• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Wednesday, August 20, 2025
  • Login
Portallnews.id
Advertisement
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
No Result
View All Result
Home Refleksi

Menggugat Ontologi Era Digitalisasi

OPINI

by portall news
August 20, 2025
in Refleksi
Jalur Langit

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

136
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Perkembangan teknologi digital telah membawa lompatan besar dalam sejarah umat manusia. Internet, kecerdasan buatan (AI), realitas virtual (RV), dan media sosial bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan ruang hidup baru yang membentuk ulang cara kita berpikir, berinteraksi, dan bahkan memahami eksistensi diri. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan yang bersifat mendasar: bagaimana kita memahami hakikat keberadaan di era digital. Apakah yang disebut “realitas” masih memiliki makna yang sama ketika dunia maya menjadi tempat kita menghabiskan sebagian besar waktu dan energi.

Inilah alasan utama mengapa penting untuk menggugat ontologi era digitalisasi. Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan, kini dihadapkan pada tantangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jika dahulu filsafat ontologi menyoal benda, manusia, dan dunia fisik, kini ia harus bergumul dengan entitas digital: avatar, algoritma, big data, dan kecerdasan buatan.

Baca Juga

Bahagia Tak Harus Tertawa, Sedih Tak Harus Menangis

Sekolah “Abu-Abu” : Negeri Bukan, Swasta Tidak

Membantah Tidak Bisa, Membuktikan Tidak Bisa (Antara Kekosongan Argumen dan Ketidakpastian Kebenaran)

Sebelum membahas perubahan yang dibawa oleh digitalisasi, penting untuk memahami terlebih dahulu bagaimana ontologi dipahami dalam filsafat klasik. Dalam pemikiran Plato, keberadaan yang sejati adalah dunia ide, bukan dunia inderawi. Sedangkan Aristoteles melihat keberadaan sebagai sesuatu yang memiliki substansi dan esensi yang melekat. Manusia, dalam filsafat eksistensialisme seperti pada Martin Heidegger, dipahami sebagai Dasein, yaitu makhluk yang memiliki kesadaran akan eksistensinya dan hidup dalam dunia yang bermakna.

Ontologi klasik berakar pada pengandaian bahwa realitas bersifat stabil, dapat diidentifikasi, dan hadir secara fisik. Dunia dipahami sebagai kumpulan entitas yang memiliki bentuk, substansi, dan tempat dalam ruang dan waktu. Namun, pandangan ini mulai terguncang ketika teknologi digital mengaburkan batas antara nyata dan maya, fisik dan virtual, substansi dan simulasi.

Era digital saat ini, membawa perubahan radikal dalam cara kita berinteraksi dengan dunia. Kita tidak lagi hanya hidup di dunia fisik, tetapi juga di ruang maya. Identitas kita tidak hanya melekat pada tubuh, tetapi juga pada akun media sosial, avatar, dan jejak digital yang kita tinggalkan. Fenomena ini menimbulkan apa yang bisa disebut sebagai “krisis ontologis”, yaitu sebuah kondisi di mana batas antara yang nyata dan tidak nyata menjadi kabur.

Jean Baudrillard, seorang filsuf postmodern, menyebut kondisi ini sebagai “hiperrealitas”. Dalam dunia hiperrealitas, representasi tidak lagi mencerminkan realitas, melainkan menggantikannya. Dunia digital menciptakan simulacra, yaitu gambar atau simbol yang tidak memiliki referensi terhadap dunia nyata. Contohnya adalah media sosial, di mana identitas seseorang dibangun dari kumpulan foto, status, dan interaksi digital yang sering kali tidak mencerminkan realitas hidupnya.

Dalam ontologi tradisional, tubuh merupakan pusat dari eksistensi manusia. Tubuh bukan hanya wadah, melainkan medium utama untuk mengalami dunia. Namun, di era digital, tubuh mengalami dislokasi. Kehadiran fisik menjadi kurang penting dibandingkan kehadiran virtual. Zoom meeting menggantikan ruang rapat fisik, konser virtual menggantikan panggung, dan komunikasi antar manusia lebih sering terjadi melalui teks atau emoji.
Kondisi ini membawa kita pada persoalan ontologis: apakah tubuh digital dapat dianggap “ada” dalam pengertian filosofis? Jika avatar di metaverse atau identitas media sosial kita lebih dikenal dan lebih aktif dibandingkan tubuh fisik kita, apakah berarti tubuh digital lebih “real” daripada tubuh biologis?. Persoalan ini menjadi nyata manakala kita berinteraksi hanya menggunakan tatap layar.

Lebih jauh lagi, digitalisasi membuka jalan bagi rekayasa tubuh, termasuk penggunaan filter, AI-generated images, dan bahkan tubuh sintetik dalam bentuk robot atau avatar. Hal ini mengguncang pemahaman kita tentang keotentikan. Di dunia digital, otentisitas menjadi sesuatu yang dapat dipalsukan, dimanipulasi, atau bahkan diciptakan sepenuhnya oleh algoritma.

Digitalisasi juga membawa perubahan dalam pemahaman tentang identitas. Dalam dunia fisik, identitas seseorang umumnya bersifat tetap, ditentukan oleh nama, jenis kelamin, asal-usul, dan pengalaman hidup. Namun di dunia maya, identitas menjadi cair dan ganda. Seseorang bisa memiliki beberapa akun dengan identitas berbeda, atau bahkan menyamar menjadi orang lain. Identitas digital bisa dibentuk, dihapus, dimodifikasi, dan diperbanyak atau digandakan, bahkan disulihmanakan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah identitas digital merupakan bentuk kebebasan baru, atau justru krisis ontologis? Apakah kita masih “ada” ketika kita bisa dengan mudah menciptakan persona yang berbeda dari diri kita yang sebenarnya?

