang Kepala LIPI Dr. Laksana Tri Handoko, M.Sc. menjadi pembicaran utama (keynote speaker) dalam acara simposium tentang Revolusi Industri 4.0, Mitigasi Kebencanaan dan Sinergi antara LIPI dan Unila. Kegiatan Simposium ini adalah tindak lanjut dari MoU antara Unila dan LIPI yang diratifikasi pada tanggal 3 November 2018 . Melalui kerajasama tersebut, tim peneliti Unila dapat bekerja sama terkait riset-riset kebencanaan, khususnya Krakatau, dengan peneliti LIPI, dan memiliki kesempatan untuk menggunakan fasilitasi riset yang ada di LIPI.
“Tepat sehari setelah kegiatan Simposium tersebut, tepatnya pada Sabtu malam, tanggal 22 Desember 2018 , kepundan Gunung Anak Krakatau runtuh (colaps) dan mengakibatkan tsunami Selat Sunda yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Lampung dan Banten. Pada tanggal 24-nya, tim URO/KRC Unila yang dipimpin Mona Arif Muda Batubara (dosen Teknik Informatika) langsung turun ke lokasi melakukan mapping dampak tsunami mulai dari Sembalang, seluruh pesisir, sampai ke Bakauheni. Kita yang pertamakali punya data foto udara daerah terdampak tsunami,” kata Ardian.
Peristiwa ini semakin menguatkan tekad tim untuk benar-benar fokus membuat sistem perangkat peringatan dini bencana tsunami bagi masyarakat pesisir Lampung, sebab tsumani ternyata tidak hanya disebabkan oleh erupsi/letusan GAK, tapi juga akibat runtuhnya kepundan GAK. Pada 2019, tim peneliti Krakatau Research Centre semakin intensif membuat perangkat ukur muka air laut karena area ini yang paling mudah mendeteksi ada tidaknya tsunami.
Mereka juga bekerjasama dengan Pusat Riset Kelauatan Kementrian Kelautan dan Perikanan RI untuk mengembangkan alat ukur tinggi muka air laut dan akhirnya tercipta Unila Tsunami Early Warning System (U-TEWS) berbasis PUMMA ini.