Filsuf kontemporer seperti Zygmunt Bauman menyebut kondisi ini sebagai “modernitas cair”, yaitu segala sesuatu bersifat fleksibel, berubah, dan tidak lagi memiliki kepastian. Dalam konteks ini, identitas digital mencerminkan kondisi ontologis yang rapuh, di mana keberadaan tidak lagi memiliki fondasi yang kokoh.

Salah satu perkembangan paling signifikan dalam era digital adalah munculnya algoritma dan kecerdasan buatan (AI) sebagai aktor dalam kehidupan manusia. Algoritma bukan hanya menghitung atau memproses data; mereka membuat keputusan, merekomendasikan pilihan, bahkan memprediksi perilaku manusia. Dalam banyak hal, algoritma telah menjadi “subjek” yang memiliki pengaruh nyata terhadap kehidupan manusia.

Pertanyaannya: apakah algoritma dapat dianggap sebagai entitas ontologis? Apakah mereka hanya alat, atau sudah menjadi bagian dari lanskap keberadaan itu sendiri?

Beberapa filsuf berpendapat bahwa algoritma dan AI merupakan bentuk keberadaan baru yang tidak bisa diabaikan. Mereka tidak memiliki kesadaran, tetapi memiliki daya kuasa. Mereka bukan makhluk hidup, tetapi dapat memengaruhi dunia seperti halnya manusia. Dengan kata lain, digitalisasi telah melahirkan bentuk keberadaan non-manusia yang memiliki dampak ontologis nyata.

Realitas virtual (VR) dan augmented reality (AR) memperkuat kaburnya batas antara nyata dan maya. Dalam VR, seseorang dapat “berada” di tempat lain tanpa benar-benar berpindah. Mereka dapat mengalami dunia yang sepenuhnya buatan, tetapi terasa nyata. Dalam AR, dunia nyata ditambahkan dengan elemen digital, menciptakan pengalaman hibrida yang memperluas persepsi kita terhadap realitas. Pertanyaannya: apakah pengalaman dalam dunia virtual memiliki nilai ontologis yang sama dengan pengalaman di dunia fisik? Apakah realitas virtual adalah realitas sejati atau hanya simulasi?

Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan pemikiran Gilles Deleuze yang membedakan antara “virtual” dan “aktual”. Bagi Deleuze, virtual bukan berarti tidak nyata, melainkan bentuk potensi yang dapat diwujudkan. Maka, dunia digital bukan sekadar imitasi, melainkan bentuk realitas potensial yang memiliki nilai ontologis tersendiri.

Semua perubahan di atas menuntut kita untuk menggugat pemahaman lama tentang ontologi. Era digital telah memperluas ruang eksistensi manusia, menciptakan bentuk-bentuk keberadaan baru yang tidak bisa dijelaskan dengan kategori lama. Kita hidup dalam dunia di mana avatar bisa lebih “hadir” daripada manusia fisik, di mana algoritma bisa menentukan keputusan kita, dan di mana tubuh tidak lagi menjadi satu-satunya locus eksistensi. Maka, apa yang dimaksud dengan “ada” di era digital? Apakah eksistensi masih membutuhkan tubuh? Apakah kesadaran masih menjadi syarat keberadaan? Apakah algoritma dan data bisa dianggap sebagai bentuk keberadaan baru?

Gugatan ini menuntut kita untuk membangun ontologi baru, yaitu sebuah cara memahami keberadaan yang mampu mengakomodasi entitas digital, identitas cair, dan realitas virtual. Ontologi baru ini tidak bisa hanya mengandalkan substansi fisik, tetapi juga harus mempertimbangkan hubungan, proses, dan jaringan sebagai unsur keberadaan.

Menggugat ontologi era digitalisasi bukan berarti menolak kemajuan teknologi, melainkan mengajak kita untuk lebih sadar dan kritis terhadap perubahan mendasar dalam cara kita memahami keberadaan. Dunia digital telah menggeser paradigma ontologis dari yang bersifat substansial menuju yang bersifat relasional dan dinamis. Identitas, tubuh, dan realitas tidak lagi bersifat tetap, melainkan terus berubah dan dibentuk ulang oleh interaksi dengan teknologi.

Dalam dunia yang semakin terhubung dan tervirtualisasi, kita membutuhkan pemahaman baru tentang “ada”, bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari jaringan entitas digital yang saling mepengaruhi. Ontologi tidak lagi bisa bersifat tunggal dan statis, tetapi harus inklusif terhadap pluralitas bentuk keberadaan, baik yang fisik maupun yang digital. Dengan demikian, menggugat ontologi era digitalisasi adalah langkah awal untuk membangun kesadaran filosofis baru, di mana manusia bukan lagi satu-satunya pusat keberadaan, melainkan bagian dari ekosistem keberadaan yang lebih luas, yang mencakup mesin, data, simulasi, dan jaringan virtual.
Salam Digital (R-1)

Previous Post

Itera Tuan Rumah Diskusi Satgas PPKPT se-Sumbagsel

No Result
View All Result

Recent Posts

  • Menggugat Ontologi Era Digitalisasi
  • Itera Tuan Rumah Diskusi Satgas PPKPT se-Sumbagsel
  • 20 Siswa SMA Al Kautsar Berlaga di Olimpiade Sains Provinsi
  • HUT ke-80 RI, Bank Lampung Meriahkan Upacara dengan Busana Adat Siger Mighul
  • Elienasi Dalam Ketidakadilan Sosial

Recent Comments

  • portall news on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
  • Icha on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
Portallnews.id

© 2020 Portallnews.id

PORTALLNEWS.ID hadir ke tengah masyarakat memberikan sajian berita yang berkualitas dan berimbang.

  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi

© 2020 Portallnews.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist